Asal Usul Suku Marga Sekampung Libo (Jabung) [Part-3]

Oleh : Abu Bakar S.Pd., MM. Pd. *

Asal Usul Suku Marga Sekampung Libo (Jabung) [Part-1]
Asal Usul Suku Marga Sekampung Libo (Jabung) [Part-2]
Asal Usul Suku Marga Sekampung Libo (Jabung) [Part-3]
Asal Usul Suku Marga Sekampung Libo (Jabung) [Part-4]

Setelah pengosongan penduduk dan penetapan batas-batas daerah dianggap selesai maka para Penekawan Sultan dan utusan Sunan kembali ke tanah Jawa /Banten, untuk melaporkan tugas yang telah mereka laksanakan di daerah Lampung. Para Penekawan dan utusan Sunan melaporkan semua hasil kerja mereka selama di daerah Lampung kepada Sultan Maulana Hasanudin. Berdasarkan laporan para Penekawan tersebut maka Sultan langsung memanggil Sunan dan Pangeran Ugor Dilampung untuk menjelaskan apa yang telah mereka laksanakan di Lampung baik mengenai pengosongan daerah, penentuan batas-batas wilayah termasuk beberapa kebuaian yang tetap tinggal didaerah tersebut. Bahwa mereka bersedia bergabung dan mengikuti segala peraturan yang ditetapkan oleh Buai Pemuko.Selanjutnya Sunan dan Pangeran Ugor Dilampung mengadakan musyawarah dengan para anggota rombongan. Hasil musyawarah menyimpulkan bahwa mereka menerima pemberian tanah tersebut. Setelah ada persetujuan maka Sultan Maulana Hasanudin langsung menyerahkan tanah tersebut kepada ketua rombongan yaitu Sunan/Pesiwo Batin. 

Sekitar tahun 1556 maka berpindahlah Sunan bersama rombongan dari kampung Pengabuan/Cikoneng menuju daerah yang telah ditetapkan oleh Sultan yaitu daerah Kuala Sekampung. Sunan beserta rombongan menetap didaerah SERAMPANG yang letaknya kurang lebih 1,5 km dari Kuala Sekampung. Sunan bersama rombongan didaerah ini mulai menata hidup baru dengan berbagai usaha antara lain bertani, cari ikan dilaut berdagang dan lain sebagainya.Setelah tinggal beberapa tahun di daerah SERAMPANG ternyata daerah ini kurang menguntungkan. Hal tersebut dikarenakan masyarakat sering tidak panen dari pertanian yang dilakukan karena diterjang banjir pasang naik. Selain itu juga daerahnya kurang aman karena sering diganggu bajau/bajak laut. Lebih-lebih setelah Raden Jimat yang bergelar Pangeran Ugor Dilampung meninggal dunia. Pangeran Ugor Dilampung dimakamkan di Muaro Tungak/belukang. Hingga saat ini makam tersebut terkenal dengan nama makam Keramat RADEN JIMAT/Pangeran Ugor Dilampung. Demi kenyamanan dan ketenangan serta kesejahteraan masyarakatnya maka Sunan alias Pesiwo Batin mengumpulkan para tokoh dan tua-tua kampung baik yang berasal dari rombongan buai Pemuko,Buai Berugo atau yang memang sudah tinggal lebih dahulu di serampang seperti Buai teladas,Buai Aji, dan Buai Bugis, mereka diajak musyawarah untuk mengatasi masalah keamanan maupun masalah usaha yang sering mengalami kegagalan. Setelah mendengar masukan dan saran dari para peserta musyawarah termasuk saran dari Temenggung Jawa Dilampung maka musyawarah memutuskan bahwa rombongan harus pindah kearah udik dengan menyelusuri kali sekampung. Sebelum rombongan berpindah kearah udik putra Pangeran Ugor Dilampung yang bergelar kariyo Ilo Dirajo pertama meninggal dunia. Beliau dimakamkan di daerah Tebing Muara Kucing hingga saat ini terkenal dengan nama makam Kramat Kariyo Ilo Dirajo.

