Hendropriyono: Presiden Dihina, Kalau Hukum tak Bicara, Senjata yang Bicara

Mantan Timses Pemenangan Jokowi dan juga mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono angkat bicara soal polemik pasal penghinaan kepada presiden yang diusulkan pemerintah masuk dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Alumnus Akademi Militer 1967 itu menegaskan bahwa hukum harus bisa menyelesaikan persoalan penghinaan kepada presiden. "Siapa saja kalau dihina dan hukum tidak bicara, nanti yang bicara senjata. Itu kan Cicero yang bilang begitu. Hukum harus bisa menyeledaikan itu," ujar Hendropriyono di Mabes Polri, Jumat (7/8).

Cicero yang dimaksud Hendropriyono merujuk kepada nama Cicero atau Marcus Tullius Cicero, seorang filsuf dan negarawan Romawi kuno yang umumnya dianggap sebagai ahli pidato Latin dan ahli gaya prosa.

Lebih lanjut Hendro menambahkan, kalau seseorang dihina orang lain maka yang menghina tersebut harus dihukum. 

Mantan Menteri Transmigrasi dan Perambahan Hutan dalam Kabinet Pembangunan VII serta Menteri Transmigrasi dan PPH dalam Kabinet Reformasi itu mengatakan, di seluruh dunia itu menghina presiden itu ada pasalnya. "Kalau menurut saya, menghina presiden salah dong. Masa dipilih sendiri, begitu dipilih dan disuruh memimpin malah dihina-hina," katanya.

Menurut Hendro lagi, mengkritik itu beda dengan menghina. Dia mencontohkan, kalau melakukan kesalahan lalu dikritik itu tidak masalah. "Tapi kalau (ngomong) eh lu presiden (maaf) bangsat lu, itu menghina," katanya.

Karenanya, ia menengaskan, dalam menanggapi sesuatu jangan emosional. Perlu pikiran yang tenang. "Dalam praktik saja kita lihat, masa orang maki-maki presiden kita biarkan? Ya tidak boleh dong. Kalau kritikan, biarkan saja," ungkap Hendro.

Seperti diketahui, pemerintah mengajukan 786 pasal di RUU KUHP kepada DPR. Termasuk pasal yang mengatur hukuman untuk penghinaan presiden dan wakil presiden. 

Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP, berbunyi: Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. 

Hal ini dipertegas lagi pada pasal 264, yang berbunyi: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. 

Sebelumnya, pada 2006 pasal ini sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi. (boy/jpnn)


No comments

Powered by Blogger.