Antara BPJS, Rokok, dan Asas Keadilan


Asma Nadia

Olah: Asma Nadia

Sempat viral berita menghebohkan tentang rencana BPJS menghentikan santunan terhadap delapan penyakit katastropik yang paling banyak menguras anggaran. Di antaranya jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, thalasemia, sirosis hati, leukimia, dan hemofilia.

Wacana ini muncul karena BPJS defisit sampai Rp 9 triliun dan deretan penyakit di atas menjadi penyumbang terbesar. Data Kementerian Kesehatan tahun 2016 mengungkap penyakit katastropik menyedot beban anggaran Rp 1,69 triliun atau 29,67 persen. Setidaknya penyakit katastropik yang menduduki posisi puncak jumlah penderitanya mencapai total 22 juta orang lebih.

Tentu saja, berita ini direspons negatif oleh publik. Apalagi, justru penyakit itu yang paling banyak dirasakan manfaatnya. Tanpa BJPS, jutaan penderita akan pasrah menghadapi penyakit karena tak sanggup menanggung biaya pengobatan.
Wajar sekali ketika berita tersebut muncul dengan cepat mengundang kepanikan dan berbagai respons.

“Kalau mau sakit sekarang saja, nanti tidak ditanggung!” kelakar seorang teman.

Menteri Kesehatan justru meragukan kebenaran berita yang beredar karena inti keberadaan BPJS justru untuk membantu masyarakat.

Beberapa anggota DPR pun mempertanyakan rencana penghapusan jaminan atas delapan penyakit, yang dianggap menyalahi undang-undang.

Namun, simpang siur berita tersebut diklarifikasi oleh Dirut BPJS Fachmi Idris. "Berita yang berkembang bahwa 8 penyakit tersebut tidak ditanggung BPJS adalah hoaks. Sampai sekarang BPJS Kesehatan menangungnya 100 persen."

Walaupun dalam sebuah wawancara, Fachmi Idris mengakui bahwa BPJS sedang memikirkan kemungkinan adanya cost sharing, dalam arti penyakit tertentu tidak seratus persen ditanggung BPJS tapi juga penderita. Tetap saja banyak yang keberatan dengan opsi ini.

Padahal, jika mendengar penjelasannya, ide ini cukup masuk akal dan adil. Sang dirut menyatakan, mengapa perlu adanya berbagi beban biaya, dan alasannya bukan sekadar anggaran.

“Ini adalah edukasi. Agar masyarakat menjaga hidupnya. Jangan sampai gaya hidupnya tidak benar kemudian beban akibat gaya hidup tidak benar tersebut dibebankan pada negara, karena itu ada cost sharing.”

Dengan pola saat ini, seorang perokok berat yang menjalani gaya hidup tidak sehat ketika jatuh sakit akibat kebiasaannya merokok maka biayanya ditanggung negara. Negara juga dibebankan untuk membayar penyakit akibat kecanduan narkoba, minuman keras, dan penyakit lain akibat gaya hidup tidak sehat.

Ketidakadilan menjadi semakin kasat mata karena saat pemerintah menanggung defisit akibat penyakit yang disebabkan rokok, pengusaha rokok justru mendapat profit yang sangat menguntungkan. Terlebih, dari berbagai survei diketahui, seberapa pun besar cukai rokok yang diterima pemerintah, beban penyakit akibat rokok yang ditanggung pemerintah tetap lebih besar.

Menyadari hal itu, Ketua MPR Zulkifli Hasan mendukung usulan kenaikan cukai rokok sebesar 30 persen. Artinya, jika ini diterapkan, minimal perokok membayar lebih mahal kepada negara yang nanti digunakan untuk menutup defisit BPJS.

Atau, jika ini tidak memungkinkan, kembali pada usulan BPJS, sharing yang dibayar oleh penderita. Jika penderita adalah perokok maka ia harus ikut menanggung penyakit akibat gaya hidupnya, jika penderita adalah pecandu narkoba, ia juga menanggung biayanya.

Mungkin dengan pendekatan seperti ini, tujuan BPJS untuk terus menjalankan fungsi membantu persoalan kesehatan akan benar-benar tepat sasaran. Yaitu diperuntukkan bagi mereka yang sakit akibat tertimpa musibah, bukan sakit yang merupakan konsekuensi pilihan gaya hidup.

Mau sehat? Mari jaga. Salah satunya dengan hijrah dari kebiasaan buruk yang merugikan, bahkan mematikan.

No comments

Powered by Blogger.