Hapus Saja UU Penodaan Agama!


Oleh: Beggy Rizkiyanyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa


Jabungonline.com – Perdebatan itu mengemuka kembali ke publik. Vonis penjara 18 bulan terhadap Meliana yang melakukan protes terhadap suara azan di tahun 2016 menimbulkan perdebatan di publik. Protes Meliana sendiri berujung pada kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara. 15 Vihara, Klenteng, dan Yayasan dirusak massa. 6 dibakar, 5 rusak berat dan 4 rusak ringan.

Seperti lazimnya, pemberitaan media massa arus utama seringkali tidak jernih dalam persoalan seperti ini. Kronologis peristiwa yang tidak berimbang, hingga framing yang kerap menyudutkan umat Islam mewarnai pemberitaan-pemberitaan peristiwa seperti ini.

Kronologi peristiwa misalnya, suara-suara pihak pengurus Masjid tak terwakilkan secara berimbang di liputan media arus utama. Penolakan Merliana untuk meminta maaf (sedangkan suaminya meminta maaf) tak disebutkan. Pengurus Masjid pula yang sebenarnya berusaha menghentikan massa membakar rumah Merliana. Sayang hal-hal seperti ini rupanya tak dianggap penting oleh sebagian media.

Kita tentu menolak perbuatan pembakaran rumah ibadah. Para pelaku pun sudah menanggung vonis mereka. Namun satu hal yang perlu kita pahami adalah kebuntuan dialog antara pengurus masjid dan Meliana tak ada sangkut pautnya dengan kerusuhan. Misinformasi menyebar dengan cepat tanpa diketahui pengurus masjid itu sendiri. Kerusuhan kemudian pecah.

Pertanyaannya, apakah soal penolakan kerasnya suara azan tersebut satu pangkal persoalan yang melatar belakangi kerusuhan tersebut? Atau persoalan protes suara azan tersebut sebenarnya hanya pemicu dan ada persoalan lain yang mendalam, misalnya kesenjangan ekonomi?

Sebuah Vihara di Tanjung Balai Sumatera Utara terbakar oleh amukan massa yang dipicu pelarangan adzan

Sayangnya persoalan seperti ini tak didalami oleh banyak pihak. Kita seringkali melihat persoalan hanya pada yang tampak. Menafikan hal-hal yang lebih meluas dan mendalam. Meminjam Mohammad Natsir, kita lebih berfokus pada symptomatic approach(yang melihat pada gejala) ketimbang menelusuri sebab-akibat. Kejadian kasus-kasus yang terkait hubungan antar umat beragama seringkali didedah sebatas dengan symptomatic approach.

Mohammad Natsir menyatakan agar Identitas orang-orang Islam jangan diganggu. “Perdamaian nasional hanja bisa ditjapai kalau masing2 golongan agama, disamping memelihara identitas masing2 djuga pandai menghormati identitas golongan lain.” (M. Natsir: 1969)

Lebih mengenaskan lagi, suara-suara tudingan lebih kencang diarahkan pada UU Penodaan Agama (Penpres tahun 1965) yang dimasukkan ke dalam KUHP, Pasal 156a. Pasal ini dianggap pasal yang bermasalah oleh sebagian pihak. Mereka menganggap UU ini melanggar kebebasan beragama.

Pasca kasus penistaan Agama oleh Ahok, UU ini semakin kencang diteriakkan pihak tertentu agar dihapuskan. Jika kita menelusuri kembali sejarah UU Penodaan Agama ini, maka kita akan memahami betapa mendesaknya UU ini. Presiden Soekarno menetapkan UU ini melalui Penetapan Presiden (Penpres) no.1 pada 27 Januari tahun 1965.

Satu hal yang perlu diingat adalah posisi Presiden Soekarno pada saat itu adalah sebagai penguasa yang otoriter. Ia sedang berada di atas angin. Seluruh kekuatan politik mendukungnya. Soekarno menggenggam kekuatan politik yang saling bersaing dibawah kendalinya; PKI, Angkatan Darat dan Nadhlatul Ulama.

