Rohis dan Radikalisme


Ilustrasi Foto Teroris (iStockphoto)

Jabungonline.com – Kita semua pasti kaget melihat foto keluarga para eksekutor bom Surabaya. Tidak ada yang aneh, bahkan gestur sang ibu tampak begitu luwes membimbing anak-anaknya. Anak-anak pun tampak tersenyum lepas, bahkan kedua anak perempuan memegang bunga, simbol kedamaian dan kasih sayang.

Saya tidak kenal mereka, tetapi jika mereka benar-benar menjadi eksekutor-karena setahu saya belum ada keterangan resmi-tentu ini hal yang luar biasa. Istilah pengamat Al-Chaidar, ultimate terorism .

Cerita yang berkembang di medsos, mensinyalir akar radikalisme Dita Oepriarto, sang ayah, berawal dari kegiatan Rohis semasa SMA. Ada pesan yang sangat halus, agar kegiatan Rohis perlu diawasi, karena bisa menjadi bibit-bibit kekerasan dikemudian hari. Sebagai mantan aktifis Rohis, saya perlu menyampaikan klarifikasi.

Masa-masa SMA hanyalah awal dari pencarian jati diri. Guru-guru agama saya dan imam masjid dekat kost saya-sebagian telah meninggal, semoga Alloh SWT merahmati mereka-paham benar hal ini. Mereka lebih banyak diam, kalaupun harus menegur, mereka lakukan secara halus. Meski jujur saja, malu kita mengingatnya. Ilmu belum seberapa, berani petantang-petenteng luar biasa.

Masa kuliah-lah yang paling menentukan. Ada lebih banyak tawaran. Ada komunitas masjid kampus, grup pemikir progresif-revolusioner, sampai menjadi kader tokoh maupun politisi. Status mahasiswa juga memiliki keistimewaan tersendiri, bebas bereksperimen dan berekspresi. Sebagian kawan malah mencoba lintas pergerakan, keluar-masuk harokah.

Penyikapan terhadap berbagai peristiwa Nasional dan Global juga ikut menetukan. Jihad Dunia Islam, Refomasi 98, pemboman WTC, Bom Bali, hingga munculnya ISIS. Dari semua rentetan peristiwa, kemunculan ISIS adalah yang paling mempengaruhi aksi-aksi kekerasan di dunia Islam. Meski telah divonis khowarij ekstrim oleh berbagai Ulama Internasional, kelompok ini terlanjur memiliki banyak pengikut.

Jadi secara umum, wacana pemikiran setingkat Rohis SMA, sangat kecil kontribusinya dalam menumbuhkan bibit-bibit radikalisme. Banyak pembaca Sabili, Ummi, Almuslimun, yang sukses menjadi penulis dan menginspirasi banyak orang. Tidak sedikit alumni Rohis yang dulu menolak salaman selesai sholat, menolak upacara bendera, sekarang menduduki posisi strategis dalam karier mereka. Sebaliknya, banyak dari mereka yang sekarang berpikiran radikal, semasa SMA tidak kenal Rohis sama sekali. Semua lebih dipengaruhi oleh bagaimana mereka menjalani hidup selepas SMA.

Lalu, bagaimana mencegah bibit-bibit radikalisme?
Pertama, harus disepakati dulu, definisi dan lingkup radikal itu sendiri. Bagi saya, radikal adalah pemikiran yang menganggap hanya diri atau kelompoknya-lah yang benar. Semua yang berbeda adalah salah. Disini, mereka yang begitu mudah mem-bid’ah-kan amalan orang, sampai meng-khowarij-kan mereka yang kritis terhadap penguasa, termasuk kelompok radikal.

Kedua, harus dibedakan antara radikal dengan istiqomah, teguh memegang prinsip. Harus diakui, tidak mudah menjadi muslim yang baik di negeri ini. Dikit-dikit dituduh radikal. Sekedar menuntut hak dan keadilan, dituduh radikal. Bahkan meminta komunitas agama lain untuk sekedar menghormati kaum Muslimin, dituduh radikal. Perlu banyak-banyak sabar, agar tidak sampai lepas kontrol, lalu semua jari menunjuk….’tuuh kaan!’.

Ketiga, pemerintah dan aparat harus mampu memberikan rasa keadilan. Seringkali, radikalisme hanyalah reaksi atas ketidakadilan aparat. Banyak sekali contoh penanganan yang berlarut-larut atas kasus-kasus yang menyangkut ummat Islam. Penganiayaan terhadap Novel Baswedan adalah contoh paling mudah. Belum lagi kasus-kasus yang tergolong janggal. Bagaimana bisa, para tahanan di Mako Brimob bisa ber-selfie, merebut senjata, hingga mengirim pesan keluar penjara?

Keempat, seharusnya penanganan radikalisme ini melibatkan seluruh elemen masyarakat. Ulama dan ormas Islam harus dirangkul. Mereka lebih paham situasi dan kondisi lapangan. Tidak mungkin dilakukan aparat beserta jajarannya sendirian. Apalagi kalau sampai mengedepankan kekerasan dalam setiap aksinya. Negara harus serius memutus rantai kekerasan. Bukan sebaliknya, menciptakan kekerasan baru atas nama pecegahan radikalisme dan terorisme.

Kelima, faktor keluarga adalah yang utama. Orangtua harusnya menjadi contoh bagaimana muslim yang baik. Dekat dengan anak-anak, menjadi tempat curhat mereka saat menjumpai hal-hal baru. Tidak perlu khawatir saat anak-anak istiqomah dengan nilai-nilai Islam. Dorong anak-anak untuk rajin ke masjid dan menghafal Al-Qur’an. Jangan halangi mereka menjadi orang-orang besar, karena peradaban dunia akan maju jika Ummat Islam-nya maju.

Wallahu a’lam, kasus bom Surabaya memang kejadian luar biasa, ultimate terorism. Penanganannya, juga penanganan efek-efek setelahnya, akan sangat menentukan nasib bangsa. Semoga bisa menghadirkan rasa keadilan untuk semua.

Penulis: Madi Hakim, Professional dan Alumni Rohis 92-93

Sumber: Kiblat

No comments

Powered by Blogger.