Sekitar tahun 1560 rombongan meneruskan perjalanan menuju arah udik dengan menyelusuri sungai sekampung hingga daerah Putak. Daerah Putak tersebut terletak di seberang kali sekampung. Sebagai penunjuk jalan menuju daerah putak adalah Temenggung Jawo Dilampung. Dalam perjalanan menuju daerah Putak rombongan Sunan melewati daerah seputih rimbih yang ditempati dua kebuaian yaitu buai Mega Putih dan Buai Unyi. Menurut cerita tua-tua kampung Asahan, daerah putih rimbih saat ini terletak antara desa Asahan dan desa Belimbingsari yaitu sepanjang jalan cor hingga desa Belimbingsari.

Setelah mereka ditertibkan, rombongan Sunan meneruskan perjalanan menuju Putak. Sesampainya mereka di daerah Putak Buai Aji dan Buai Teladas memilih untuk menetap di daerah Batu Ketetuk. Sedangkan yang lainnya tetap memilih tinggal bersama rombongan Sunan untuk menetap di daerah Putak. Rombongan Sunan yang menetap sebagai penduduk di daerah Putak pada waktu itu sebanyak 20 rumah dengan penduduk 227 orang (dari catatan marga-marga Lampung). Disinilah mereka mulai bercocok tanam dan menata kehidupan baru. 

Selain Kebuaian tersebut di atas maka datang juga dua orang ke daerah putak untuk bergabung dengan Buai Pemuko. Mereka itu adalah Buai Metaro dan Buai Bungo Mayang. Menurut cerita tua-tua kampung kedua orang ini datang pada waktu yang tidak bersamaan. Kedua orang ini merupakan orang sakti yang diutus oleh suatu daerah untuk membunuh atau menaklukkan Temenggung Jawa Dilampung yang ada di Putak. Satu orang yang datang pertama ke Putak menggunakan bambu ori/buluh metaro dengan menyelusuri sungai sekampung. Sedangkan yang satunya terbang menggunakan mayang/pembungkus kembang pinang. Kedua orang sakti ini secara bertahap ketemu dengan Temenggung Jawo Dilampung. Setelah mereka ketemu dengan Temenggung Jawo Dilampung mereka justru mau ikut bergabung dengan penduduk yang ada di Putak. Karena mereka yang tadinya berniat ingin membunuh Temenggung Jawo Dilampung kemudian justru melupakan niat semula, maka oleh Temenggung mereka dinamakan buai metaro dan buai bungo mayang. Selain itu juga datang seorang pemuda ke daerah Putak yang mengaku dari kebuaian subing dari Melinting, selanjutnya menikah dan menetap di daerah Putak.

Setiap hari warga Putak melakukan kegiatan bercocok tanam di daerah Putak dan sekitarnya. Karena daerah Putak kurang bagus untuk pertanian maka mereka mencari lahan kearah seberang timur kali sekampung. Daerah yang dimaksud adalah sekitar daerah gunung urai, itik rendai dan sekitarnya. Pada waktu mereka berusaha pertanian kearah gunung urai, itik rendai dan sekitarnya rombongan buai Pemuko menemukan sekelompok orang yang telah bertempat tinggal disuatu tempat(sekarang cepako). Mereka mengaku berasal dari Abung yaitu buai cepako, dan buai selagai berasal dari Pubian. Mereka inipun bergabung dan mengikuti peraturan Buai Pemuko. Karena letak tempat bertani mereka sangat jauh maka mereka menentukan suatu tempat pertemuan untuk saling menunggu teman-teman mereka baik mau berangkat atau pulang kerja. Tempat tersebut terkenal dengan nama jati peraduan kurang lebih 1 km arah timur dari tepi kali sekampung.

