Mahkamah Arbitrase Den Haag Tolak Klaim Cina di Laut Cina Selatan

Internasional- Hakim di Mahkamah Arbitrase Internasional di di Den Haag menolak klaim Cina terhadap hak-hak ekonomi di sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan. Pemerintah Filipina menyatakan ‘menghargai’ putusan itu.

“Tidak ada dasar hukum bagi Cina untuk menuntut hak-hak bersejarah untuk sumber daya dalam wilayah laut yang termasuk dalam ‘sembilan garis putus-putus’,” kata Mahkamah Arbitrase dalam putusannya hari Selasa, (12/07) mengacu pada garis demarkasi peta laut dari tahun 1947.

Dalam berkas putusan sepanjang 497 halaman itu, para hakim antara lain menyatakan bahwa patroli angkatan laut dan penjaga pantai Cina berisiko menyebabkan kecelakaan lalu lintas laut. Pekerjaan konstruksi di kawasan itu juga berpotensi merusak terumbu karang.

Cina sebelumnya menyatakan akan memboikot semua keputusan Mahkamah Arbitrase Den Haag yang menguntungkan Filipina. Cina tidak terikat oleh peraturan apa pun, demikian disebutkan.

Cina Tak Akui Putusan Tribunal Den Haag

Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Rivas Yasay Jr.menyerukan pada semua pihak untuk menahan diri dan menjaga “ketenangan” di Laut Cina Selatan, setelah Mahkamah Arbitrase menerima gugatan yang diajukan oleh Filipina terhadap klaim Cina atas kawasan Laut Cina Selatan.

“Para ahli kami sedang mempelajari putusan ini dengan hati-hati dan secara menyeluruh selayaknya sebuah hasil arbitrase,” kata Perfecto Yasay Jr. dalam sebuah konferensi pers.

“Kami menyerukan kepada semua pihak yang bersangkutan untuk menahan diri dan tenang. Filipina setegas-tegasnya memberi penghormatan terhadap keputusan bersejarah ini.”


Spratly Islands, salah satu kawasan sengketa di Laut Cina Selatan

Kawasan Laut Cina Selatan yang kaya sumber daya itu sejak lama menjadi sengketa antara Cina dan beberapa negara di Asia Timur dan Tenggara. Terutama setelah Cina mengklaim hak ekonominya atas sebagian besar wilayah laut itu, termasuk pulau-pulau buatan yang dibangun di atas terumbu karang, dengan memperkenalkan wilayah yang kemudian dikenal sebagai “sembilan garis putus-putus”(nine-dash line).

Sengketa antara Filipina dan Cina sudah berlangsung bertahun-tahun, tanpa penyelesaian diplomatik. Tahun 2013, Filipina membawa sengketa itu ke Mahkamah Arbitrase di Den Haag, sekalipun Cina mengancam bahwa tindakan itu bisa membawa konsekuensi diplomasi dan dagang terhadap Filipina.(dw.com)

No comments

Powered by Blogger.