3 Sosok yang Membuatku Kagum dalam Pilkada DKI



Jabungonline.com – Emmy Hafild. Sosok ibu satu ini adalah mantan Direktur WALHI dan Greenpeace Southeast Asia. Jangan tanyakan tentang masalah kerusakan lingkungan padanya. Ibu ini sudah khatam tentang tema tersebut. Namun uniknya, terkait reklamasi di Jakarta, ibu ini mengambil jalan yang berseberangan dengan organisasi pencinta lingkungan yang pernah dipimpinnya dahulu kala. Jika WALHI dan Greenpeace konsisten menolak reklamasi di teluk Jakarta. Maka tidak dengan ibu ini.

Dalam sebuah tulisan, beliau sama sekali tidak mempersoalkan reklamasi teluk Jakarta. Demi mendukung Ahok-Djarot dalam pilkada DKI ia terbitkan 5 poin utama mengapa ia tidak menentang reklamasi ini. Salah satunya: “Teluk Jakarta adalah suatu ekosistem yang sudah rusak, sudah dalam tahap tidak dapat dikembalikan. Untuk memperbaikinya ke keadaan semula memerlukan biaya yang sangat besar dan hampir mustahil.”

Bahkan ibu ini juga berseberangan dengan salah seorang menteri yang berada di lingkaran kabinet bapak Joko Widodo, ibu Susi Pudjiastuti. Walaupun kita tahu bersama, bahwa Ahok adalah sahabat karib-nya presiden, ibu Susi sebagai Menteri Kelautan sampai detik ini tetap konsisten menolak reklamasi dan tidak memberikan izin terkait reklamasi tersebut.

Kita berpindah ke sosok kedua.

Todung Mulya Lubis. Anda pasti mengenal sosok yang satu ini. Ia adalah seorang lawyer dan juga aktivis Hak Asasi Manusia. Sengaja tidak saya singkat, barangkali Anda lupa apa kepanjangan dari HAM itu. Tentu sebagai aktivis Hak Asasi Manusia dan lulusan kampus ternama di luar negeri, beliau sudah khatam terkait tema-tema Hak Asasi Manusia. Namun ternyata, ia juga mengambil jalan yang berseberangan dengan LBH Jakarta, tempat dimana ia ditunjuk sebagai Dewan Pembina Yayasan, terkait Hak Asasi Manusia masyarakat miskin yang digusur rumahnya oleh Gubernur DKI, Ahok beberapa waktu yang lalu.

Dalam sebuah video, bapak Todung Mulya Lubis melontarkan stigma bahwa penduduk yang “kebanyakan” hidup di bantaran sungai sebagai “penduduk gelap, tanpa izin”. Ia juga menyatakan bahwa penggusuran paksa yang dilakukan oleh Gubernur DKI, telah “menganggap (warga terdampak penggusuran) sebagai manusia” dan upaya pemerintah untuk memindahkan warga “memberikan masa depan yang lebih baik kepada mereka (red. warga terdampak penggusuran)”. Lebih lanjut, bapak Todung Mulya Lubis juga memadankan figur Basuki Tjahaja Purnama dengan sosok Ali Sadikin.

LBH Jakarta lewat websitenya kemudian membantah pernyataan beliau. LBH Jakarta juga mendesak bapak Todung Mulya Lubis sebagai Dewan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk segera meralat pernyataannya terkait dengan situasi penggusuran paksa di DKI Jakarta selama masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Pernyataan tersebut dianggap LBH sangat merugikan advokasi yang dilakukan oleh LBH terhadap korban penggurusan paksa, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di 14 kota lain di Indonesia.

Oke, sekarang kita masuk ke bagian yang ketiga. Ini bukan personal satu orang, namun merupakan kelompok tertentu dari ormas tertentu.

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwasanya KH. Ma’ruf Amin yang merupakan Ketua Umum MUI, juga adalah Rais ‘Am (Ketua Umum) ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Sosok yang teduh ini juga merupakan keturunan dari Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani (1730-1813), ulama besar asal Banten yang menjadi Imam Masjidil Haram.

MUI yang dipimpin oleh beliau telah mengeluarkan fatwa, bahwasanya Ahok telah menodai ayat suci Al-Qur’an dan juga para ulama. Bahkan, saat beliau ditunjuk sebagai saksi dalam kasus penistaan agama oleh Ahok, beliau tetap tegas menyatakan bahwa Ahok telah menodai ayat suci Al-Qur’an dan juga para ulama.

Selain KH. Ma’ruf Amin ada juga KH. Shalahuddin Wahid, pengasuh ponpes Tebuireng, yang juga merupakan keturunan dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dalam sebuah pernyataan terkait pilkada DKI menegaskan kepada warga NU untuk patuh pada hasil Muktamar NU tahun 1999 tentang Hukum Memilih Pemimpin Non Islam.

Nah, ada sekelompok orang yang mengaku sebagai bagian dari NU namun tidak sejalan dengan kedua ulama sepuh di atas. Bahkan, mereka mencari-cari dalil untuk mendukung keputusan mereka terkait memilih pemimpin non Muslim. Mereka pun nekat menyatakan bahwa Ahok sama sekali tidak menodai agama Islam terkait pernyataannya di Kepulauan Seribu saat itu.

Saya sungguh sangat “kagum” dengan ketiga sosok ini. Demi membela sang jungungan, mereke rela berseberangan jalan dengan organisasi dimana mereka pernah bernaung. Mereka membuat tulisan. Mereka membuat pernyataan. Mereka berbicara di media massa. Mereka membela mati-matian dengan berbagai alasan. Mereka tak gentar. Mereka tak malu.

Nah teruntuk teman-temanku yang selama ini memperjuangkan sesuatu yang menurut keyakinan kita benar, jangan mau kalah dengan sosok di atas. Walaupun tak masuk akal, bertentangan dengan nurani, bahkan jauh dari apa yang selama ini mereka perjuangkan, mereka tanpa rasa malu tetap menyuarakan Ahok agar tetap jadi gubernur DKI. Kita mempunyai data dan fakta yang melimpah, kemudian didukung pula oleh mereka-mereka yang kompeten di bidangnya masing-masing. Kita mempunya argumen yang kuat tentang apa yang kita dukung.

Untuk masalah reklamasi, kita seiya sekata dengan pernyataan organisasi pecinta lingkungan bahkan menteri Susi Pudjiastuti. Untuk masalah penggusuran, kita sejalan dengan lembaga HAM yang membantu korban penggusuran tersebut. Untuk masalah keagamaan, siapalagi yang lebih berwenang dari Majelis Ulama Indonesia, yang di dalamnya bernaung semua ormas Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kita pun sepaham dengan MUI terkait pernyataan sang penista agama ini.

Maka jangan gentar, jangan takut. Mari kita lawan sosok penista ini. Karena sungguh kebenaran ada di tangan kalian.


Fais Al-Fatih

No comments

Powered by Blogger.