Ambiguitas Rezim Pancasilais Ala Jokowi


Joko Widodo

Ambiguitas Rezim Pancasilais

Oleh: Irwan Saifullah
Ketua Aliansi Ormas dan Umat Islam Bersatu

Jabungonline.com-Sejarah telah menceritakan kepada kita, pasca pemberontakan Madiun yang membantai para ulama dan kaum muslimin. Hal ini telah menjelaskan pada kita tentang kebiadaban PKI yang sejak awal memang anti dengan Islam. Tapi anehnya PKI direhabilitasi oleh Rezim Pancasilais Soekarno-Hatta, bahkan PKI dapat kembali terlibat di pentas panggung politik dan tokoh-tokohnya diampuni oleh Sukarno.

Lalu efeknya, PKI pun leluasa menyebarkan ideologinya dan berdampak pada pemilu 1955 dengan masuknya PKI dalam empat besar partai pemenang pemilu setelah PNI, Masyumi, dan NU. 

Karena termasuk sebagai pemenang pemilu maka konsekuensinya, PKI menuntut supaya mereka bisa duduk di kursi pemerintahan. Hal ini juga didukung dengan keinginan Soekarno yang menghendaki orang-orang PKI duduk di pemerintahan untuk memuluskan MANIPOL USDEK (Manifesto politik / Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) dengan penyusunan kabinet yang disebut berkaki empat.


PKI di Pemillu 1955

Di akar rumput bawah dampak dari program politik PKI yang saat itu berlindung dibalik tameng Pancasila, masyarakat merasakan dampak buruk politik dan agraria, termasuk juga bidang kebudayaan tak luput dari tekanan PKI yang saat itu sedang berada di atas angin setelah berhasil memukul musuh-musuhnya, yakni Islam politik seperti Masyumi, dan tak luput bahkan PSI juga ikut disingkirkan. 

Di bidang kebudayaan, PKI  sangat getol menyikat dan menyingkirkan bahkan memusuhi semua paham yang tidak sesuai dengan paham mereka. Yang tidak sesui dengan jargon revolusi yang mereka suarakan dibawah propaganda Sukarno semua di cap kontra revolusi. Mereka pun menggunakan realisme sosial dengan jargon seni untuk revolusi. Semua agitasi dan Propaganda di gulirkan untuk kepentingan politik PKI Karena sejak awal mereka  memang ingin melaksanakan revolusi ala Marxisme dengan cita-cita membentuk negera Komunis.

Orla dan Orba

Kita bisa melihat gagasan Pancasila ala Soekarno serta ide tentang gagasan NASAKOM, yang menurutnya sebagai jalan tengah dan diharapkan bisa menjadi landasan kuat bagi Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan globalisasi namun faktanya telah gagal. 

Realitasnya Pancasila terbukti menjadi falsafah yang lemah, telah diseret kesana-kemari untuk pembenaran atas ide sekulerisasi di Indonesia, serta dimanfaatkan bagi kepentingan kaum komunis maupun kaum pragmatis yang terbukti membahayakan rakyat Indonesia sendiri. Para politisi justru tidak peka terhadap kepentingan rakyat Indonesia. 

Memasuki era liberalisasi, di bawah payung demokrasi Pancasila penguasa Orba melakukan gelombang pertama liberalisasi melalui pintu UU, hal ini terbukti dengan disahkannya Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing. UU inilah yang membuka seluas-seluasnya perampokan Asing atas sumber daya alam di Indonesia.


Suhato Menggandeng IMF

Padahal kita sangat paham, bahwa semangat rezim Soeharto adalah semangat Pancasila. Tapi Anehnya atas dasar Pancasila Rezim Orba memberikan keleluasaan untuk investor asing masuk dan merampok kekayaan alam di Indonesia. 

Disusul gelombang Kedua rezim Orba yang sangat Pancasilais pada periode 80-an, mengeluarkan Paket Kebijakan Juni 1983 (PAKJUN 1983) dan Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988). Paket deregulasi dan liberalisasi tersebut menghilangkan peran bank sentral (Bank Indonesia) dan sistem keuangan nasional diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.

