Dewan Pakar ICMI: Permintaan Maaf Sukmawati Tidak Hapus Proses Hukum

Jabungonline.com – Rabu 4 April 2018, Sukmawati Soekarnoputri akhirnya meminta maaf atas puisi yang dinilai menodai ajaran syariat Islam. Dilihat dari segi normatif hukum, permintaan maaf putri Bung Karno itu tetap tidak menghapus perbuatan dan pertanggungjawaban pidananya.


“Memang ada alasan subyektif yang bisa hapus pertanggungjawaban hukum pada pelakunya yaitu jika pelakunya gila,” urai Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat, Anton Tabah Digdoyo kepada redaksi, Kamis (5/4).

Hal ini sebagaimana diatur KUHP pasal 44. Dari segi agama pun demikian. Permintaan maaf Sukmawati haruslah diikuti sanksi-sanksi hukum yang lain.

Anton mencontohkan, dalam hukum qishas karena melukai hidung balasannya sama. Pelaku melukai tangan juga begitu. Apalagi membunuh, kecuali pihak korban memaafkannya.

“Tetap harus ada hukum kompensasi yang lain biasanya dengan denda dan lain-lain yang ditentukan pihak korban dan kalau terkait kepentingan umum dengan hukum berlapis,” jelas purnawirawan jenderal polisi bintang satu ini.

Penerapan hukum seperti ini, kata Anton, juga berlaku di negara-negara lain. Contoh di Amerika, sambung Anton, artis Zsa Zsa Gabor menampar polisi yang menilangnya tak dihukum kurungan tapi didenda 125 ribu dolar AS plus kerja sosial selama dua tahun. Zsa Zsa juga diskors dari profesinya selama setahun.

Dibandingkan kasus Zsa Zsa, Anton menilai perbuatan Sukma sangatlah serius. Derajat keresahan sosialnya sangat tinggi dan meluas.

Anton mengingatkan. UU di Indonesia tegas mengancam dengan pidana berat. Yurisprudensinya sudah sangat banyak. Bahkan dalam delik formal, unsur pidana seperti kasus Sukma tak perlu ada aduan. Polisi bisa melakukan tindakan hukum.

Terlebih di tengah  situasi yang sedang ramai kasus hatespeech Asma Dewi, Jonru Ginting, Alfian Tanjung, Bambang Tri, Buni Yani yang dinilainya tidak jelas saja langsung dipenjara.

“Kasus Sukma ini nyata hate akidah kebencian terhadap akidah. Lebih meresahkan dari kasus Asma Dewi dan kawan-kawan tadi,” tegas Anton.

Ada tuntutan kepastian, kesaman, dan keadilan hukum pada situasi ini.

“Saya ingatkan jangan gagal pahami hukum lalu nilai kasus Sukma sebagai karya seni. UU nya sangat tegas karya seni kerya jurnalistik dilarang keras sentuh SARA. Apalagi kasus penodaan agama ada UU khusus dan ada Surat Mahkamah Agung (SeMA). ,” imbuhnya, menekankan.

Menurutnya, jika Sukmawat tidak dipenjara maka harus ada hukuman sosial berlapis dan ini bisa dirumuskan oleh umat dan aparat. “Itu maksud jika akan kedepankan musyawarah dalam hukum restorative justice. Bukan tanpa syarat,” demikian Anton. (rmol)

No comments

Powered by Blogger.