Dilarang TNI, Warga Tetap Galang Dana Pengungsi Rohingya di Aceh
Meski ada himbauan pihak aparat untuk tidak membantu pengungsi Rohingya, namun suara hati warga Aceh tak bisa ditahan untuk membantu saudaranya yang ditimpa kemalangan.
Sejak hari Jumat (15/05/2015), warga Langsa terus berbondong-bondong mendatangi dan melihat dari dekat para imigran Rohingya (Myanmar) yang terdampar di perairan Aceh yang kini ditampung Pemerintah Kota Langsa di Kompleks Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa.
Tak hanya melihat dari dekat, warga juga membawa sejumlah bantuan, seperti pakaian layak pakai, beras, biskuit, air mineral. Di sebuah ruangan dekat dapur umum, terlihat tumpukan pakaian bekas. Para pengungsi memilah-pilah mana pakaian yang cocok untuk dikenakan.
Pakaian layak pakai ini merupakan sumbangan dari warga Langsa, yang sejak Jumat lalu terus berdatangan ke lokasi penampungan para imigran Rohingya dan Bangladesh.
Dikutip Aceh Kita, saat ini, Pemerintah Kota Langsa mulai membatasi interaksi warga dengan para imigran. Petugas polisi dan Satuan Polisi Pamong Praja berjaga-jaga di pintu masuk pelabuhan. Petugas tidak mengizinkan masuk warga yang tidak berkepentingan.
“Kita membatasi karena untuk sterilisasi. Bukan menghalang-halangi warga yang ingin masuk ke kamp pengungsi,” ujar Muhammad Safrizal, koordinator media center posko pengungsian, Senin (18/5/2015) kemarin.
Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya penularan penyakit. Apalagi, para imigran diketahui menderita sejumlah penyakit seperti batuk dan diare.
“Kita berjaga-jaga untuk menghindari penyakit menular. Siapa tahu di antara pengungsi imigran ini ada penyakit menular. Jadi ini untuk kebaikan masyarakat sendiri,” lanjut Safrizal dikutip Aceh Kita.
Hayaturrahman, 35 tahun, warga Kota Langsa, bersama tiga temannya datang ke Kuala Langsa dengan membawa bantuan berupa pakaian layak pakai, jilbab, sarung, handuk, baju anak-anak, roti, dan susu kotak.
“Saya tergerak untuk membantu. Mereka adalah saudara saya,” kata Hayaturrahmah.
Ia prihatin dan terharu mendengar cerita perjuangan para imigran memperjuangkan hidup. “Melihat mereka memperjuangkan hidup dna mencari perlindungan, rasanya kita akan memberi apa saja yang kita bisa beri. Kita akan membantu apa yang bisa dibantu sebagai sesama manusia yang punya nurani,” ujar Hayaturrahmah.
Data sementara, penampungan Kuala Langsa menampung 678 para imigran. Petugas Imigrasi Langsa masih melakukan pendataan terhadap para imigran.
UNHCR memuji penanganan pengungsi Rohingya dan imigran Bangladesh yang terdampar di Aceh. “Alhamdulillah, pemerintah Langsa dan masyarakat baik hati sekali. Aliran bantuan mengalir untuk mereka. Kami terharu sekali,” ujar Public Information Officer UNHCR Indonesia Mitra Salima Suryono. “Kami memastikan kebutuhan dasar pada masa darurat ini terpenuhi.”
Seorang imigran Rohingya, Mohamad Tayoub Ali, 25 tahun, mengaku senang berada di lokasi penampungan Kuala Langsa.
“Masyarakat Aceh ramah-ramah dan baik sekali pada kami. Mereka memberi kami makanan, minuman, pakaian,” kata dia.
Sebelumnya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah mengumumkan kepada sejumlah nelayan asal Aceh dan melarang untuk menjemput imigran gelap asal Myanmar dan Bangladesh.
Kepada wartawan BBC, dua nelayan Aceh mengaku, dilarang menyelamatkan para pengungsi Rohingya dari laut, “bahkan jika kapal mereka tenggelam sekalipun.”
Fuad Basya membantahnya. Dikatakannya TNI tidak melarang upaya penyelamatan ke darat apabila “kapalnya tenggelam atau mereka terapung-apung di laut dan tidak ada kapalnya.”
Fuad Basya mengatakan, orang asing yang masuk wilayah daratan Indonesia harus menggunakan dokumen resmi.
“TNI mempunyai kewajiban menjaga kedaulatan wilayah Indonesia, termasuk di laut,” katanya.
TNI sejauh ini memperketat patroli di kawasan laut di Sumatera untuk mencegah kedatangan imigran gelap.
Orang ibu asal Bangladesh beserta anak-anaknya di lokasi pengungsian di Aceh Utara.
Terpanggil untuk membantu
Sebelumnya, sejumlah nelayan Aceh mengatakan, mereka merasa terpanggil untuk membantu para pengungsi yang sebagian adalah etnis Rohingya dari Myanmar.
“Kami mendengarkan teriakan Allahu Akbar dan sebagian laki-laki terjun ke laut, untuk mencapai kapal kami,” jelas Ar Rahman, salah seorang nelayan, kepada wartawan BBC Indonesia, Sri Lestari. (Hidayatullah)
Post a Comment