Ahok, di Antara Polemik Transportasi Ibu kota



Oleh: Achmad P Nugroho, Mahasiswa Teknik Industri, Universitas Mercubuana, puariesthaufani28@gmail.com

WACANA penghapusan angkot dalam sebagian besar rute jalanan ibukota oleh pimpinan Pemprov DKI Jakarta, jelas membuat kita bersungut-sungut. Keberadaan angkot yang popular di berbagai kalangan masyarakat Jakarta, dituding oleh pemprov sebagai biang keladi kemacetan Ibukota. Tudingan ini tentu bernada tendesius (bahkan cenderung memfitnah).

Pasalnya sang gubernur tidak menyertakan data-data akademis yang mendukung statement tersebut, terutama berkaitan dengan pangkal kemacetan Jakarta. Gubernur, hanya melontarkan ucapan dalam berbagai media nasional bahwa angkot sangat tidak layak beroperasi dikarenakan tidak memenuhi kelayakan operasional dan uji KIR. Bahkan Ia berencana mengganti rute angkot yang ada dengan rute busway Transjakarta.

Padahal statistic dishub DKI Jakarta tahun 2014 menunjukkan angkot sendiri sudah mengalami penurunan jumlah sekitar 3,7% dari tahun sebelumnya (Statistik Transportasi Jakarta, BPS 2015). Maka realisasi dari ide tersebut, tentu akan menguatkan dugaan dalam monopolisasi transportasi Ibukota. Sebelumnya, bus-bus sedang seperti Kopaja dan Metro Mini “dipaksa” berkongsi trayek dibawah paying Transjakarta.

Pandangan Ahok dalam upaya memonopolisasi transportasi ibukota oleh Pemprov DKI, perlu dicermati secara seksama. Kebijakan ini, secara tidak langsung menunjukkan unsur-unsur kapitalisme terselubung dalam pengelolaan transportasi Ibukota. Persaingan yang tidak sehat, akan menjadi bom waktu bagi masyarakat ibukota yang “dicekoki” dalam pemanfaatan moda transportasi umum.

Sebab dengan tidak adanya competitor, tentunya akan mempermudah pemangku kebijakan dalam menentukan tarif pelayanan. Memang benar, bila sekarang tarif transportasi Transjakarta bisa dikatakan terjangkau. Namun kekhawatiran akan abuse of policy dalam penerapan pelayanan dimasa mendatang, patut menjadi perhatian.

Padahal persaingan dalam pelayanan transportasi diperlukan, guna melahirkan terobosan-terobosan yang menuai manfaat bagi masyarakat. Contoh nyata dari persaingan tersebut adalah antara transportasi berbasis aplikasi dengan transportasi konvensional.

Meskipun demikian, regulasi dari persaingan tersebut harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Adanya regulasi diibaratkan sebagai rules of the game dari kompetisi, sehingga pemerintah dapat menjadi penengah dalam permasalahan yang mungkin terjadi.

Di sisi lain, gubernur nampaknya terlalu lugu akan realitas angkot yang sudah amat dekat dengan masyarakat menengah kebawah. Angkot (apapun macam pengelolanya) sering digunakan oleh para pedagang sayur mayur untuk membawa barang dagangannya menuju konsumennya yang tinggal di pelosok kota. Angkot pulalah yang menghubungkan anak-anak sekolahan dari sudut-sudut gang menuju tempat untuk menimba ilmu pendidikan.

Peniadaan peran pelayanan angkot nantinya dalam sebagian besar ruas jalan ibukota, menunjukkan wajah gubernur yang pro kapitalis bourjouis. Sebab disaat bersamaan pula, sang gubernur seakan mengakomodir pelayanan transportasi kaum elit jenis taksi berbasis aplikasi online yang nyata-nyata tidak berizin dan tidak berbagi apapun dalam membangun kemajuan ibukota. Hal itu semua tentu bertentangan dengan mayoritas masyarakat Jakarta yang terlahir sebagai kaum Proktaletar.

Penghapusan trayek beberapa angkot, seharusnya bukan menjadi pilihan dalam upaya mereduksi kepadatan lalu lintas Jakarta. Masih banyak cara yang lebih efektif, yang bila diterapkan akan berdampak signifikan. Bukankah sang gubernur dahulu sempat mewacanakan pembatasan kendaraan pribadi. Lantas kita perlu bertanya, mengapa wacana tersebut hanya berlalu bagai isapan jempol belaka dan tak kunjung terlaksana. Jika angkot menjadi korban kebijakan, menunjukkan bahwa gubernur cenderung menghasilkan kebijakan tumpul keatas namun menghempas kebawah.

Tentu kita masih ingat dengan garangnya kebijakan-kebijakan gubernur dalam menggusur warga-warga pinggiran dengan tentara dan polisi berbayar, namun seoalh melempem menghadapi konglomerasi apartemen-apartemen mewah yang merampas lahan-lahan hijau Ibukota.

Kita boleh setuju, apabila armada angkot direvitalisasi. Revitalisasi tidak serta merta menghabisi peran angkot dalam aktivitas masyarakat Ibukota. Pemerintah daerah dapat membuat regulasi waktu operasional Angkot. Sekali lagi, perlu langkah-langkah bijak dari pemerintah provinsi dalam mengurusi polemik di Ibukota. Permasalahan di Jakarta harus dipandang dengan sikap yang mengutamakan jiwa manusiawi, bukan sekadar memikirkan untung rugi duniawi. Sikap yang harus didasari atas kesadaran nurani membela wong cilik tanpa menebar jaring-jaring citra menjelang Pilkada. []

Get it on Google Play
Jabung Online Android : Klik disini

No comments

Powered by Blogger.