Bandar Lampung, April 2025 – Kebijakan terbaru Pemerintah Provinsi Lampung yang melarang kegiatan karya wisata atau study tour bagi pelajar tingkat SD, SMP, dan SMA sederajat menuai reaksi beragam dari berbagai pihak, termasuk para pelaku usaha jasa layanan pariwisata. Larangan yang diumumkan secara resmi oleh Gubernur Lampung ini diklaim sebagai langkah preventif untuk menjamin keselamatan peserta didik serta merespons sejumlah kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi dalam kegiatan serupa di berbagai wilayah Indonesia.
Namun, kebijakan tersebut juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha pariwisata, termasuk penyedia jasa transportasi, biro perjalanan wisata, pemandu lokal, hingga pengelola objek wisata. Mereka menilai, larangan tersebut dapat berdampak langsung pada keberlangsungan usaha, terutama di masa transisi pemulihan ekonomi pascapandemi.
Sebagai bentuk respons dan ikhtiar mencari solusi yang konstruktif, sejumlah pelaku industri pariwisata Lampung berencana mengadakan gathering bersama Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan, dan instansi terkait lainnya. Kegiatan tersebut diharapkan dapat menjadi forum dialog terbuka antara pelaku usaha dengan pemerintah, sekaligus mencari jalan tengah yang tidak merugikan salah satu pihak.
Potensi Dampak Ekonomi
Salah satu pengusaha biro perjalanan di Lampung Timur, Bang JO, mengaku bahwa larangan ini membuat pihaknya harus membatalkan beberapa kontrak perjalanan sekolah yang sudah disepakati sejak awal tahun. "Kami sudah melakukan persiapan logistik dan penjadwalan sejak Maret. Ketika kebijakan ini keluar mendadak, jelas kami merugi," ungkapnya.
Lebih lanjut, Nanang menyampaikan bahwa karya wisata bukan sekadar rekreasi, tetapi juga bagian dari program pembelajaran kontekstual yang mendukung kurikulum. Ia berharap pemerintah dapat meninjau kembali larangan tersebut, atau minimal memberikan mekanisme pengajuan izin khusus dengan pengawasan ketat.
Gathering sebagai Wadah Aspirasi
Rencana gathering yang akan digelar dalam waktu dekat ini akan melibatkan semua pelaku usaha pariwisata di Lampung seperti ASITA (Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies), ASPPERWI (Asosiasi Pelaku Perjalanan Wisata Lampung) PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), PERPAL (Perkumpulan Pelaku Pariwisata Lampung), PEPARINDO (Persatuan Pariwisata Indonesia) serta perwakilan operator transportasi dan guru pendamping kegiatan luar kelas.
“Kami tidak menentang kebijakan pemerintah, tetapi ingin berdiskusi. Apa benar pelarangan total ini solusi terbaik? Atau bisa diatur dengan pendekatan lain seperti standarisasi keselamatan dan edukasi mitigasi risiko?” ujar Anwar, Ketua ASPPERWI Lampung.
Rencananya, gathering ini juga akan menghadirkan narasumber dari kepolisian, dinas pendidikan, dan pihak yang pernah menangani kasus kecelakaan dalam kegiatan wisata pelajar, sebagai bahan evaluasi bersama.
Upaya Membangun Kepercayaan
Beberapa pengusaha menyatakan siap untuk memperbaiki standar operasional prosedur (SOP) dalam pelaksanaan karya wisata. Termasuk penggunaan armada yang laik jalan, sopir berpengalaman, pengawasan ketat, hingga asuransi peserta.
“Kami ingin menunjukkan bahwa industri pariwisata Lampung bertanggung jawab. Kami tidak hanya menjual paket wisata, tapi juga memastikan aspek keamanan dan pendidikan,” ujar Nanang, pemilik sebuah agen perjalanan di Lampung Timur.
Penutup: Menuju Kebijakan yang Lebih Adaptif
Keputusan melarang total karya wisata memang dapat dimengerti sebagai tindakan kehati-hatian, namun juga perlu dievaluasi dari sisi implementasi dan dampaknya bagi pelaku industri serta siswa itu sendiri. Di tengah upaya membangun kembali industri pariwisata daerah, sinergi antara pemerintah dan sektor swasta menjadi sangat penting.
Gathering yang dirancang ini diharapkan mampu melahirkan kebijakan yang lebih adaptif dan berimbang, dengan tetap mengutamakan keselamatan tanpa mengorbankan potensi pembelajaran dan ekonomi masyarakat. (Nn/JO)