Berlanjut gelombang Ketiga ditandai dengan lahirnya WTO (World Trade Organization) pada 1994 sebagai pengganti GATT (General Agreement On Trade and Tarifs). Perubahan tersebut juga berdampak langsung bagi Indonesia sebagai anggota WTO. Indonesia sejak 1995 harus berkomitmen untuk meliberalisasi perdagangan dan pasar untuk perdagangan dan modal asing. 

Gelombang Keempat, terjadi Tahun 1997. Kala itu, Indonesia masuk dalam krisis ekonomi dan dalam waktu singkat krisis bermetamorfosis menjadi krisis politik. Dalam situasi terdesak Pemerintah mengundang IMF sebagai ‘dokter’ untuk penyelamatan ekonomi. Maka IMF mengucurkan dana 40 milyar dollar AS sebagai stimulus menjalankan Paket Structural Adjugment Policy dan Paket Kebijakan Deregulasi. 

Inilah kerusakan rezim demokrasi di bawah slogan Pancasila serta pertentangannya dengan aqidah Islam dan kemaslahatan rakyat. Demokrasi telah mati, sudah membentuk persekutuan Politisi dan Pengusaha (Korporasi), sehingga slogan Demokrasi Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat sudah berubah menjadi Demokrasi Dari Korporasi, Oleh Korporasi dan Untuk Korporasi.

Era Jokowi

Sekarang kita masuk di Era Joko widodo, sama seperti pendahulunya Jokowi pun secara vulgar menggunakan jargon “Saya Indonesia, Saya Pancasila ”  bahkan dengan anggaran yang tidak sedikit jargon tersebut dipropagandakan dan digaungkan di seantero Nusantara. 

Rezim ini tidak mampu mengambil pelajaran dari kegagalan sebelumnya. Rezim Jokowi Neoliberal dibela oleh para pemikir liberalisasi menggunakan  tameng Pancasila. Bahkan rezim Neolib ini sangat meyakini bahwa praktek liberalisasi akan mampu menciptakan kesejateraan dan membuat negara seperti Indonesia dapat mengejar ketertingalan pembangunan dan menjelma menjadi negara industri maju. 

Tapi Apa yang terjadi sekarang? Di bawah payung demokrasi yang sangat liberal kondisi Indonesia kian kacau, Pancasila hanya pepesan kosong. Bahkan Panasila sudah seperti jargon yang gagal dan terus dieksploitasi untuk kepentingan penjajah Asing dan Aseng dan membuat rakyat Indonesia kian melarat. Sementara para pejabatnya saja yang kaya dan bisa menikmati kesejahteraan di negeri ini. Indonesia kini terperangkap dalam dominasi asing dalam aspek politik, budaya dan ekonomi nasional, itu artinya Pancasila Mandul dan liberalisasi justru membuat Indonesia semakin terpuruk. 


Kondisi ini bukan hanya disebabkan oleh masuknya modal asing dan jeratan hutang yang membelit, melainkan juga karena disokong oleh kekuatan oligarki nasional. Mereka yang dengan sengaja mengambil manfaat serta keuntungan. Sambil berteriak"Saya Indonesia, Saya Pancasila" dan menuduh gerakan dakwah Islam sebagai gerakan anti kebinekaan dan melabeli anti Pancasila. Disaat itu para Oligarki bersekongkol dengan para pemodal yang berselingkuh dengan para pejabat yang justru selalu menggunakan jargon Pancasila untuk menutup kebusukannya. 

Aliansi tiga kaki yang terdiri dari Modal Asing, Pemerintah Negara Dunia Ketiga (kekuatan sipil, teknokrat & militer) dan borjuasi lokal dan nasional. Maka dengan persekongkolan Aliansi tiga kaki inilah kekuatan liberalisasi yang bertumpu pada hutang luar negeri dan modal asing dapat tumbuh subur di dunia ketiga termasuk Indonesia. Hampir dipastikan semua pembiayaan Infrastruktur dibiayai dengan utang dan proyek dengan dana Triliunan tersebut menjadi bancakan para oligarki serta untuk menambah pundi-pundi kekayaan serta keuangan individu maupun kelompoknya dan partai untuk menopang kekuasaan.

