Beringin, Papah dan Tiang Listrik

GOLKAR PASCA INSIDEN TIANG LISTRIK

Oleh: Nasrudin Joha 

Jabungonline.com - Setiap zaman membawa tokoh dengan kalibernya masing-masing. Golkar sekarang bukanlah Golkar yang dulu. Dahulu, Golkar mampu melahirkan politisi belut putih sekelas Akbar Tanjung, yang mampu menghadapi seluruh dinamika politik dan hukum, bahkan secara ksatria menghadapi dakwaan jaksa di pengadilan.

Golkar Now, hanya mampu memproduksi kader sekelas Setya Novanto, yang lari dari kasus hukum dengan argumen klasik. Tidak ada improvisasi berarti, semua gaya Jadul, gaya Old, tidak ada satupu yang mampu dibanggakan.

Papah bisa menyelamatkan diri dari tuntutan hukum, bahkan bisa juga mengajukan ajian pamungkas "menjadi gila, hilang kesadaran, atau mengidap amnesia" sehingga hapuslah pertanggungjawaban pidana. Jaksa KPK, tidak mungkin menuntut seseorang yang tidak memiliki kemampuan pertanggungjawaban pidana. Frederick, menjadi pengacara dengan beban pembelaan paling ringan, seringan mengangkat debu di telapak tangan.

Tapi Papah, tidak mampu dan abai memikirkan Golkar dari tuntunan organisasi dan tuntutan publik. Secara organisatoris, posisi Novanto yang absen dalam proses hukum juga berimplikasi absen mengurus organisasi, termasuk juga absen dari tugas kedewanan.

Internal Golkar akan mengalami kontraksi kedua, setelah sebelumnya operasi Munaslub pertama "sedikit mampu" menyelamatkan Golkar dari keterpurukan. Kontraksi kedua akan lebih berdarah-darah, mengeluarkan energi besar, padahal Gawe Pilkada, pemilu dan Pilpres sudah didepan mata.

Kontraksi pertama Golkar telah melahirkan Beringin Karya. Tidak mustahil, pasca kontraksi kedua akan muncul Beringin Muda, Beringin Perjuangan, Beringin Pembaruan, dan mungkin saja muncul Beringin Tumbang.

Sebelum insiden tiang listrik-pun, Golkar telah nampak terbelah. Klan JK dengan kuda Troyanya Akom, telah mampu dilibas Novanto, kuda Troya Luhut pada Munaslub sebelumnya. JK nampaknya sudah ancang-ancang melibas Novanto, dengan pertanyaan JK kepada RS premier terkait sakitnya Papah. Padahal, jika ingin menyelamatkan Papah JK bisa saja mengambil opsi mingkem.

Pasca penggeledahan rumah Papah, politisi Golkar yang lain juga langsung menghadap JK. Ini pertarungan lama diulang kembali. Tetapi posisi Luhut saat ini terjepit. Opung kita ini tidak dapat berbuat banyak, setelah opung ditekan oleh Reklamasi, menyusul kemudian Meikarta.

Seluruh klan setnov dibawah kendali Luhut saat ini sedang ancar-ancar, mempertimbangkan dua opsi: berkompromi dan bernegosiasi atau bertarung dengan kuda Troya baru. Mempertahankan Papah ? Sudah hapus dari kamus politik Luhut. Papah sudah tidak dibutuhkan petuahnya.

Kontraksi politik ini akan sedikit menghadirkan tontonan publik yang penuh dinamika. Ada kalanya gontok-gontokan, gebrak meja, lempar kursi, menguasai anggrek neli, namun ujungnya berakhir di meja makan.

Sebagian yang kalah, tidak mau meninggalkan peran. Meski remah atau recehan, yang penting dapat bagian. Kekuasaan itu legit kawan, sementara Golkar tidak terbiasa menjadi oposisi. Menjadi oposisi itu menyakitkan, demikian kamus Golkar sebelum direvisi.

Kembali kepada Papah, Papah memang bukan Akbar. Akbar lahir dan dibesarkan melalui kaderisasi, jalur aktivis, sementara Papah muncul dari jalur pengusaha. Aktivis nalurinya idealis, petarung. Sementara pengusaha terbiasa realistis dan pragmatis.

Jadi sulit akan mendapat perlawanan sengit dari Papah, baik KPK maupun klan rival di Golkar. Papah akan mengambil opsi realistis dan pragmatis : tiarap, cari aman, nanti buka warung lagi jika situasi sudah kondusif.

Adapun Golkar, Golkar akan mengalami Munaslub kedua, kontraksi politik kedua, kegaduhan kedua dan tentunya peta politik koalisi kedua.

PDIP tentu yang ikut ketar-Ketir, jika Munaslub Golkar kedua berujung hengkangnya Golkar dari koalisi Jokowi, habis sudah PDIP. Tetapi PDIP memang partai cekak pikir, sebab tanpa Munaslub pun Golkar bisa hengkang setiap saat.

Saa ini semua partai berjibaku membela PDIP dan Jokowi, demi mempertahankan kursi menteri dan konsesi kekuasaan lainnya. Tetapi menjelang Pilpres, apalagi saat elektabilitas Jokowi jatuh tersungkur, dengan mudah dan tanpa bersalah semua partai mitra koalisi PDIP akan hengkang dan balik badan, dengan ajian pamungkas "mengikuti kehendak publik".

Hari-hari pengkhianatan partai bagi PDIP sudah didepan mata. Keliru besar, jika komitmen dukung Ahok dan tolak Perppu dijadikan ukuran kesetiaan partai pada Jokowi. Dalam politik, tidak ada kawan politik yang ada kawan kepentingan. Tidak ada kawan abadi, sebagaimana tidak ada musuh abadi, yang abadi hanyalah kepentingan pribadi dan partai. [MO].

No comments

Powered by Blogger.