Kalau kami penakut, Rismon Sianipar masih duduk santai di Jepang atau Amerika. Masih jadi konsultan Digital Forensik internasional, dibayar miliaran, keliling dunia bersama istri tercintanya, Vivi. Hidupnya sudah lengkap: nyaman, tenteram, penuh petualangan dan ketenangan.
Tapi dia pulang. Bukan karena panggilan negara, tapi karena keganjilan yang mencubit nalar: ijazah yang janggal, skripsi yang mencurigakan. Ia tak bisa diam. Hatinya terpanggil oleh cinta pada almamater. Dan juga oleh rasa tanggung jawab.
Kalau kami pengecut, Roy Suryo masih sibuk motret, ngulik telematika, atau keliling kota dengan mobil-mobil antiknya, ditemani 20 kucing eksotisnya. Hidupnya sudah cukup. Tapi matanya jeli. Dan instingnya tajam. Ketika melihat foto-foto yang ‘nggak masuk akal’ tersebar di internet, dia tahu—ada yang tidak beres. Dan dia tak bisa pura-pura buta.
Kalau kami gentar, dr. Tifa akan tetap jadi peneliti yang menjelajah desa demi desa, menganalisis epidemi, menulis filsafat, membaca bintang, menghitung rumus dan mengamati hujan dari dataran tinggi. Tapi data dan ekspresi tubuh seseorang dalam dokumen publik menggugah naluri ilmiahnya. Ada yang tidak sinkron. Ada yang menyimpang.
Tiga orang, dari tiga latar berbeda. Tak saling kenal. Tapi hipotesis kami... sama.
Jangan-jangan... dokumen ini palsu?
Kami pergi ke UGM. Tanggal 15 April 2025. Tanpa janjian. Tanpa skenario. Hanya karena panggilan nurani untuk mencari kebenaran.
Tapi rupanya... orang yang kami pertanyakan justru murka. Merasa tersinggung. Merasa dihina. Merasa perlu membalas dengan pasal-pasal hukum—pasal berat: 8 tahun, 12 tahun.
Seolah belum puas memenjarakan Bambang Tri. Belum cukup menjebloskan Gus Nur.
Padahal kalau memang tidak ada yang disembunyikan, tinggal tunjukkan saja ijazah itu. Clear. Selesai. Kenapa tidak?
Tapi tidak. Dia ingin membungkam. Dan kami tahu—itu bukan tindakan orang yang tak bersalah.
Apakah kami takut?
Kami masih di sini. Kami terus meneliti. Kami terus bicara. Kami terus menulis. Karena kebenaran tidak boleh dibiarkan mati oleh rasa takut.
Jadi, yang penakut... justru kalian. Yang hanya bisa bikin meme receh, menyerang dari balik layar, membully berjemaah sambil diam terhadap kebohongan.
Kami hanya tak ingin gagal jadi manusia. Kami dikaruniai akal—dan itu harus digunakan. Untuk berpikir. Untuk bertanya. Untuk menggali. Untuk menyibak dusta yang bersembunyi di balik simbol dan gelar.
Karena pada akhirnya... kami harus bisa menatap Tuhan tanpa rasa malu.
Karena kami tidak tinggal diam. Tidak membatu di depan kebohongan.
Kami melawan. Dengan bukti. Dengan keberanian. Dengan akal sehat.
Dan kisah ini—belum selesai.
Di ambil dari Akun FB milik dr. Tifauziah