Mengejutkan!!! Veronica Koman Jawab Tuduhan Polri Soal Papua dan Rekening Gendut



Jabung Online - Veronica Koman akhirnya angkat bicara terkait penetapan dirinya sebagai tersangka dugaan provokasi soal Papua.

Pengacara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) itu menjawab berbagai tuduhan polisi yang dialamatkan kepadanya, mulai dari beasiswa, provokasi Papua, hingga rekening gendut.

Veronica Koman merasa dirinya hanya menjadi kambing hitam atas konflik Papua. Bahkan, tuduhan polisi kepada dirinya merupakan bentuk kriminalisasi.

Sebelumnya, Veronica Koman ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jatim karena dianggap telah menyebarkan hoaks dan provokasi dalam kaitannya dengan Papua.

ditetapkan sebagai tersangka provokasi insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur.

Ia dijerat pasal berlapis dari empat Undang-undang, yakni UU ITE, KUHP pasal 160, UU no 1 tahun 1946 dan UU no 40 tahun 2008.

Selain ditetapkan sebagai tersangka, polisi juga tengah menelusuri 8 rekening milik Veronica.

Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan mengatakan, Veronica beberapa kali melakukan transaksi mencurigakan di tempat kerusuhan.

Veronica diduga mendapat dana dari kelompok tertentu untuk membiayai demo mahasiswa Papua di beberapa daerah.

“Kepemilikan rekening bank ini masih didalami terus. Ada beberapa (transaksi) yang cukup signifikan dari dana yang masuk karena ada penarikan di beberapa wilayah baik itu di Surabaya maupun di luar Surabaya, wilayah di Papua,” kata Luki.

Luki menambahkan bahwa transaksi atau arus keluar masuk dari rekening-rekening tersebut jumlahnya cukup besar bagi seorang mahasiswa S2 seperti Veronica.

Terlacak pula penarikan-penarikan dana yang dilakukan di sejumlah daerah konflik. Namun Luki enggan membeberkan berapa detil jumlahnya.

“Ada yang masuk cukup besar sebagai seorang mahasiswa ini kayaknya enggak masuk akal, dan itu ada penarikan di beberapa wilayah di konflik. Cukup besar,” tambahnya.

Menanggapi hal itu, Veronica menyatakan saldo rekeningnya masih dalam kategori wajar sebagai pengacara. Apalagi, ia kerap melakukan penelitian yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

Ia mengakui pernah menarik uang dari rekening miliknya saat berada di Papua. Namun, nominalnya masih wajar untuk keperluan sehari-hari.

“Betul saya menarik uang di Papua ketika saya berkunjung ke Papua, dengan nominal yang sewajarnya untuk biaya hidup sehari-hari,” kata Veronica.

Veronica menyatakan bahwa selama hidupnya, dia baru sekali ke Surabaya, yaitu ketika melakukan pendampingan aksi 1 Desember 2018 bagi kliennya, AMP.

“Saya tidak ingat bila pernah menarik uang di Surabaya. Apabila saya sempat pun ketika itu, saya yakin maksimal hanya sejumlah batas sekali penarikan ATM untuk biaya makan dan transportasi sendiri,” kata Veronica.

Berikut pernyataan lengkap Veronica Koman sebagai jawaban atas tuduhan polisi kepadanya.

Saya, Veronica Koman, dengan kesadaran penuh, selama ini memilih untuk tidak menanggapi yang dituduhkan oleh polisi lewat media massa. Hal ini saya lakukan bukan berarti karena semua yang dituduhkan itu benar, namun karena saya tidak ingin berpartisipasi dalam upaya pengalihan isu dari masalah pokok yang sebenarnya sedang terjadi di Papua.

Kasus kriminalisasi terhadap saya hanyalah satu dari sekian banyak kasus kriminalisasi dan intimidasi besar-besaran yang sedang dialami orang Papua saat ini. Hal yang jauh dari hingar-bingar. Aspirasi ratusan ribu orang Papua yang turun ke jalan dalam rentang waktu beberapa minggu ini seolah hendak dibuat menjadi angin lalu.

Pemerintah pusat beserta aparaturnya nampak tidak kompeten dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan di Papua hingga harus mencari kambing hitam atas apa yang terjadi saat ini. Cara seperti ini sesungguhnya sedang memperdalam luka dan memperuncing konflik Papua.

Saya menolak segala upaya pembunuhan karakter yang sedang ditujukan kepada saya, pengacara resmi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Kepolisian telah menyalahgunakan wewenangnya dan sudah sangat berlebihan dalam upayanya mengkriminalisasi saya, baik dalam caranya maupun dalam melebih-lebihkan fakta yang ada.

Bahwa betul saya terlambat dalam memberikan laporan studi kepada institusi beasiswa, tetapi urusan itu telah selesai per 3 Juni 2019 ketika universitas tempat saya studi mengirimkan seluruh laporan studi saya kepada institusi beasiswa saya.

Adapun Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Australia pernah mengganggu studi saya usai saya berbicara tentang pelanggaran HAM Papua di acara yang diselenggarakan oleh Amnesty International Australia serta gereja-gereja Australia.

Para staf KBRI tidak hanya datang ke acara tersebut untuk memotret dan merekam guna mengintimidasi pembicara, tapi saya juga dilaporkan ke institusi beasiswa atas tuduhan mendukung separatisme di acara tersebut.

Itu juga yang membuat hubungan saya dengan institusi beasiswa saya menjadi dingin dan saya tidak meminta lagi pembiayaan beberapa hal yang seharusnya masih menjadi tanggungan beasiswa.

Bahwa saldo rekening saya dalam batas nominal yang wajar sebagai pengacara yang juga kerap melakukan penelitian.

Bahwa tentu betul saya menarik uang di Papua ketika saya berkunjung ke Papua, dengan nominal yang sewajarnya untuk biaya hidup sehari-hari.

Bahwa saya hanya pernah ke Surabaya sekali dalam seumur hidup saya, selama 4 hari, yaitu ketika pendampingan aksi 1 Desember 2018 bagi klien saya AMP.

Saya tidak ingat bila pernah menarik uang di Surabaya. Apabila saya sempat pun ketika itu, saya yakin maksimal hanya sejumlah batas sekali penarikan ATM untuk biaya makan dan transportasi sendiri.

Saya menganggap pemeriksaan rekening pribadi saya tidak ada sangkut pautnya dengan tuduhan pasal yang disangkakan ke saya sehingga ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang kepolisian, apalagi kemudian menyampaikannya ke media massa dengan narasi yang teramat berlebihan.

Waktu dan energi yang negara ini alokasikan untuk menyampaikan propaganda negatif selalu jauh lebih besar ketimbang yang betul-betul digunakan untuk mengusut dan menyelesaikan pelanggaran HAM yang saat ini terjadi di Papua.

Secara terang benderang, kita melihat metode ‘shoot the messenger’ sedang dilakukan aparat untuk kasus ini. Ketika tidak mampu dan tidak mau mengusut pelanggaran/kejahatan HAM yang ada, maka seranglah saja si penyampai pesan itu.

Papua adalah salah satu wilayah yang paling ditutup di dunia ini. Dan kembali saya tegaskan, kriminalisasi terhadap saya adalah rangkaian dari upaya negara untuk terus membungkam informasi yang keluar dari Papua.

14 September 2019 Veronica Koman[ps]

No comments

Powered by Blogger.