Penggusuran Kampung Pulo Bukti Ketidakadilan Penguasa pada Rakyat

Oleh: Falihah dzakiyah, Mahasiswa S1 Farmasi Unej

PENGGUSURAN Kampung Pulo dimulai. Sebelumnya, pemerintah DKI Jakarta dan warga Kampung Pulo masing-masing mempertahankan keyakinannya. Pemerintah DKI akan tetap menggusur permukiman di Kampung Pulo. Sedangkan masyarakat di sana tidak akan beranjak dari rumah mereka.

Pemerintah DKI sudah memastikan bakal melakukan penggusuran besok. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan pemerintah DKI sudah memberikan kesempatan kepada warga untuk mengajukan ganti rugi dengan menunjukkan sertifikat hak milik lahan yang mereka kuasai.

“Tak ada negosiasi. Kami paksa mereka agar pindah dan bongkar,” kata Ahok di Balai Kota, Selasa, 18 Agustus 2015.

Menurut Basuki, warga harus tetap pindah dari rumah yang ditempati lantaran wilayah itu terkena proyek normalisasi sungai.

“Menolak pun juga harus tetap pindah. Kami tak punya pilihan,” ucap Ahok.

Penggusuran permukiman di Kampung Pulo ini berlangsung ricuh pada Kamis, 20 Agustus 2015. Sekitar 27 orang ditangkap dan 13 orang terluka pada peristiwa itu. (Tempo.Com, 20/08/2015)

Relokasi warga Kampung Pulo Jakarta telah menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat, khususnya di ibu kota. Hujan batu dan tangis warga mewarnai proses relokasi pemukiman yang sudah dihuni puluhan tahun. Proses relokasi sendiri berjalan alot bahkan terjadi tindak kekerasan baik dari pihak warga maupun aparat.

Dengan alasan normalisasi kawasan bantaran kali, pemerintah provinsi DKI Jakarta melakukan program relokasi warga Kampung Pulo ke kawasan rumah susun Jatinegara. Selama ini ada pandangan bahwa pemukiman padat penduduk di bantaran kali penyebab banjir di Jakarta. Maka setelah Kampung Pulo, pemprov DKI sudah bersiap-siap melakukan penggusuran di kawasan lain seperti Bukit Duri.

Tapi sulit untuk mempercayai konsistensi tindakan Pemprov DKI dalam melakukan normalisasi lingkungan. Pasalnya, tindakan serupa tak dilakukan terhadap hunian mewah atau mall yang berdiri di atas kawasan resapan air dan kawasan hijau lainnya.

Sudah sama-sama diketahui banyak kawasan hijau seperti hutan kota, persawahan dan hutan mangrove di Jakarta diserobot para pengembang kelas kakap dan para konglomerat. Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Nirwono Joga menyatakan bahwa banyak kawasan resapan air di Jakarta telah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan elit dan pusat-pusat bisnis. Ia menyebutkan kawasan Mall Taman Anggrek Slipi adalah salah satu contoh penyalahgunaan fungsi lahan dari kawasan hutan kota menjadi mall.

Nirwono menyoroti semakin terhimpitnya luas lahan terbuka hijau di ibu kota. Pada 1965 luas ruang terbuka hijau di Jakarta mencapai 37,2 persen. Kemudian pada 1985 merosot menjadi 25,8 persen. Pada 2000 luasnya makin parah yaitu tinggal 9 persen.

Beberapa perumahan mewah dan sentra bisnis telah merebut daerah resapan air bahkan persawahan. Sebut saja mall Kelapa Gading dan Kelapa Gading Square. Pantai Indah Kapuk yang awalnya kawasan hutan lindung menjadi permukiman elit Pantai Indah Kapuk, Mutiara Indah, dan Damai Indah Padang Golf. Juga kawasan Sunter yang merupakan area resapan air menjadi permukiman elit Sunter Agung, PT Astra Komponen, Astra Daihatsu, PT Denso Indonesia, dan PT Dunia Express Trasindo. Hutan Kota Senayan menjadi Hotel Mulia, Sultan Hotel, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Semanggi, Senayan Residence Apartment, Hotel Century Atlet, Simprug Golf, dan Plaza Senayan. Terakhir, Hutan Kota Tomang menjadi Mall Taman Anggrek dan Mediteranian Garden Residence I dan II.