Di akar rumput terjadi bentrok yang keras. Massa PKI bentrok dengan massa NU. Salah satu penyebabnya adalah provokasi anti-Tuhan oleh massa PKI. Seringkali penistaan terhadap Agama Islam dilakukan, baik lewat pementasan ketoprak dengan propaganda anti-Tuhan seperti Matine Gusti Allah atau provokasi frontal terhadap umat Islam. (Beggy Rizkiyansyah: 2017)

Jika kita menelisik kembali suasana panas pada masa itu, ada satu persitiwa yang terjadi, tak lama sebelum Presiden Soekarno menetapkan Penres tersebut, yaitu Tragedi Kanigoro di Kediri pada 13 Januari 1965. Peristiwa itu sendiri merupakan teror terhadap para peserta mental training Pelajar Islam Indonesia (PII). Sekitar 150-an pelajar PII diserbu, dilecehkan dan diteror. Para penyerbu yang merupakan massa simpatisan PKI juga merobek-robek dan menginjak-injak Al-Qur’an. (Beggy Rizkiyansyah: 2017) Tak ayal peristiwa ini menggemparkan suasana saat itu dan sampai ke telinga Presiden Soekarno.

Sejarah Pasal Penodaan Agama

Sejauh penulis ketahui, tak ada penjelasan resmi dan pasti yang melatar-belakangi munculnya Penpres tersebut. Meski demikian, kita dapat menduga kuat Tragedi Kanigoro-lahyang setidaknya menjadi salah satu pertimbangan munculnya Penpres Penodaan Agama tersebut. Soekarno sendiri adalah seorang politisi nasionalis-sekular. Maka dapat dipastikan bukan latar belakang ideologi relijius yang mendorong munculnya Penpres tersebut.

Jika ada pihak yang mendorong Soekarno untuk mengeluarkan aturan tentang UU Penodaan agama, maka para tokoh NU seperti KH Wahab Hasbullah atau KH Idham Chalid yang dapat mendorongnya. Tetapi perlu diingat sekali lagi, Presiden Soekarno kala itu adalah pemimpin tertinggi. Maka sulit dipercaya jika Soekarno mengeluarkan Penpres itu karena dipaksa. Besar kemungkinan jusrtru Soekarno melakukan pertimbangan matang dan menghindari pecahnya konflik horizontal lebih besar di masyarakat.

Kita dapat menyimpulkan bahwa UU tersebut dibuat justru untuk melindungi kesucian ajaran agama dan para penganutnya. Konflik horizontal justru akan pecah jika ajaran agama tak dilindungi dari penistaan atau penodaan. UU tersebut melindungi baik agama dengan penganut mayoritas ataupun agama dengan penganut minoritas.

Kita masih mengingat, tahun 2008 silam, umat Katolik dibuat marah dengan munculnya sampul Majalah Tempo yang memvisualisasikan Keluarga Soeharto dengan visual ‘Penjamuan Terakhir Yesus’ yang dianggp sakral oleh umat Katolik. Peristiwa tersebut berakhir dengan permintaan maaf Tempo.

Sampul majalah Tempo yang dikecam karena mirip lukisan perjamuan terakhir Yesus dalam ajaran Kristen.

Tahun 2009, umat Budha memprotes pemakaian nama Budha Bar sebagai tempat hiburan di Jakarta. Wajar mereka marah dengan penamaan tersebut. Figur Budha yang mereka sucikan malah direndahkan menjadi sekedar tempat hiburan komersil. Beberapa peristiwa tadi menandakan pentingnya kehadiran UU Penodaan Agama. Ada potensi kekacauan jika Indonesia tak dipagari dengan UU Penodaan Agama.

Saat ini pihak-pihak berideologi sekular-liberal terus mendesak dihapuskannya UU tersebut. Padahal UU tersebut amat penting untuk menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia. Jika kita hendak melihat lebih seksama, aturan semacam UU Penodaan agama sebenarnya adalah aturan yang sangat lumrah untuk diberlakukan. Jangankan di Indonesia yang menempatkan ketuhanan sebagai poin pertama dasar negaranya. Di banyak negara sekular dan liberal sebenarnya aturan yang melarang penodaan suatu agama mewarnai kehidupan mereka.

No comments

Powered by Blogger.