Meneropong Rakernas PGRI


Logo PGRI. (wikipedia)

Kabar tentang diselenggarakan rapat kerja nasional PGRI (Teacher’s Union of the Republic ofIndonesia; Persatuan Guru Seluruh Indonesia) III di Ambon pada tanggal 29 Januari hingga 1 Februari mendatang merupakan sebuah kebanggaan tersendiri sebagai anak daerah. Mengapa demikian? Bagi saya, ini bukan saja sebagai bagian dari sebuah kesuksesan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan peran Maluku di kancah nasional, ataupun sebagai ajang promosi kepariwisataan lewat dunia pendidikan. Juga membangun semangat hubungan komunikasi guru dan siswa dalam rangka turut serta membangun daerah ini, guna meningkatkan komunitas dan solidaritas seluruh guru yang ada di Maluku. Namun, bagi saya yang terpenting adalah ada sebuah itikad baik untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Apalagi Maluku yang tengah dilanda “penyakit akut” dalam pendidikan. Hasil ujian kompetensi guru (UKG) Maluku semakin terpuruk karena berada pada posisi juru kunci dari 34 provinsi di Indonesia. Jika dibandingkan dengan Papua di tahun 2015 kemarin. Sungguh memprihatinkan karena hal ini sudah berulang kali di beberapa tahun belakangan. UKG memetakan baseline yang berkaitan dengan dua hal yaitu kemampuan pedagogi dan kemampuan profesionalitas ini ternyata terkendala lewat instrumen IT. Hal ini juga yang menjadi kendala dalam manajemen sistem informasi pendidikan.

Kita tentunya telah mengetahui sungguh tentang sebuah makna pendidikan bagi perubahan sosial, pembentuk civil society. Upaya pemerintah dalam membantu kelancaran pendidikan telah kita akui adanya. Hal tersebut telah dipaparkan dalam UUD 1945 ayat 4: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan nasional”.

Namun, hal tersebut menjadi sebuah pertanyaan penting bahwa, apakah dengan adanya pengalokasian dana tersebut oleh APBN/APBD bisa menyelesaikan ruang problematika pendidikan? Tentunya kita bisa melihat fakta yang terjadi di lapangan. Sangat disayangkan dengan pengalokasian dana tersebut masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan. Tentunya dengan adanya sebuah konsolidasi nasional, minimal ada langkah strategis untuk menyelesaikan pekerjaan rumah ini. Sehingga upaya pencerdasan lewat pendidikan bisa menjadi pencerah sesuai amanah undang-undang. Beberapa pekerjaan rumah. Pertama, pendistribusian guru secara merata. Kita ketahui bahwa letak geografis Indonesia yang berbasis kepulauan bisa menjadi sebuah tantangan besar bagi dunia pendidikan. Padahal, guru sebagai aktor keberhasilan peningkatan mutu pendidikan. Guru merupakan sumber kebangkitan. Pencerah dalam kegelapan. Penyejuk dalam dahaga. Miris hati, ketika kita melihat ada sebuah sekolah yang berjumlah 300-an siswa dikelola oleh satu PNS. Sementara tenaga pengajar honor plus lulusan SMA atau SMP semata. Bahkan ada guru yang menjalankan amanah profesi tidak sesuai dengan kualifikasi keilmuannya. Itulah salah satu potret guru di pedalaman Maluku.

Dilain sisi, pemerintah ingin ngotot dengan segala aturannya. Tentunya hal tersebut senada berkaitan dengan ke manakah nasib para honorer K2 atau sejenisnya yang telahikhlas mengabdi? Ke manakah perhatian pemerintah dalam memberikan kesejahteraan bagi para pahlawan tanpa tanda jasa sesuai UU guru dan dosen nomor 14 tahun 2005 dan disinergikan dengan UU 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan. Kedua, desentralisasi pendidikan. Dengan adanya UU Otonomisasi Daerah nomor 23 tahun 2014, sebenarnya pun telah menjadikan tolak ukur keberhasilan dunia pendidikan. Di mana, adanya perubahan sistem sentralisasi ke desentralisasi. Hal tersebut pun berpengaruh pada arah pengembangan pendidikan ke depan. Dalam hal ini, lembaga pendidikan diberikan kewenangan penuh untuk mengelola manajemen secara mandiri. Sehingga dilahirkannya suatu konsep yakni manajemen mutu berbasis sekolah.

