KSPI Tagih Janji Jokowi Revisi Aturan Pengupahan



Jabung Online - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mendesak Presiden Jokowi untuk segera merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Kata dia, Jokowi sampai dengan saat ini belum melunasi janjinya untuk segera merevisi PP terkait ketentuan upah minimum tersebut.

"Pak Jokowi sudah janji tapi sampai dengan saat ini belum terealisir janjinya. Jadi nampaknya Menaker mengulur-ulur karena ada kepentingan dari pengusaha seperti Hipmi dan Kadin," tuturnya di Jakarta, Selasa (6/8/2019).

Said menjelaskan, revisi PP Nomor 78 Tahun 2015 penting dilakukan guna mengindahkan aspirasi buruh. Menurutnya, perhitungan formulasi upah minimum yang dilakukan Pemerintah terhadap buruh selama ini tidak tepat.

"Kembalikan hak berunding serikat buruh melalui dewan pengupahan. Saat ini ketentuan upah minimun ditentukan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi jadi tidak dirundingkan dulu dengan dewan pengupahan (three party)," ujarnya.

Selain itu, Said mengungkapkan, buruh juga meminta penambahan item di dalam perhitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 15 Tahun 2005, KHL berisikan 60 item. Buruh sendiri meminta 84 item sebagai dasar perhitungan KHL.

"Penetapan kenaikan upah minimum harus berdasarkan survei pasar KHL. Jadi berapa kebutuhan rilnya itu. Bukan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Nanti disparitas atau kesenjangan upahnya tinggi sekali," terangnya

Vice Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Obon Tabroni meminta, usulan pengusaha untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) ditunda.

"Persoalan ketenagakerjaan bukan persoalan sepele. Sebab akan berdampak pada sekitar 80 juta buruh formal di  Indonesia. Karena itu butuh kajian yang mendalam," ujar dia di Jakarta, Selasa (25/6/2019).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan rapat koordinasi dengan pihak terkait untuk menindaklanjuti usulan pengusaha melakukan revisi UU Ketenagakerjaan.

"Tidak akan maksimal dalam waktu 3 bulan  undang-undang tersebut disahkan. Butuh pengkajian yang lama kalau hasil ingin maksimal," lanjut Obon.  

Dia khawatir, menjelang akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019,  pembahasan revisi UU Ketenagakerjaan akan terjadi proses transaksional.

Sebagaimana diketahui, pasal-pasal yang ada dalam UU Ketenagakerjaan berkaitan dengan upah, outsourcing, PHK, tenaga kerja asing, jaminan sosial, dan lain sebagainya. Semua hal tersebut terkait erat dengan  kepentingan pengusaha dan buruh. 

Ironisnya, Obin melanjutkan, saat ini isu yang kencang terdengar revisi ditujukan untuk mengurangi kualitas upah, mempermudah PHK, hingga penghapusan pesangon.

"Karena itulah, sebagian besar serikat buruh menolak revisi UU Ketenagakerjaan jika tujuannya untuk mengakomodir kepentingan pengusaha," tegas Obon.

"Namanya saja UU Ketenagakerjaan. Karena itu semangatnya adalah memberikan proteksi terhadap kepentingan tenaga kerja," dia menandaskan.

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyampaikan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah menyetujui tuntutan buruh terkait revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Persetujuan ini disebutnya telah diutarakan Jokowi saat serikat pekerja diundang ke Istana Bogor pada Jumat lalu.

"KSPI mengapresiasi dan berterimakasih kepada presiden Jokowi yang menyetujui adanya revisi PP 78. Meski kita belum tahu siapa yang akan menjadi presiden berikutnya," ujar dia saat sesi konferensi pers di Hotel Mega Proklamasi, Jakarta, Senin, 29 April 2019.

Dengan begitu, ia mengatakan, pernyataan Jokowi perihal revisi PP 78/2015 tersebut akan coba KSPI deklarasikan saat perayaan May Day pada 1 Mei mendatang.

Menurutnya, perubahan formulasi peraturan tentang pengupahan ini wajib diimplementasikan, sebab kaum buruh menuntut untuk mendapat upah yang berkeadilan. "Kami enggak setuju upah murah. Kami setujunya upah berkeadilan," seru Said Iqbal.

Dia pun menyoroti dihapuskannya hal runding buruh dalam PP Nomor 78, sehingga membuat pemerintah seolah sepihak dalam penentuan data upah minimum seperti yang dilakukan beberapa negara beraliran kiri.

"Data upah minimum itu sepihak pemerintah. Itu kek yang dilakukan negara komunis seperti Kuba dan Korea Utara. Itu bertentangan dengan bermacam aturan pada undang-undang tentang pengupahan," tuturnya.

No comments

Powered by Blogger.