YLBHI: Dugaan Menghalangi Penyidikan, KPK Bisa Ikut Jerat Wartawan MetroTV


Jabungonline.com  - Kepala Divisi Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBI), M Isnur menilai Komisi pemberantasan Korupsi (KPK)‎ dapat menjerat sopir mobil yang ditumpangi Setya Novanto, hingga menabrak tiang listrik. Pengendara Toyota Fortuner itu diketahui merupakan kontributor Metro TV, Hilman Mattauch.

Pasalnya, dengan kecelakaan ini, yang seharusnya Setya Novanto dapat menyerahkan diri ke KPK, tapi justru terhambat hingga menyebabkan penyidik KPK sulit merampungkan penyidikan Novanto terkait perkara e-KTP.

“Bisa (dijerat pidana) menghalang-halangi penyidikan. Masuk obstruction of justice,” kata Isnur ketika ditanyai awak media di kantor KPK, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat, (17/11).

Karena itu ia menyarankan supaya penyidik segera memeriksa saksi-saksi terkait kecelakaan tersebut. Dia pun meyakini peristiwa kecelakaan tersebut masih ada kaitan dengan dugaan pelarian Setya Novanto.

“Makanya KPK penting segera masuk menyelidiki dan mengejar saksi-saksi yang ada di situ. Baik ajudan, sopir yang bawa dia. Sejak kapan si sopir ini bawa SN. Jangan-jangan sejak malam saat SN menghilang itu dia (si sopir) yang bawa seharian. ‎

Kalau sudah seperti itu kan jelas ya mencoba untuk membawa kabur tersangka yang hendak ditangkap. Itu kan bentuk-bentuk penghalangan tindak pidana atau penyidikan korupsi,” kata Isnur.


Ahli hukum pidana Mudzakir tidak sepakat dengan keputusan Polda Metro Jaya yang telah menetapkan wartawan Metro TV Hilman Mattauch sebagai tersangka atas kelalaiannya yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimpa Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) di Kawasan Jakarta Selatan.

Kecelakaan lalu lintas tersebut terjadi saat Hilman menyopiri mobil Fortuner berwarna hitam bernomor polisi B 1732 ZLO, yang saat itu membawa Setnov dan ajudannya.

Mudzakir berpendapat ada dua alternatif pasal yang dikenakan kepada Hilman, yaitu kecelakaan lalu lintas dan menghalangi proses penyidikan hukum.

“Istilah hukumnya itu concursus, perbuatan yang melanggar dua atau lebih hukum pidana, maka dikenakan ancaman pidana yang terberat,” jelas Mudzakir saat dihubungi Aktual, Jum’at (17/11).

Ia menjelaskan, dalam concursus, pihak penyidik tidak perlu menetapkan dua pasal kepada tersangka atau terdakwa pelanggar pidana, melainkan harus memilih salah satu di antara alternatif yang dirasa memiliki bobot pidana yang paling berat.

“Misalnya ada seorang pencuri yang melompat pagar dan merusak pintu. (Pencuri) itu tidak bisa dituduhkan masuk pekarangan orang lain tanpa izin terus juga merusak pintu dan mencuri, itu tidak bisa,” jelasnya.

“Karena merusak pintu dan masuk pekarangan tanpa izin itu lebih ringan hukumannya, maka cukup dikenakan pasal mencuri karena memang niatnya begitu,” imbuhnya.

Pada kasus Hilman, Mudzakir pun menyesalkan tindakan Polda Metro Jaya yang justru memeriksa Hilman pada kasus kecelakaan lalu lintas saja. Padahal menurutnya, pada kasus itu ada indikasi yang terlihat jelas jika Hilman sedang berupaya menghalangi proses penyidikan kasus korupsi e-KTP lantaran diduga menyembunyikan keberadaan sang tersangka, Setya Novanto.

“Iya, obstruction of justice yang tepat. makanya KPK harus koordinasi dan supervisi terhadap proses penyidikan ini, untuk memastikan pasal itu yang dikenakan,” tutupnya.(kl/akt)

No comments

Powered by Blogger.