Antara Petahana Dan Pertahanan Negara



Oleh : Bagas Kurniawan
(Aliwa' Institute)


Jabungonline.com - Lika-liku Pilres makin menarik, berbagai macam jurus sampai membuat tensi politik kian panik, menjadi satu hal yang penting untuk di lihat dan tentunya dengan mengedepankan kualitas cara pandang terbaik. Penggalangan dukungan dari berbagai Paslon unjuk gigi menarik simpati, baik parpol, ormas, sampai dengan rumor yang beredar menggaet perusahaan online Bukalapak dan ojol (ojeg online).

Kekalahan diberbagai survey dan tentu hastag #2019GantiPresiden yang dilakukan oleh banyak pihak di sosial media, terkait siapa Presiden pilihanmu membuat petahana perlu melakukan manuver politik. Taktik jitu sampai dengan,  sosialisasikan kinerja dengan berpesan kepada perwira negara jadi salah satu hal kepanikan petahana.

Berbagai politisi menilai apa yang dilakukan Pemerintah terkesan, dalam aksi tersebut berpotensi menarik TNI/POLRI kedalam politik pusaran praktis. Salah satunya seperti yang di ungkapkan oleh Fadli Zon (Wakil Ketua DPR RI). (Kumparan, 23/8).

Memang pertahanan negara harus memiliki sikap netral dalam berpolitik. Hal senada juga ikut disampaikan oleh Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri mengungkapkan ada dua indikator yang Ghufron sebut dilanggar Jokowi. Salah satunya, Jokowi dinilai telah menerabas UU TNI khususnya Pasal 7 ayat (2) dan (3). Dan pelibatan aktor keamanan dalam konteks itu sangat terbuka potensi abuse of power. Di kutip (tirto.id, 23/8).

Publik bertanya sebegitu takutnya kah dengan persaingan Pilpres 2019 ? Hingga alat negara menjadi instrumen untuk sosialisasikan program kerja ? Bukankah pertahanan negara seperti TNI/POLRI bertugas menjaga kestabilan negara ? Bukan justru berbicara terkait harga bawang naik, infrastruktur, pembangunan, dll.

Secara 'de facto' Indonesia terbelit hutang yang jumlahnya cukup parah sejak tahun 2015 hingga kini. Pada akhir Mei 2018 telah mencapai sekitar Rp 5.075, 3 triliun dengan (kurs 14.153). Tumpukan hutang sebesar itu tentu masalah serius bagi sang petahana.

Pembangunan infrastruktur yang menjadi target utama pembangunan pemerintah diharapkan mampu menggambarkan keberhasilan pembangunan. Padahal sesungguhnya menyimpan masalah besar karena pembiayaan bersumber dari utang.
Utang merupakan instrumen bagi penjajahan ekonomi dan politik terhadap suatu negara. Bukan rahasia umum lagi bahwa IMF, World Bank dan lembaga uang dunia lainnya telah menjerat berbagai negara ketiga dengan jebakan utang.

Akibatnya negara tersebut lebih mudah untuk di dikte untuk menjalankan kebijakan ekonomi maupun politik sesuai kemauan penjajah. Menjadi paradoks jika dikaitkan dengan kesejahteraan rakyat. Itulah Mahdzab ekonomi Neo-Liberaalisme, lebih mendukung para kapitalis ketimbang nasib rakyat.

Ini adalah sebuah program yang sadar atau tidak sadar telah di jalankan oleh rezim di negeri ini sampai turun temurun. Artinya, ketika suatu alat negara di gunakan untuk mendobrak suara disaat rakyat sendiri sudah sadar, akan kesulitan yang dialami.

Maka, ketika itu pula rakyat mulai menunjukkan pentingnya sebuah perubahan, dengan perubahan yang tidak hanya perubahan parsial namun harus revolusioner. Itu perubahan yang di inginkan, dengan perubahan mendasar melalui sistem kepemimpinan. Kepemimpinan yang akan membuat rakyat Indonesia menjadi lebih baik dalam seluruh aspek kehidupan. Perubahan menuju cahaya Islam.

Wallahu a'lam.

No comments

Powered by Blogger.