Sa’i Nyeleneh di Tanah Suci: Politisasi Umrah atau Kebodohan yang Disengaja?

Jabungonline.com – Suatu sore, sejumlah tokoh Nahdlatul Ulama menggelar diskusi. Mereka membahas kemungkinan untuk berkunjung ke Tibet dan menemui Dalai Lama, pemimpin spiritual tertingggi umat Budha. Desas-desus yang beredar, kunjungan itu tak hanya bersifat kunjungan kebudayaan, namun juga disisipi agenda dukungan kemerdekaan Tibet dari wilayah China.


Wilayah Tibet memang merupakan wilayah yang bergejolak sejak lama. Musim gugur 1950, pasukan tentara merah Cina menguasai Tibet—negeri di atas angin yang dipimpin Dalai Lama. Dari penyerbuan inilah pertikaian Cina-Tibet bermula. Setahun kemudian, pimpinan Tibet, Dalai Lama ke-14, Tenzin Gyatso, didongkel dari jabatannya. Sementara Cina mengangkat pemimpin baru di Tibet. Sejak itu, Tibet terpecah belah. Namun, mayoritas warga Tibet menginginkan lepas dari kolonialisme China.

Tak lama setelah pembicaraan tokoh NU itu rampung, intelijen pemerintah Cina menelepon Kedutaan Besar Indonesia di Beijing. Mereka bertanya rencana kedatangan tokoh NU ke wilayah Tibet dan menanyakan secara langsung adakah dukungan kemerdekaan secara langsung yang hendak disampaikan kepada Dalai Lama? Pihak Kedubes Indonesia sempat kebingungan, sebab informasi itu tak pernah mereka dengar, sementara tokoh-tokoh NU itu lebih kelimpungan lagi, bagaimana informasi itu bisa langsung cepat menyeberangi Laut China Selatan.

Kedekatan Gus Dur dengan Dalai Lama memang bukan hal yang baru. Pergaulannya dengan sejumlah pemuka agama dunia dikenal luas. Bahkan, hingga kini, selepas Gus Dur tutup usia, para penerusnya masih meneruskan hubungan baik dengan Dalai Lama. Kita pun bisa memahami semangat anti penjajahan yang diupayakan para tokoh-tokoh NU itu sesuai dengan semangat kemerdekaan yang dijiwai rakyat Indonesia. Tapi ada hal menarik yang perlu kita bahas di sini.

Dukungan kemerdekaan kepada Tibet yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU menunjukkan dua hal. Yang pertama ketidakpahaman terhadap sejarah dan geopolitik. Kedua, hal itu menunjukkan bahwa institusi agama di Indonesia sangat mudah dijadikan komoditas politik.

Secara geografis, wilayah Tibet memang menyatu dengan dataran China. Jadi sejak semula, Tibet memang bagian dari teritorial pemerintah China. Akan berbeda halnya, jika yang diminta lepas dari wilayah China ialah wilayah Hainan yang berada di wilayah selatan dan terpisah dari dataran China. Atau Pulau Hongkong yang memang pernah direbut oleh Inggris saat Perang Candu (1842), dan masyarakatnya sempat menolak saat pengelolaannya dikembalikan oleh Inggris kepada China pada tahun 1997.

Peta China, Wilayah Tibet dan Xinjiang sama-sama masuk dalam wilayah terirorial China.

Secara historis, sebenarnya akan lebih masuk akal jika tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama pada saat itu meminta wilayah Xinjiang yang merdeka dari wilayah China. Para tokoh NU itu memiliki kesamaan aqidah dengan mayoritas bangsa Uyghur di Xinjiang yang juga tak kalah menderitanya dari warga Tibet. Setidaknya, masyarakat Tibet masih diperbolehkan untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya secara terbuka. Berbeda dengan Muslim Uyghur yang ditindas secara moral dan material. Hal itu lebih layak diperjuangkan oleh Gus Dur dan tokoh-tokoh di Nahdlatul Ulama ketimbang masalah Tibet yang sudah mendapat perhatian lebih luas.

Persoalan yang lebih serius dari masalah ketidakpahaman akan realitas, ialah mudahnya institusi agama dijadikan komoditas politik. Institusi agama yang dimaksud di antaranya ialah tokoh agama, organisasi agama, pondok pesantren dan rumah ibadah. Belum lama ini, kita melihat video yang begitu populer di masyarakat. Tayangan itu menunjukkan adanya sekelompok jamaah umrah menyanyikan lagu “Ya Lal Wathon” saat sedang melakukan ritual sa’i. Lagu “Ya Lal Wathon” ini digadang-gadang merupakan syair cinta tanah air yang dibuat oleh KH Wahab Hasbullah. Lagu ini pernah diminta sebagai mars resmi Banser.(JO)

No comments

Powered by Blogger.