Selain mengatur bidang pertanian Sunan selaku ketua rombongan juga mulai menata masyarakatnya dengan menggunakan Penggawa dan Penyimbang adat. Dari masing-masing kebuaian diharuskan untuk menunjuk seorang dari mereka untuk menjabat Penggawa yang kelak akan mengatur anak buahnya sesuai dengan adat yang berlaku. Penggawa yang telah terdaftar akan diberangkatkan ke Banten untuk dinobatkan sebagai Penggawa. Adapun penggawa yang terdaftar sebanyak 12 orang yang mewakili dari masing-masing kebuaian yaitu sebagai berikut :
  1. Penggawa dari Buai Pemuko (sekarang Jabung)
  2. Penggawa dari Buai Subing (sekarang Jabung)
  3. Penggawa dari Buai Metaro (sekarang Jabung)
  4. Penggawa dari Buai Bungo Mayang (sekarang Jabung) 
  5. Penggawa dari Buai Bugis (sekarang Negara Batin)
  6. Penggawa dari Buai Berugo (sekarang Negara Batin)
  7. Penggawa dari Buai Selagai (sekarang Negara Batin)
  8. Penggawa dari Buai Cempaka(sekarang Negara Batin)
  9. Penggawa dari Buai Aji (sekarang Negara Saka)
  10. Penggawa dari Buai Teladas (sekarang Bungkuk)
  11. Penggawa dari Buai Miga Putih (sekarang Gunung Sugih Kecil)
  12. Penggawa dari Buai Unyi (sekarang Asahan)
Setelah 12 penggawa terbentuk tentunya berikut nama-nama orang yang mewakili dari pada masing-masing kebuaian. Adapun nama-nama 12 penggawa yang dimaksud menurut cerita tua-tua kampung diperkirakan sebagai berikut :
  1. Pangeran Pukuk Bumi (sekarang Pangeran Agus) Jabung.
  2. Pangeran Rajo Sako (sekarang Dul Muin) Jabung
  3. Kiyai Temenggung (sekarang Pangeran Latif) Jabung.
  4. Penyimbang Ratu (sekarang Dalom Tayib) Jabung.
  5. Pangeran Ugor Dilampung (sekarang Hi. Ibrahim Efendi) Negara Batin.
  6. Pangeran Ratu Sangun (sekarang Dalom Sebumi) Negara Batin.
  7. Bintang Dilangik (sekarang Dalom Sangun ) Negara Batin.
  8. Karyo Jayo Kesumo (sekarang Karyo Usup) Negara Batin.
  9. Pangeran Tihang (sekarang Temenggung Wahid) Negara saka.
  10. Pangeran Ngabihi (sekarang Hi. Samaoen) Bungkuk
  11. Minak Kekunang(sekarang…) Asahan.
  12. Kariyo Kesumo Dirajo (sekarang Dalom Paksi) Gunung Sugih Kecil
Dengan demikian tersusunlah 12 penggawa yang berasal dari masing-masing kebuaian yang ada yang telah bergabung dengan Buai Pemuko. Kedua belas penggawa tersebut langsung menghadap Sultan Maulana Hasanudin di Banten untuk di nobatkan sebagai penggawa. Setelah rombongan ini menghadap Sultan maka mereka langsung dinobatkan oleh Sultan sebagai penggawa.