Ide Demokrasi dan Kapitalisme adalah dua sisi mata uang yang saling menguatkan, dan gagsan tersebut merupakan pemikiran impor yang diterapkan di Indonesia. Jika dicermati ide ini diterapkan agar dominasi penjajahan tetap berlangsung yakni agar Asing dan Aseng tetap menjarah dan mengeruk kekayaan alam Indonesia. 

Kalau sudah begini maka rakyat Indonesia adalah korban dari persekutuan Pengusaha dan Penguasa dalam bentuk negara korporasi dan ini telah menempatkan Indonesia dalam bahaya. Saat ini Indonesia hanya menjadi Negara Korporasi  yang dikuasai Asing dan Aseng.

Dibawah rezim Pancasila, para propagandis liberal aman dalam menebarkan segala propaganda membela LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual). Bahkan ada agenda, diantaranya adalah upaya untuk "melegalkan" LGBT. Para aktivis liberal yang berlindung dibalik Jargon "Saya Pancasila, Saya Indonesia" mengatakan bahwa LGBT adalah hak dasar manusia dengan dalih kebebasan.

Kaum liberal selalu mengkaitkan ‘kebebasan’ yang mereka maksud dengan hak asasi manusia. Kerusakan ini sudah sangat parah disampaing yang disebabkan oleh kapitalisme yang menyebabkan Indonesia dikendalikan oleh Korporasi. Saat ini kita menyaksikan masyarakat dan negara, dengan mentalitas mereka yang lemah dan rusak, ditambah rusaknya moral di negeri ini.

Melihat efek penyebaran virus LGBT secara massif yang didukungan oleh individu, negara dan badan dunia, serta korporasi-korporasi global fakta ini kian menyebabkan dampak kerusakan dan destruktifitasnya menjadi ancaman nyata bagi masyarakat dan negara. Jika dibiarkan LGBT telah menjadi bagian dari penjajahan di dunia Islam itu sendiri. Khususnya di Indonesia.

Rezim Anti Islam

Berlanjut teror kebencian yang dilakukan oleh rezim Joko Widodo di bawah payung Pancasila terhadap umat Islam, dengan upaya monsterisasi ajaran Islam dan aktivis Islam serta para Ulama yang dikriminalisasi dan kemudian membubarkan Ormas Islam dengan tuduhan anti Pancasila. Maka rezim Jokowi telah  menegaskan pada umat Islam dan kepada rakyat Indonesia bahwa rezim hari ini tidak berpihak pada umat islam dan terbukti anti Islam dengan terus terbukti mengkriminalkan ajaran islam seperti dakwah, syariah, Jihad dan Khilafah disertai dengan menyebut simbol-simbol islam dengan istilah miring dan menakutkan.

Meski rezim Jokowi menerbitkan Perppu Ormas yang kemudian disambut oleh DPR dengan disahkan menjadi UU Ormas sebagai legalisasi memukul umat Islam dan bermaksud membungkam dakwah Islam. Maka hal ini tidak akan bisa menghalangi Ulama dan aktivisnya agar terus membawa Dakwah dan setiap aktivitas untuk melanjutkan jalan hidup Islam.

Umat Islam tidak akan diam ia laksana rumput kering yang terbakar dengan perlakuan penguasa yang memusuhi dakwah Islam, Umat Islam pun akan terus bergerak melanjutkan dakwah untuk melanjutkan kehidupan umat Islam sesuai metode kenabian. Dan apa yang telah dilakukan Jokowi pasti akan terbalaskan seperti rezim-rezim diktator lainya yang jatuh tersungkur dalam kehinaan.

Kepemimpinan Rezim yang mengaku Pancasilais kian hari justru semakin menyengsarakan rakyat, dengan kebijakan menggenjot Pajak secara maksimal. Tampaknya sekarang Rezim Pajak sekaligus rezim utang ini dengan tegas  telah membuka mata rakyat bahwa "demokrasi adalah sistem yang gagal" dan telah menjadi kejahatan di Indonesia. Dengan berbagai ketimpangan baik sisi ekonomi, hukum, politik, sosial dan moral yang kian kaca balu di negeri ini.  Hal Ini bisa dirasakan masyarakat.


