Akankah Nasib Jokowi Seperti Soeharto?


Mungkin tidak salah kalau ada yang berpendapat bahwa isu-isu ‘laten’ yang mulai muncul (atau dimunculkan lagi?) beberapa saat terakhir ini adalah upaya untuk menutup masalah krusial yang dihadapai rezim Jokowi-JK.

Namun, ada juga yang mengatakan bahwa munculnya isu-isu ‘laten’itu adalah cara efektif untuk menambah tingkat eskalasi kegaduhan yang kini sedang terjadi.

Memang harus kita akui ada beberapa catatan krusial dan kontroversial soal pengelolaan administrasi negara yang buruk saat ini. Sebut saja soal reklamasi Teluk Jakarta, RUU Tax Amnesty, Freeport, terorisme, trasnportasi online sampai beberapa soal krusial lain yang berpotensi besar untuk terjadi benturan dan konflik horizontal ditingkat grass root.

Meski beda konteks, kita sebaiknya melihat ke belakang lagi untuk melihat lebih jernih apa yang terjadi saat ini. Terutama kalau kita tengok sejarah dibalik Mei 1998. Beberapa konflik horizontal yang terjadi saat itu mempercepat proses jatuhnya rezim Soeharto.

Dilihat dari sudut kepentingan kelompok, Mei 1998 adalah sebuah kemenangan besar sebuah gerakan menjatuhkan rezim orde baru yang otoriter.

Namun, kalau dilihat dari sudut kepentingan geopolitik, Mei 1998 adalah sejarah kemenangan besar kepentingan modal (kapital) atas kedaulatan ekonomi dan politik negara bangsa ini.

Pesta pora yang riuh sebuah kemenangan setelah rezim Soeharto jatuh harus dibayar dengan air mata jatuhnya harga diri sebuah negara bangsa akibat kedaulatannya terbeli.

Tak banyak dari kita yang menyadari hal ini. Memang di skala grass root banyak yang tidak paham soal ini.

Di hadapan mereka hanya ada kata, “Mereka musuh saya!”. Atas nama agama, ras, aliran, isme sampai atas nama kelompok miskin dengan sangat mudah mereka tersengat konflik. Konflik horizontal antara sesama warga negara Indonesia yang seharusnya tidak perlu terjadi. Bahkan TNI, Polisi bahkan politisi yang seharusnya menjaga agar konflik itu tak terjadi justru ikut masuk dalam kubangan konflik.

Harusnya, rezim Jokowi ini sadar bahwa ada yang ‘tidak beres’ dalam mengelola pemerintahannya. Dan ketidakberesan yang akumulatif itu memicu konflik. Kalau terus berlanjut bisa jadi bumerang. Taruhannya sangat besar: soal kedaulatan bangsa ini.

Jangan sampai sejarah Mei 1998 terulang lagi, keinginan besar untuk mempertahankan kedaulatan negara bangsa ini justru seperti ibarat lepas dari mulut harimau namun kemudian masuk ke mulut buaya…

Sumber:
Faizal Rizki Arief/Aktual.com

No comments

Powered by Blogger.