Bantah Ilegal, Bukti dari Tuhan Akan Dibeberkan di Pengadilan oleh Pengacara Ahok

Jabungonline.com - Sidang terakhir kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki T. Purnama (Ahok) yang merupakan gubernur non aktif sekaligus calon gubernur DKI Jakarta menimbulkan kegemparan yang lebih dari biasanya. Drama pengadilan yang selalu menarik untuk diikuti tersebut kini telah mencapai babak baru dengan menyeret pemain-pemain kelas kakap. Tidak kurang dari nama mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut terseret dalam drama pengadilan yang penuh intrik politik tersebut.

Kasus yang sesungguhnya gamblang dan tidak bertele-tele ini memang telah lama sekali dipolitisasi. Berbagai kepentingan sengaja dimainkan dan dibenturkan, entah apa tujuannya. Rakyat pun semakin gerah dengan babak demi babak yang makin lama makin panjang dan ruwet. Esensi sebenarnya dari kasus penistaan agama ini pun semakin buram.

Pada persidangan terakhir terdakwa dan penasihat hukumnya bermanuver dalam memeriksa saksi dari jaksa penuntut umum. KH. Ma’ruf Amin dihadirkan oleh jaksa dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum MUI. Di dalam persidangan tersebut Ahok dan penasihat hukumnya melakukan pemeriksaan silang terhadap beliau dengan berapi-api. Puncak manuver tersebut Ahok mempertanyakan mengenai telepon yang diperoleh kiyai yang disebutnya dari Presiden SBY.

 
KH. Ma'ruf Amin hadir sebagai saksi dalam persidangan ke-8 kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Ahok

Ahok menyatakan bahwa ia dan pengacaranya memiliki bukti mengenai percakapan telepon antara KH. Ma’ruf Amin dengan SBY yang dilakukan pada tanggal 6 (Oktober) pada pukul 10.16 WIB. Pengacara Ahok Humphrey Djemat juga mengatakan bahwa ia memegang bukti percakapan via telepon tersebut. Disebut-sebut dalam percakapan itu SBY meminta KH. Ma’ruf Amin sebagai Ketua MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Ahok melakukan penistaan agama. Lebih lanjut hal ini berhubungan dengan arahan dukungan kepada calon gubernur DKI nomer urut 1 Agus Yudhoyono.

KH. Ma’ruf Amin tetap pada pernyataannya bahwa tidak terjadi hal seperti yang dituduhkan tersebut meskipun Ahok dan pengacaranya mengancam akan membeberkan bukti-bukti yang mereka akui miliki dan akan melaporkan Ma’ruf Amin karena telah memberikan kesaksian palsu.

Perlakukan Ahok dan penasihat hukumnya kepada KH. Ma’ruf Amin memancing kemarahan elemen umat Islam. Bahkan GP Ansor yang selama ini relatif “ramah” kepada Ahok menyatakan bahwa manuver yang dilakukan Ahok dan pengacaranya terhadap Ma’ruf Amin yang juga Rois AM PBNU telah keluar batas.

Masalah ini semakin membesar. Para pakar hukum memandang pernyataan bahwa Ahok dan penasihat hukumnya memiliki bukti percakapan telpon yang dilakukan oleh KH. Amin Ma’ruf dan mantan presiden SBY merupakan indikasi dari sebuah tindak kejahatan besar. Ahli hukum Prof. Romli Atmasasmita mempertanyakan dari mana Ahok dan penasihat hukumnya – jika benar – bisa memperoleh data percakapan telpon tersebut? Ia mengatakan bahwa data/bukti telepon/sadapan pembicaraan telepon yang dilakukan secara illegal melanggar UU Telekomunikasi dan UU ITE karena penyadapan hanya boleh dilakukan oleh penyidik dalam usaha penyidikan kasus yang memang sesuai dengan UU.

Prof. Romli menegaskan bahwa penyadapan ilegal melanggar hukum pidana dan bisa mengakibatkan pelakunya dipenjara. Perbuatan tersebut melanggar Pasal 31 UU ITE dengan ancaman pidana 10 tahun penjaran atau denda 800 juta rupiah.

Tindak penyadapan ilegal juga melanggar Pasal 40 UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Pelanggaran terhadap UU ini ancaman hukumannya lebih berat yaitu paling lama 15 tahun penjara.

Mantan ketua MK yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat Lembaga Bantuan Hukum PBNU Mahfud MD akhirnya angkat bicara terkait tudingan yang dilakukan oleh Ahok dan pengacaranya terhadap KH. Ma’ruf Amin. Mahfud merasa yakin bahwa bukti yang katanya dimiliki oleh Ahok dan kuasa hukumnya sudah pasti berasal dari penyadapan ilegal. Pasalnya jelas sekali disebutkan oleh keduanya bahwa percakapan terjadi pada pukul 10.16 WIB.