Selanjutnya para penggawa 12 tersebut menerima petunjuk-petunjuk sebagai seorang penggawa. Adapun salah satu petunjuk penting yang disampaikan Sultan Maulana Hasanudin adalah mengembangkan agama Islam melalui jalur adat istiadat setempat. Selain itu para penggawa 12 ini masing-masing juga menerima pakaian seragam penggawa antara lain berupa : 
  1. Kopiah tukkus.
  2. Baju dadar.
  3. Punduk (berupa senjata sejenis keris)
Setelah semua dianggap selesai maka para penggawa 12 kembali ke Lampung (daerah Putak). Beberapa tahun kemudian daerah Putak dan sekitarnya sering diganggu para bajau/ perampok yang datang dari arah laut. Karena sering terjadi gangguan keamanan maka Sunan/Pesiwo Batin memanggil para penggawa 12 untuk membicarakan tentang gangguan-gangguan yang meresahkan rakyat. Berdasarkan hasil musyawarah penggawa 12 dengan Sunan maka diambil kesimpulan bahwa dipandang perlu untuk melaporkan hal tersebut kepada Sultan Maulana Hasanudin di Banten. Musyawarah juga sepakat menunjuk Sunan selaku pimpinan untuk menghadap Sultan di Banten. Setelah Sunan menghadap Sultan dan memberikan laporan kepada beliau, maka Sultan langsung memanggil dan memerintahkan Penekawannya yang bernama BATIN DATUK untuk pergi ke Lampung. Batin Datuk menerima dan siap melaksanakan perintah Sultan untuk membantu menjaga keamanan Buai Pemuko yang ada di Lampung khususnya daerah Putak dan sekitarnya. Setiba rombongan Sunan dan Batin Datuk di kampung Putak maka Sunan dan beberapa penggawa yang lain bermusayawarah untuk penempatan Batin Datuk. Musyawarah memutuskan bahwah Batin Datuk ditempatkan di daerah Putih Rimbih bersama-sama dengan Buai Miga Putih, dan Buai Unyi untuk menjaga serangan bajau/perampok dari arah laut. Beberapa tahun kemudian setelah Batin Datuk bertempat di Putih Rimmih melaksanakan tugasnya maka daerah tersebut menjadi aman. Setelah daerah tersebut dianggap aman maka Batin Datuk menemui Sunan dan penggawa 12 untuk mohon pamit kembali ke Banten. Bila dibenarkan oleh Sunan Batin Datuk juga ingin membawa penggawa/utusan untuk ikut serta dengannya dalam memberikan laporan kepada Sultan Maulana Hasanudin bahwa daerah Lampung yang ditempati Buai Pemuko telah aman dari gangguan bajau/perampok. Permintaan Batin Datuk tersebut oleh Sunan dibenarkan. Selanjutnya para penggawa 12 sepakat meminta Sunan selaku pimpinan yang mendampingi Batin Datuk ke Jawa menghadap Sultan Maulana Hasanudin. Setibanya Batin Datuk dan Sunan di Jawa, mereka langsung menghadap dan melapor kepada Sultan Maulana Hasanudin. Mereka melaporkan bahwa keamanan selama ini telah aman dan tidak ada lagi gangguan dari pihak manapun. Selanjutnya Batin Datuk mengusulkan kepada Sultan bahwa bila dibenarkan ia tidak akan pulang ke tanah Jawa lagi dan akan terus menetap di daerah Lampung bersama-sama dengan penggawa 12 selama-lamanya. Sultan Maulana Hasanudin menerima usulan Batin Datuk dan mengabulkannnya. Pada saat itulah Sunan yang menyaksikan hal tersebut langsung memberikan gelar TEMENGGUNG JAGo PATI kepada Batin Datuk dihadapan Sultan Maulana Hasanudin. Pemberian gelar tersebut sebagai penghormatan Buai Pemuko kepada Batin Datuk yang telah berbakti menjaga keamanan wilayah mereka. Setelah semua dianggap selesai maka rombongan Sunan/Pesiwo Batin kembali ke daerah Lampung, kecuali Temenggung Jaga Pati yang tinggal sementara waktu di Jawa. Beberapa waktu kemudian Batin Datuk gelar Temenggung Jago Pati juga menyusul ke Lampung. Namun sebelumnya beliau menghadap Sultan Maulana Hasanudin untuk mohon pamit. Setelah mendengarkan niat Batin Datuk ingin kembali ke Lampung untuk selama-lamanya maka Sultan merestuinya sekaligus menitipkan beberapa jenis bibitan untuk di bawa ke Lampung. Adapun bibitan yang dititipkan Sultan Maulana Hasanudin kepada Temenggung Jaga Pati antara lain : 