Ketakutan rezim dengan kekuatan umat Islam semakin nyata apa lagi setelah melihat umat Islam yang bersatu dalam Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid yang dapat menumbangkan penista Agama yang dilindungi oleh rezim Pancasilais ini semakin membuat gusar dan cemas.

Tak mau eskalasi gerakan umat islam meningkat penguasa dengan Perppu Ormas yang sudah sah jadi UU pun tegas menyatakan bahwa ide Khilafah yang merupakan ajaran Islam adalah kejahatan. 

Sungguh Penguasa negeri ini yang notabene beragama Islam justru malah memusuhi umat Islam. Dengan terus memusuhi gagasan Khilafah maka ini adalah bentuk pembangkangan sebab, Rasulullah saw telah menjelaskan dengan sangat jelas bahwa pemimpin umat Islam adalah Khalifah dan bahwa Negara untuk kaum Muslim adalah Khilafah Islamiyah. 

Maka apa yang dilakukan oleh rezim dengan dalih anti Pancasila dan melakukan kriminalisasi terhadap para Ulama, Tokoh, Aktivis dan Ormas-Ormas Islam yang dibubarkan juga di persekusi bahkan melakukan pembubaran terhadap pengajian maka ini akan mengundang murka Allah SWT.

Titik Balik

Terhadap terorisasi serta monsterisasi ajaran Islam seperti stempel muslim atau kafir, termasuk khilafah dan jihad, maka kejahatan ini tidak akan menghalangi gelombang kesadaran umat Islam Indonesia untuk terus maju, dengan tingkat perjuangan politik tertinggi. Umat Islam akan terus bergerak dan kian bersatu dalam mengungkap konspirasi rezim ini dengan kekuatan Asing dan Aseng.

Ulama dan aktivis dakwah tidak akan berhenti sejenak, karena teror dan intimidasi terhadap mereka ‘atas nama Pancasila’ yang menghalangi Islam dan kaum muslim. Justru hal ini akan menjadi titik balik untuk tampil mengungkap persekongkolan rezim ini dengan AS dan Cina. 

Kaum muslim terus mengalami evolusi dan kemajuan-kemajuan kesadaran membuat kaum muslimin seperti pegas yang jika ditekan akan menekan balik dan membalikan keadaan. Umat Islam tidak akan berhenti, meski disebut radikalisme, anti NKRI, anti Pancasila, dan anti kebinekaan.

Bahkan umat Islam semakin sadar saat melihat rezim berperan dalam memelihara budaya korupsi dan politik saling sandera yang sudah suburnya menjadi piramida korupsi dalam kasus E-KTP yang ditunjukan oleh ketua DPR Setya Novanto. 

Umat Islam dan siapapun yang mencintai keadilan, akhirnya terus bersikap kritis dan aktif bergerak tidak diam saat kemungkaran terjadi inilah titik balik yang akan terjadi  dan mualai terjadi perlahan-lahan.



Rezim Pancasilais sekuler ini tidak ada yang bisa dikatakan mampu membela umat Islam dari ketidakadilan, mereka telah memilih untuk menyingkirkan peran para ulama dan aktivis yang kritis bahkan menaruh kecurigaan kepada mereka. Hal ini menjadi sangat jelas dalam insiden pembubaran HTI yang sewenang-wenang baru-baru ini. 

Sejumlah tantangan dari penguasa setiap zaman apabila kita menyampaikan kritik maupun dakwah yang haq kepada mereka seharusnya tidak menghalangi kita - umat Islam, seharusnya kita memandang mereka sebagai ujian dari Allah Swt. Kepada kita yang menjanjikan surga bagi mereka yang memiliki tingkat kesabaran tertinggi. 

Maka jargon Pancasila semakin Ambigu dan tak jelas, Jika rezim anti Islam dan memusuhi umat Islam yang kritis, maka Pancasila pun digunakan untuk menyerang kelompok-kelompok umat. Memang paling ampuh melebeli lawan politik dengan sebutan anti Pancasila. Padahal rezim Jokowi gencar menjual aset negara, menual BUMN dan mengundang investasi Asing dan Aseng yang kian menyengsarakan rakyat dengan penguasaan sektor setrategis di tangan mereka, Apakah ini yang dimaksud Pancasilais. [MO/bp]

No comments

Powered by Blogger.