Ada lebih dari 3.000 hektare (ha) kawasan yang awalnya berfungsi sebagai tangkapan air dan hutan kota, kini beralih fungsi menjadi bangunan. Tapi terhadap kawasan-kawasan tersebut, Ahok justru senyap. Padahal pada tahun 2013 saat masih menjabat wakil gubernur, ia terang-terangan mengatakan bahwa banyak pemukiman elit dan sentra bisnis menjadi penyebab banjir karena berdiri di atas kawasan resapan air (vivanews.co.id, 12/10/2013).

Namun saat itu Nirwono juga mengatakan bahwa Pemprov DKI tak bisa berbuat apa-apa karena semua kawasan tersebut mengantongi surat izin.

“Kalau dipaksakan kita bisa dituntut ke pengadilan. Di-PTUN-kan,” katanya.

Sikap inilah yang mencurigakan. Mengapa ia begitu gagah menggusur warga miskin di bantaran kali, tapi tak melakukan hal serupa dengan kawasan elit bila memang sama-sama beralasan menyelesaikan problem banjir di Jakarta.

Apalagi pernyataan bahwa hunian bantaran kali adalah penyebab utama Jakarta kebanjiran juga diragukan banyak pakar perkotaan. Tanpa mengesampingkan efek buruk membuang sampah ke sungai, namun penyumbang terbesar banjir di Jakarta adalah dirampasnya kawasan hijau dan reklamasi pantai oleh para konglomerat. Kelihatan jelas Ahok berusaha mengecoh publik bahwa tindakannya benar dan bertanggung jawab. Sementara biang utama penyebab banjir di Jakarta tidak ia sentuh sama sekali. Kebijakan yang kita saksikan saat ini adalah kebijakan pembangunan berbasis kapitalisme. Dimana negara bersekutu dengan kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan berdalih pembangunan, padahal rakyatlah yang menjadi korban.

Sudah cukup lama warga di tanah air, khususnya ibu kota Jakarta menjadi korban kolusi pengusaha dan kaum kapitalis dengan kedok pembangunan. Di masa Orde Baru salah satu contoh besarnya adalah pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) di kawasan Jakarta Utara. Perumahan mewah itu berdiri di atas tanah seluas 831 ha itu dengan menimbun rawa-rawa, tambak dan membabat kawasan konservasi hutanmangrove.

Padahal kawasan perumaha elit itu berdiri di atas hutan mangrove Angke Kapuk yang sudah dikukuhkan Cagar Alam sejak tahun 1939 seluas 1.114 ha pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Kala itu Belanda merancangnya sebagai daerah penyangga lahan basah untuk menampung masa air pada saat pasang besar dan banjir. Kawasan ini dikenal juga sebagai terminal air kota Jakarta yang di antaranya juga berperan tempat pembuangan air ke laut di saat hujan.

Ironisnya demi memihak kaum kapitalis, pemerintah justru mengabaikan kepentingan publik dan keseimbangan lingkungan. Mulai dari pemerintah pusat hingga Pemprov DKI. Pada tahun 1984 Menteri Kehutanan justru memberikan izin tukar guling cagar alam ini ke wilayah Sukabumi dan Cianjur. Lalu meski tanpa AMDAL, Pemprov DKI Jakarta menerbitkan Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) yang kemudian dilanjutkan dengan menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Bagi penguasa kaum kapitalis adalah mitra untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan termasuk untuk memuluskan mereka pada ajang pilkada atau pemilu berikutnya. Sedangkan bagi kaum kapitalis, penguasa adalah mitra dalam mengeruk profit sekaligus bumper mereka untuk menghadapi gugatan rakyat.

Maka dibalik pemujaan media dan para pendukungnya kepada Ahok, yang dicitrakan berani, tegas, bersih dan anti korupsi, sebenarnya ia tak ada beda dengan rezim-rezim daerah lain yang pro-kapitalis. Hanya berani menggertak rakyat kecil yang kebetulan berbuat salah, itupun karena faktor kemiskinan belaka, tapi senyap melawan kejahatan konglomerat hitam sekalipun begitu jelas melanggar aturan.

Maka Kampung Pulo dijadikan tumbal pencitraan Ahok sekaligus untuk menutupi ketidakmampuan dan ketidakberaniannya menghadapi penjahat-penjahat lingkungan kelas kakap. Karenanya selama demokrasi dan kapitalisme masih dijalankan, selama itu pula rakyat kebanyakan akan dikorbankan.[ ]

Sumber : islampos

No comments

Powered by Blogger.