  1. Bibit jati.
  2. Bibit pohon melako.
  3. Bibit burung kepipit putih kepala.
  4. Bibit biyono/bejuku. 
Titipan tersebut untuk disampaikan kepada para penggawa 12 di Lampung. Sesampainya Batin Datuk di Lampung maka beliau langsung menghubungi para penggawa 12 untuk menyampaikan kiriman Sultan kepada mereka. 0leh Sunan kiriman tersebut langsung dibagi-bagikan kepada para penggawa 12 untuk dilestarikan ditempat masing-masing. Batin Datuk gelar Temenggung Jaga Pati oleh Sunan diberikan sebidang tanah di Cilik tempat beliau menanamkan bibitan . Kemudian Temenggung Jago Pati juga diizinkan oleh Penggawa 12 apabila ingin berusaha ikan di Ngango Bawong. Tidak jelas pada tahun berapa Batin Datuk alias Temenggung Jago Pati meninggal dunia dan beliau dimakamkan di daerah pakuan ratu sekarang Asahan. Hingga saat ini terkenal dengan nama Kramat Temenggung Jago Pati/Batin Datuk Marga.

Sekitar tahun 1570 Sultan Maulana Hasanudin meninggal dunia. Hal ini menyebabkan terputusnya hubungan antara Putak dengan Banten. Kesultanan Banten dilanjutkan oleh Sultan yang kedua dan seterusnya yaitu :

  1. Sultan Maulana Yusuf tahun 1570-1580 (Sultan ke II ).
  2. Sultan Maulana Muhammad tahun 1580-1596 (Sultan ke III).
  3. Sultan Abdulmafakir tahun 1596-1640 ( Sultan ke IV).
  4. Sultan Abdulma’ali tahun 1640-1651 (Sultan ke V).
  5. Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1651-1683 (Sultan ke IV).dst
Get it on Google PlaySekitar tahun 1596 Belanda mulai masuk daerah kerajaan Banten, karena mereka dicurigai maka Belanda meninggalkan Banten. Setelah berdirinya VOC maka Belanda datang kembali ke daerah Banten untuk menjalin kerjasama. Pertentangan antara rakyat Banten dengan Belanda memuncak setelah Belanda merebut daerah Jayakarta pada tahun 1619. Pecah perang terbuka setelah Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa sebagai Sultan Banten. Sultan Ageng bisa ditahlukan oleh VOC setelah mereka membujuk Sultan Haji agar melawan ayahandanya. Akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa bisa dikalahkan dan Sultan Haji berkuasa menggantikan ayahandanya. Sejak itu maka VOC berkuasa penuh di Banten dan daerah sekitarnya termasuk daerah Lampung sebagai bawahan Banten. Pada tahun 1752 muncul perlawanan rakyat banten yang dipimpin oleh Kiyai Tapa dan Ratu Bagus Buang, namun perlawanan ini juga dapat dipadamkan oleh Kompeni. Selanjutnya pemerintahan kompeni Belanda diwilayah Banten terus meluas hingga kepelosok pedalaman.

Sedangkan perkembangan di daerah Putak setelah peninggalan Sultan Maulana Hasanudin juga terus berkembang. Menurut cerita tua-tua kampung Sunan/Pesiwo Batin meninggal dunia diperkirakan sekitar tahun 1650an. Sunan/Pesiwo Batin dimakamkan di daerah Putak yang hingga sekarang terkenal dengan kramat Sunan Marga.

* Laki-laki asli kelahiran Jabung,
Orang tua dari 4 orang putra juga pengajar
di Sekolah Negeri di Kecamatan Jabung.
No Hp. 085269856004


Bersambung .....[Part 4]

No comments

Powered by Blogger.