Disiplin Sekolah, Orang Tua Longgar: Siapa yang Sebenarnya Butuh Dididik?

Oleh: Redaksi Jabungonline.com

Di banyak sekolah hari ini, aturan disiplin sering kali jadi bahan perdebatan panas. Dari soal rambut siswa yang harus rapi, larangan membawa ponsel, hingga kewajiban salat berjamaah — semuanya seperti tak lagi punya “wibawa” di mata sebagian orang tua.
Lucunya, yang sering protes justru bukan muridnya, tapi orang tuanya.


Ketika Aturan Sekolah Dianggap Terlalu Keras

Coba dengar percakapan klasik yang sering muncul di ruang rapat wali murid:

“Anak saya dipotong rambutnya tanpa izin!”
“Kenapa harus ikut apel setiap pagi, kan capek?”
“Bawa HP itu kan biar bisa komunikasi, kok dilarang?”

Padahal aturan itu bukan untuk menindas, tapi mendisiplinkan.
Sekolah berusaha membentuk karakter — bukan sekadar membatasi gaya hidup anak. Tapi di era serba permisif ini, sebagian orang tua malah bersikap seolah anaknya “tak boleh disentuh”. Akhirnya, setiap teguran dianggap pelanggaran hak asasi.


Disiplin Tak Akan Mungkin Tumbuh dari Kemanjaan

Masalahnya, disiplin tidak tumbuh dari “zona nyaman”. Ia tumbuh dari aturan, ketegasan, dan konsekuensi.
Jika sekolah sudah berusaha keras menanamkan nilai itu, tapi orang tua justru melemahkannya di rumah, hasilnya hanya satu: anak kehilangan arah moral.

Bayangkan seorang siswa dihukum karena terlambat — tapi orang tuanya malah datang ke sekolah memarahi guru, bukannya menegur anaknya. Pesan moralnya jadi terbalik: “Kalau kamu salah, tenang aja, nanti Mama yang marah ke gurunya.”

Dari situ, pelan-pelan anak belajar bahwa aturan bisa dinegosiasikan. Dan begitu dewasa, mereka akan tumbuh jadi generasi yang pintar mencari alasan tapi malas bertanggung jawab.


Guru Tak Lagi Ditakuti, tapi Juga Tak Dihormati

Sekarang banyak guru lebih memilih diam daripada tegas.
Takut dilaporkan ke pihak berwenang, takut viral di TikTok, atau takut dicap “kasar”. Akibatnya, proses pendidikan kehilangan ruh keteladanan.
Padahal, dulu guru bisa menegur murid tanpa takut, dan justru orang tua mendukung sepenuhnya.

Kini, hubungan itu berubah jadi transaksional: “Saya bayar SPP, jadi anak saya jangan diperlakukan keras.”
Padahal, sekolah bukan tempat servis pelanggan. Ia lembaga pembentuk karakter — bukan customer service anak manja.


Kolaborasi, Bukan Konfrontasi

Padahal solusinya sederhana: komunikasi dan kepercayaan.
Orang tua perlu memahami bahwa disiplin bukan hukuman, tapi bentuk kasih sayang jangka panjang.
Begitu juga sekolah, perlu menjelaskan aturan dengan transparan dan manusiawi, bukan dengan gaya otoriter.
Kalau dua pihak ini saling dukung, hasilnya bukan sekadar anak yang patuh — tapi anak yang tahu kenapa ia harus patuh.


Penutup: Saatnya Orang Tua Bercermin

Sebelum menuding sekolah terlalu keras, coba tanyakan dulu:
Apakah kita sudah cukup keras mendidik anak di rumah?
Apakah kita masih berani bilang “tidak” ketika anak salah?

Karena kerap kali, yang sebenarnya butuh didisiplinkan bukan anaknya — tapi orang tuanya.


📰 Jabungonline.com – Media Tajam, Aktual, dan Terpercaya.

Posting Komentar

Jabungonline.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaklah dalam menyampaikan komentar. Komentar atau pendapat sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Lebih baru Lebih lama