Ada tiga pilar penyokong sistem manajemen tersebut, yakni manajemen sekolah, PAIKEM dan peran masyarakat. Tentunya tiga pilar inilah yang menjadi fondasi peningkatan mutu pendidikan. Sebab, sifat desentralisasi sudah terkonsep sampai pada unit terkecil lembaga pendidikan, sekolah. Namun, ketiga pilar tersebut terhambat oleh segala kebijakan pemerintah yang sering berubah-ubah akibat dari sebuah drama politik pendidikan. “Jika pendidikan disusupi kepentingan politik, maka tunggulah kehancuran sumber daya manusia Indonesia masa depan.” Politik pendidikan itu kemudian melahirkan kurikulum yang sering berganti. Ganti menteri, ganti kurikulum, kewenangan kepala daerah yang menjadikan tenaga pengajar sebagai abdi politik setianya, dan kesalahan paradigma masyarakat terkait kampanye pendidikan gratis. Ketiga, sumber pembiayaan pendidikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber-sumber pembiayaan pendidikan adanya dari APBN/APBD. Tapi ternyata pengalokasian dana tersebut tidaklah bisa menjawab kerumitan pendidikan di negeri ini. Sehingga, jangan heran lembaga sekolah dalam proses penyelenggaraan pendidikan membuka diri untuk bekerja sama dengan pihak swasta ataupun melakukan aksi gotong-royong untuk pembiayaan pendidikan. Itu artinya, dengan anggaran yang serba terbatas ini, lembaga sekolah harus mampu melakukan transaksi halal untuk pengembangan mutu pendidikan. Lalu disisi lain, pemerintah belum bisa menjamin. Padahal sekali lagi, Dalam UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk memenuhi hak warga negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan baik dari segi mutu dan alokasi anggaran pendidikan dibandingkan dengan negara lain, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008, pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sedangkan pengalokasian anggaran pendidikan meliputi alokasi yang melalui belanja pemerintah pusat dan melalui transfer ke daerah. Sementara untuk yang melalui anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah adalah DBH Pendidikan, DAK Pendidikan, DAU Pendidikan, Dana Tambahan DAU, dan Dana Otonomi Khusus Pendidikan. Coba kita bandingkan dengan Korea Selatan, bahwa Anggaran pendidikan Korea Selatan berasal dari anggaran Negara, dengan total anggaran 18,9% dari Anggaran Negara. Pada tahun 1995 ada kebijakan wajib belajar 9 tahun, sehingga porsi anggaran terbesar diperuntukkan untuk ini, adapun sumber biaya pendidikan, bersumber dari: GNP untuk pendidikan, pajak pendidikan, keuangan pendidikan daerah, dunia industri khusus bagi pendidikan kejuruan. Dari sisi pengalokasian, tidak terlihat perbedaan yang begitu mencolok antara pendidikan di Korea Selatan dan Indonesia, namun mengapa Indonesia sangat jauh tertinggal dengan Korea Selatan? Padahal kedua Negara ini merdeka pada waktu yang hampir berdekatan. Namun Indonesia sampai saat sekarang ini masih belum mampu “berbenah diri” untuk menjadi Negara yang lebih maju. Mungkin hal itu kembali lagi ke pola pikir pemerintah dan masyarakat yang masih belum berubah dan mental bangsa yang masih lemah.

New Spirit Pendidikan Nasional

Pendidikan harus menjadi pengukur anak bangsa, menjadi suatu lentera yang tetap dikembangkannya secara terus menerus dalam melewati setiap fase pendidikan. Pendidikan wajib belajar 12 tahun harus benar diimplementasikan. Kurikulum ditekankan pada kemampuan peserta didik dalam berinovasi, mahir dan cakap dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Bukan hanya teori yang dipahami, namun praktik dan karya yang luar biasa harus dihasilkan oleh anak bangsa. Sebagai pembentuk karakter bangsa dan sikap. Sehingga melahirkan peserta didik yang punya daya unggul dan jiwa kompetitif. Output karakter peserta didik seperti yang disampaikan Buya Hamka: “ Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi, namun ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri”, itulah yang diharapkan. Olehnya itu, perlu adanya sikap yang jelas, konstruktif dan baru yang terkonsolidasikan secara struktural dan terkawal lewat agenda rapat kerja nasional ini. Yakni sebuah rumusan baru dunia pendidikan; pendidikan berbasis gugus pulau. Sebagaimana tupoksi dari PGRI itu melaksanakan dan mengembangkan sistem pendidikan nasional, mempersatukan semua guru dan tenaga kependidikan di semua jenis, jenjang dan kesatuan pendidikan dan peran serta di dalam pembangunan nasional, memelihara, membina dan mengembangkan kebudayaan nasional serta memelihara kebudayaan daerah dalam rangka memperkaya kebudayaan nasional dan lebih terpenting adalah melakukan pengawasan sosial dan fungsional atas pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Tentunya membangun spirit tersebut tidaklah mudah membalikkan telapak tangan. Tetapi, hal tersebut bisa dengan mudah dijawab bilamana semua stakeholder sebagai penanggung jawab dalam pendidikan memenuhi tiga syarat yakni, punya profesionalisme yang komprehensif, soliditas dan komitmen yang terjaga serta mempunyai pikiran yang sama, equality of mindset. 

Sumber: dakwatuna.com

No comments

Powered by Blogger.