Halaqah dan Tradisi NU
Jabung Online – Halaqah (lingkaran) menggambarkan sekelompok kecil Muslim yang berjumpa di waktu yang telah ditetapkan, untuk mempelajari dan mendalami ajaran Islam.
Halaqah/Usroh disebut juga dengan mentoring, ta’lim, tarbiyah yang terdiri dari sekumpulan orang, yang ingin mempelajari dan mengamalkan Islam dengan sepenuh hati.
Biasanya, ahli halaqah dipimpin dan oleh seorang murobbi atau naqib. Murobbi bekerjasama dengan peserta halaqah untuk mencapai tujuan halaqah itu sendiri, yakni membentuk Muslim yang Islamik dan berkarakter da’i.
Halaqah/usroh menjadi cara alternatif, agar pendidikan Islam bisa tersebar dengan efektif, dan membentuk peribadi Muslim.
Pengasas Jama’ah Ikhwanul Muslimin, Hassan Al-Banna, berhasil menerapkan sistem halaqah, demi mengembalikan umat Islam yang saat itu sudah jauh dari nilai-nilai Islam.
Sementara para anggota Ikhwanul Muslimin, juga telah serius mempelajari Islam, dan mengamalkan apa yang telah dipelajari, dengan sangat konsisten.
Lantas, mengapa kita perlu ber-halaqah?
Agar semakin mendalami ajaran islam, yang merupakan tuntutan fardhu kepada seluruh Muslim.
Untuk meningkatkan diri. Karena hanya dengan ilmu Kita boleh meningkatkan diri.
Menjadi sumber ilmu dan maklumat. Pertemuan di kalangan ikhwan dari berbagai latar belakang dan keahlian, bisa menjadi tempat bertukar pendapat dan pengalaman, untuk pembangunan ummat.
Memperluas kenalan, dari kelompok yang kecil menuju kelompok manusia yang lebih besar, yang mempunyai fikrah pemikiran jelas tentang Islam.
Tentu, niat berhalaqah hanya kerana Allah, ingin memperdalam ajaran Islam, yang pada akhirnya mengamalkan ajaran Islam itu sendiri.
Melapangkan hati dan memperbanyak doa, karena dalam melakukan perkara kebaikan ini, memang akan banyak penghalangnya.
Nahdlatul ‘Ulama (NU) pun mengulas halaqah sebagai tradisi diskusi yang dilakukan masyarakat pesantren, di mana pesertanya duduk membentuk lingkaran. Seperti makna halaqah itu sendiri.
Berikut penjelasan NU mengenai halaqah:
Mulanya, seorang guru yang dipandang mumpuni, mengajar para murid dalam sebuah tempat, biasanya di masjid atau serambi, dengan dilingkari para murid, sehingga kemudian disebut halaqah.
Dalam bahasa Arab, sebutan ini menggunakan tasydid ‘lam’, sehingga dikatakan hallaqah, yang jamaknya adalah halqun dan halaqat. Sementara dalam bahasa Indonesia sehari-hari, disebut halaqah, tanpa tasydid ‘lam’.
Tradisi halaqah ini sebenarnya bersumber dari Nabi Muhammad Shalallaahu ‘alaihi Wa Sallam.
Dicontohkan ketika melakukan bai`ah `Aqabah, Kanjeng Nabi duduk dikelilingi oleh para Muslim awal, dari Madinah (Yatsrib).
Tradisi tersebut kemudian berkembang sebagai pengajaran di masjid-masjid di dunia Islam awal, dengan pengajarnya adalah para sahabat yang dikirim Nabi Muhammad Shalallaahu ‘alaihi Wa Sallam.
Para tabi`in meneruskan tradisi ini di masjid-masjid, sehingga dikenal Halaqah Imam Hasan al-Bashri, Halaqah Imam asy-Syafi`i, dan lain-lain.
Tradisi halaqah juga pernah terkenal di Haramain (Mekah dan Madinah) pada abad ke-19, sehingga para syaikh dan guru besar mumpuni di kalangan Islam, dikenal memiliki halaqah di sana dengan sejumlah murid, di antaranya Syaikh Mahfudz at-Tirmasi, Syaikh Alwi al-Maliki, dan lain-lain.
Meneruskan tradisi ini, para pendiri NU pun setelah pulang dari Haramaian, membuat halaqah pengajian dan pengajaran di tempat masing-masing, dengan diikuti murid-murid tertentu, yang kemudian berkembang menjadi pesantren.
Dalam perkembangannya, halaqah kemudian digunakan untuk menyebut tradisi diskusi, perdebatan, dan pembahasan topik-topik tertentu di kalangan pesantren, meskipun pesertanya bukan antara guru dan murid, dan tidak melulu berbentuk lingkaran.
Dari perkembangan ini, berbagai bentuk diskusi yang dilakukan oleh masyarakat pesantren disebut dengan halaqah, baik yang berbentuk lingkaran pun tidak.
Namun, kadang halaqah juga dinamakan khusus, bila berkaitan dengan momen tertentu.
Misalnya, halaqah yang dilakukan dalam Muktamar, Munas, dan Konbes NU, disebut dengan Bahtsul Masa`il, yang berarti pembahasan terhadap masalah-masalah yang dianggap penting.
Dari sudut ini, halaqah dalam konteks tertentu, bisa dinamakan dengan nama lain, seperti Bahtsul Masa’il itu.
Wallahu a’lam.
Post a Comment