Mahfud MD anggap ada indikasi penyadapan ilegal menilai penyataan Ahok dan kuasa hukumnya.

Mahfud meminta Polri untuk proaktif dalam kasus penyadapan tersebut. Sebab, kasus tersebut tidak membutuhkan aduan dari korban atau pihak yang dirugikan. "Itu bukan delik aduan. (penyadapan) itu melawan negara dan masyarakat Indonesia," kata Mahfud.

Di Indonesia sendiri hanya ada lima lembaga negara yang boleh melakukan penyadapan. Lembaga-lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Badan Intelijen Negara (BIN). Penyadapan kelima lembaga tersebut juga tidak dilakukan secara sembarangan. Penyadapan dilakukan hanya ketika sedang menangani suatu kasus hukum. Indonesia sendiri melarang segala tindakan penyadapan kecuali untuk kepentingan keamanan dan proses penyelidikan hukum.

Dalam Pasal 42 UU Telekomunikasi sendiri salah satunya menyebutkan, provider bisa memberikan akses informasi, asalkan ada permintaan tertulis dari Jaksa Agung atau Kapolri untuk tindak pidana tertentu dan adanya permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu yang sesuai dengan  undang-undang berlaku.

Tunggu Tanggal Mainnya

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengungkapkan hasil klarifikasinya atas isu penyadapan komunikasi antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua MUI Ma'ruf Amin. Setelah menelusuri informasi tersebut ke berbagai pihak, Rudiantara mengatakan tak ada penyadapan oleh institusi pemerintah. 

"Saya cek itu, saya rasa enggak ada lembaga negara yang melakukan itu (penyadapan). Seperti kurang kerjaan saja dengerin kayak gitu," ujar Rudiantara usai membuka pelatihan News Lab untuk jurnalis Indonesia di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis 2 Februari 2017. 

Dari pernyataan Rudiantara tersebut artinya bukti-bukti yang diklaim dimiliki oleh Ahok dan pengacaranya didapatkan tanpa adanya otoritas dari negara atau pihak penegak hukum. Artinya bukti-bukti tersebut diperoleh dengan cara ilegal. Sayangnya sampai saat ini pihak kepolisian belum mendalami dugaan penyadapan ilegal yang dilakukan oleh terdakwa dan pengacaranya.

Ahok langsung buang badan setelah menyadari dampak dari ucapannya di hadapan sidang tersebut. Sekarang dia berdalih bahwa ia hanya mengacu kepada pemberitaan media mengenai dugaan telpon yang dilakukan antara SBY dan KH. Ma’ruf Amin tersebut.

 
Humprey Djemat (tengah) pengacara Ahok

Pengacara Ahok sendiri masih membuka wacana akan membeberkan bukti-bukti tersebut di pengadilan. Dalam jumpa pers di Restoran Aroma Sedap, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 1 Februari 2017 Humphrey mengatakan, “Kalau disampaikan sekarang kan ini jadi polemik mengarah pada BIN dan polisi. Nah lebih baik di pengadilan aja nanti baru tanya,” ungkapnya.

Saat ditanyai kapan pengungkapan bukti percakapan SBY dan Ma’ruf, Humphrey menolak memberitahukannya.

“Tunggu tanggal mainnya,” tutur dia.

Humphrey juga membantah bahwa ada penyadapan yang dilakukan oleh tim pengacara Ahok. “Gila bener. Masa kuasa hukum bisa melebihi polisi dan BIN,” pungkasnya. Dia juga menggoda nalar dengan pernyataan bahwa bukti yang menurutnya dimiliki tidak harus berupa “rekaman”, seperti yang dipersangkakan orang-orang.

Ia menegaskan bahwa tidak sekalipun sepanjang persidangan yang kontroversial tersebut ia menyebutkan kata “rekaman”. Ia berdalih bahwa dia hanya menyebut ada komunikasi antara Ma'ruf dan SBY. Dia mengatakan, komunikasi yang disebutnya bisa dalam berbagai bentuk.

"Ada orang yang dengar kan juga bisa. Komunikasi itu pembicaraan yang bisa didukung dengan adanya alat bukti. Bisa saksi orang, atau ada pembicaraan yang divideokan," ujarnya.

Humphrey menutup pernyataannya dengan candaan ketika ia kembali didesak untuk menyatakan siapa penyedia bukti tersebut. "Itu dari Tuhan, dari Tuhan semuanya. Sekarang siapa yang lebih berkuasa? BIN, polisi atau Tuhan? Tuhan dong, ya kan? he-he-he," kata Djemat saat ditemui di kawasan Jalan Cik Ditiro, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2017). Aishhh…

Wah, sepertinya dramanya akan makin panjang dan seru nih. Baiklah, kita nantikan “tanggal mainnya”. 

No comments

Powered by Blogger.