Buwas, PAN, dan Konsolidasi Kekuasaan (Lingkaran) Jokowi


[KONSOLIDASI]

jabung-online.org - Sesudah Budi Waseso resmi digeser dari jabatannya di Bareskrim, yang kontroversinya terjadi bersamaan dengan membelotnya PAN ke kubu pemerintah, beberapa pengamat mengatakan bahwa ini adalah hasil konsolidasi politik yang dilakukan Jokowi dalam sepuluh bulan terakhir. Apalagi, sebelumnya Jokowi juga baru saja melakukan reshuffle kabinet. Benarkah demikian, bahwa ini adalah produk konsolidasi politik Jokowi?!

Jika kita kembali lagi ke belakang, ketika Budi Waseso pertama kali naik, namanya selalu dihubungkan dengan sosok Budi Gunawan. Dan hampir semua orang mengatakan bahwa di belakang sosok Budi Gunawan ada Megawati, Surya Paloh, dan Jusuf Kalla.

Persoalannya adalah, ketika sepak terjangnya di Bareskrim ternyata kemudian mengusik "mainan" sejumlah elite terkemuka, terutama gerbongnya Jusuf Kalla, atau setidaknya demikianlah yang dipersepsikan oleh banyak orang, dan kemudian seolah dikonfirmasi oleh peran aktif Kalla dalam pencopotan Budi Waseso, tentunya menjadi agak aneh ketika tiba-tiba yang mendapatkan kredit dari pencopotan ini adalah Jokowi.

Di mana letak konsolidasinya?!

Sesudah reshuffle, di dalam kabinet Jokowi terdapat tiga orang menteri yang sama-sama pernah menjabat kursi menteri di dalam pemerintahan Gus Dur dan Megawati, yaitu Rizal Ramli, Luhut Binsar Panjaitan, dan Rini Soemarno. Jika ditambah dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, saudagar dari Makassar ini bukan hanya bekas menteri di dua pemerintahan yang telah disebut, ia juga bekas wakil presiden di pemerintahan sesudahnya.

Jusuf Kalla, Luhut Binsar dan Rini, bahkan pernah menduduki kursi yang sama, dimana nama yang disebut belakangan merupakan suksesornya. Ya, di kabinet pertama Gus Dur dulu, Jusuf Kalla menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Namanya terpental dalam reshuffle pertama, lalu digantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan, dimana pada saat yang bersamaan Rizal Ramli naik posisinya dari Kabulog menjadi Menko Perekonomian. Ketika Gus Dur dimakzulkan, kursi Luhut Binsar itu diisi oleh Rini Soemarno, dan Jusuf Kalla naik kembali menjadi Menko Kesra.

Kini, keempat orang itu secara bersamaan kembali duduk di pemerintahan. Secara formal, dari keempatnya, Jusuf Kalla posisinya tentu saja paling tinggi. Tapi, dalam kenyataannya, dari cara Rizal Ramli berseteru dengan Kalla, hirarki formal tadi sepertinya tak banyak artinya. Belum lagi jika kita mengingat kembali sebuah isu sebelum reshuffle kemarin, yaitu tentang keberadaan seorang menteri yang berani "melecehkan" presiden, hirarki formal itu sepertinya bukan hanya tak berlaku di antara keempat orang tadi, tapi juga tak berlaku antara keempat orang tadi dengan presiden.

Meskipun Luhut menjadi Menko di tengah jalan, jika kita lihat rekam jejaknya, ia adalah "promotor" sesungguhnya dari Jokowi, bahkan sejak Jokowi masih menjabat wali kota Surakarta dan belum diperhitungkan oleh elite-elite Jakarta lainnya. Terpentalnya dia di awal penyusunan kabinet tempo hari memang tidak terduga, meskipun bisa dipahami. Luhut tak lagi punya posisi di Golkar, sehingga secara formal posisi tawar politiknya waktu itu mungkin dianggap tak begitu signifikan.

Tapi lemahnya kemampuan komunikasi politik presiden dengan para elite nasional, telah menaikan kembali posisi tawar Luhut. Tak heran, meminjam istilah Soetan Bhatoegana, "masuklah itu barang". Jadi, dalam relasinya dengan presiden, siapa sebenarnya yang pegang tali kendali?!

Kembali ke pertanyaan awal, benarkah tersingkirnya Budi Waseso adalah produk dari konsolidasi kekuasaan di tangan Jokowi?! Atau, itu sebenarnya hanya penegasan dari betapa mudahnya lingkaran kepentingan di sekitar istana untuk mendikte presiden?!

Yang jelas, bergabungnya PAN, seiring dengan terkuaknya kasus korupsi di Pertamina Foundation, menunjukkan betapa mudah dan murahnya istana ditunggangi kepentingannya.

Jadi, sekali lagi, siapa sebenarnya yang melakukan konsolidasi?!

*dari fb Tarli Nugroho (05/09/2015)
Foto: RMOL

No comments

Powered by Blogger.