Demokrasi VS Musyawarah


DEMOKRASI JAUH DARI MUSYAWARAH MENCAPAI MUFAKAT
Oleh: R. Raraswati, Amd.Kom

Banyak orang yang mengatakan bahwa demokrasi berasal dari islam. Benarkah demikian? Saat belajar dibangku sekolah dasar, saya masih ingat dengan bidang studi PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Disampaikan bahwa demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Didalam demokrasi terdapat musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan dari suatu masalah. Mungkin ini yang dianggap bahwa demokrasi berasal dari ajaran islam. Dalam setiap pengambilan keputusan dari suatu permasalahan, masyarakat berusaha menyelesaikannya dengan jalan musyawarah. Namun, kata mufakat yang menjadi kelanjutan dari musyawarah tersebut jarang kita temukan. Bahkan bisa dibilang tidak ada. Jika tidak ada mufakat, maka langkah terakhir yang diambil adalah voting yaitu berdasarkan suara terbanyak.

Pengambilan keputusan dengan cara voting lebih sering dilakukan dibandingkan dengan berusaha mencari kata mufakat. Ini bisa dilihat dari masalah yang paling kecil hingga yang besar seperti: pemilihan ketua kelas, ketua RT/RW, Kades, sampai pada pemilihan wakil rakyat, presiden, bahkan keputusan diterbitkannya sebuah undang-undang Negara. Semua menggunakan metode voting, pilih langsung, yang otomatis suara terbanyak yang akan menang.

Pada kesempatan ini, saya ambil satu contoh yang berkaitan dengan pengesahan undang-undang ormas yang sebelumnya merupakan perppu ormas nomor 02/2017. Undang-undang yang sedang naik daun dan terkenal disemua kalangan masyarakat akhir-akhir ini. Sidang paripurna untuk mengesahkan undang-undang ini diliput oleh wartawan dan disiarkan secara langsung di beberapa stasiun televisi. Jadi, setiap orang bisa menilai bagaimana jalannya sidang tersebut. Berbagai argument disampaikan oleh anggota dewan baik yang pro maupun yang kontra terhadap perppu tersebut. Namun, kata mufakat sulit dicapai. Ini karena masing-masing peserta sidang membawa kepentingan golongannya.

Diawal sidang yang dihadiri oleh 293 dari total 560 anggota DPR dan 445 anggota yang mengikuti voting diakhir sidang. Sidang tersebut sempat diskors untuk melakukan lobi-lobi. Menurut saya, lobi yang dilakukan bukanlah musyawarah untuk mencari mufakat. Masing-masing fraksi melakukan lobi kepada fraksi lain untuk mencari keuntungan dari disahkannya perppu menjadi undang-undang, bukan mencari kebaikan dari fakta yang ada bahwa perppu ormas tersebut telah mengancam keberadaan ormas terutama ormas yang berbasis agama islam. Lha… Indonesia yang mayoritas masyarakatnya islam, kok ormas islam justru rawan dibubarkan?. Kenapa demikian, karena perppu ini mengatur ormas yang ada di Indonesia. Dan dalam perppu tersebut mengatur soal pembubaran ormas yang dianggap radikal atau bertentangan dengan ideologi pancasila tanpa melalui jalur pengadilan. Jadi, ormas apapun yang “dianggap” radikal atau tidak sesuai dengan pancasila, bisa dibubarkan secara langsung tanpa proses pengadilan. Lho…katanya Indonesia Negara hukum? Tapi kok justru pemerintah menghilangkan proses hukum?

Sidang dibuka kembali setelah diskors beberapa waktu. Dan tibalah sesi voting alias pengambilan suara terbanyak karena mufakat tak lagi didapat. Hasilnya 7 fraksi sepakat dengan perppu ormas, namun dengan catatan akan ada revisi setelah disahkannya menjadi undang-undang. Sedangkan 3 fraksi lain tegas menolak perppu ormas. “Dari total 445 yang hadir, setuju 314, 131 anggota tidak setuju. Maka rapat paripurna menyetujui perppu nomor 2/2017 tentang Ormas menjadi UU,” kata Fadli sambil mengetuk palu tanda pengesahan.

Dari satu sidang ini saja sudah terlihat bahwa demokrasi yang ada di Indonesia jauh dari musyawarah untuk mencapai mufakat. Lobi yang dilakukan, bukanlah musyawarah mufakat. Melainkan rayuan ataupun ancaman satu pihak kepada pihak lain jika pendapatnya tidak disetujui. Ini bisa dilihat dari pihak yang menerima dengan syarat. Maka jika syarat tersebut tidak disetujui, akan berbalik arah. Jadi, pendapat yang dikeluarkan karena adanya manfaat yang bisa diambil oleh kelompok, bukan karena fakta mana yang baik untuk masyarakat. Lalu, apakah hal ini sesuai dengan ajaran islam? Karena islam tidak hanya mementingkan golongan, tapi islam rahmatan lil ‘alamin. Mengutamakan kepentingan seluruh umat. Islam bukan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi ajaran islam datang langsung dari yang maha memberi kehidupan. Yang maha mengetahui aturan yang baik bagi makhluk ciptaanNya. Islam berasal dari Allah dan berlaku untuk seluruh umat. Islam tidak hanya baik bagi pemeluknya tapi baik untuk seluruh umat manusia, kehidupan dan alam semesta serta hubungan ketiganya. Bagi yang memiliki pemahaman bahwa demokrasi diambil dari ajaran islam, mohon direnungkan. Karena sesungguhnya demokrasi berasal dari kapitalis yang hanya mengutamakan manfaat/keuntungan golongan saja.

Wallahu a’lam bi ash-showab. [MO]

No comments

Powered by Blogger.