Jabungonline.com - Dalam dunia jurnalistik dan advokasi, ada satu kata yang sering muncul bak jimat penyelamat: “diduga”. Kata ini seperti tameng—dipakai wartawan dan LSM untuk menghindari jeratan hukum sekaligus tetap bisa “melempar isu”. Tapi, benarkah itu sekadar strategi atau justru cara licik untuk melegalkan fitnah yang terselubung?
“Diduga”: Antara Etika dan Sensasi
Dalam kaidah jurnalistik, istilah “diduga” seharusnya digunakan dengan sangat hati-hati, yakni ketika ada indikasi kuat, data awal, atau sumber kredibel yang menyebutkan adanya keterlibatan seseorang dalam sebuah kasus. Namun, yang sering terjadi di lapangan, kata ini justru dipakai seenaknya:
Tanpa bukti yang jelas, hanya bersandar pada opini atau desas-desus.
Dipakai untuk menaikkan tensi berita biar lebih “klik-able”.
Dijadikan pintu masuk untuk framing negatif terhadap pihak tertentu.
Akibatnya, nama baik seseorang bisa rusak, reputasi bisa hancur, padahal fakta sebenarnya belum tentu mendukung tuduhan itu.
LSM: Advokasi atau Sensasi?
Banyak LSM menggunakan istilah “diduga” ketika merilis pernyataan pers. Mereka tahu, dengan kata itu, tuduhan seolah sah untuk dilempar ke publik tanpa risiko hukum besar. Tapi, bukankah LSM seharusnya hadir untuk membela kepentingan masyarakat dengan data, bukti, dan riset yang kuat?
Kalau hanya bermodalkan “diduga”, LSM tidak lebih dari buzzer berbaju formal.
Wartawan: Fakta atau Asumsi?
Wartawan dituntut berpegang pada Kode Etik Jurnalistik: berita harus akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Tapi ketika kata “diduga” dipakai berulang kali, berita bisa terjerumus ke ranah opini. Alih-alih memberi informasi, malah jadi alat menggiring persepsi publik.
Jurnalisme yang sehat itu bekerja dengan verifikasi, bukan sekadar “copy paste” dari rilis LSM atau omongan warung kopi. Kalau semua berita hanya dibangun dari “diduga”, media berubah jadi panggung gosip dengan baju formalitas berita.
Dampak Sosial: Reputasi yang Hancur
Di era digital, satu kata “diduga” bisa viral, mengubur harga diri seseorang. Meski belakangan terbukti tidak bersalah, jejak digital tidak pernah hilang. Nama baik sulit dipulihkan, sementara media atau LSM yang menyebarkan “diduga” tadi sering kali tidak merasa bersalah.
Penutup: Jangan Jual Murah Kredibilitas
LSM dan wartawan punya tanggung jawab moral besar. Kata “diduga” bukanlah kartu bebas hukum untuk sembarangan menuding. Menggunakan kata itu tanpa bukti kuat sama saja dengan menjual murah kredibilitas.
Kalau terus begini, masyarakat akan semakin apatis pada media dan skeptis pada LSM. Pada akhirnya, yang dirugikan bukan hanya objek berita, tapi juga kepercayaan publik yang semakin terkikis.
---
Oleh : Redaksi Jabungonline.com