Guru: Profesi Paling Dipuji Mulut, Paling Dilupakan Kebijakan

Oleh: BangJO Zend
(Penulis dan Pemerhati Pendidikan)

Setiap 25 November, jagat medsos mendadak berubah menjadi galeri ucapan manis tentang betapa mulianya guru. Para pejabat berlomba menulis kata-kata puitis, sekolah menggelar upacara dengan pidato panjang yang isinya hampir sama tiap tahun, dan masyarakat ramai membagikan foto nostalgia ketika masih berjas-sweater biru muda. Hari Guru Nasional seakan menjelma pesta simbolis penuh bunga, sementara para guru sendiri masih bertanya-tanya: “Setelah tanggal 25, apa ada yang benar-benar berubah?”

Itulah ironinya. Kita bangsa yang paling pandai memuji guru—di baliho, spanduk, pidato, dan unggahan Instagram. Namun di saat yang sama, kita juga bangsa yang paling cepat lupa bahwa guru tidak hidup dari kata-kata manis.

Guru: Sudah Mengajar, Masih Dituntut Menyelamatkan Dunia

Di banyak ruang kelas, guru menjadi profesi yang diharapkan mampu melakukan segalanya.
Anak tidak bisa berhitung? Guru salah.
Anak malas belajar? Guru kurang kreatif.
Anak kecanduan gawai? Guru kurang membangun karakter.
Bahkan persoalan moral, etika, hingga akhlak—semua dibebankan ke guru. Sementara orang tua yang sibuk dengan ponsel dan pekerjaannya, dengan santai menyimpulkan bahwa guru adalah lem perekat bagi retaknya semua persoalan keluarga modern.

Sungguh profesi yang luar biasa:
tanpa gelar psikologi, guru harus memulihkan mental murid;
tanpa pelatihan ekonomi, guru harus memahami kondisi keluarga murid;
tanpa imbalan yang setara, guru tetap harus tampil sempurna.

Kadang saya berpikir, jika esok bumi runtuh, mungkin guru juga akan diminta bertanggung jawab.

Belum Cukup Mengajar, Masih Harus Jadi Pegawai Administrasi

Teknologi memang maju. Kurikulum berubah cepat. Sayangnya, administrasi guru tetap gemuk.
Setiap tahun ada hal baru: aplikasi baru, format baru, pelaporan baru.
Setiap program baru muncul, yang pertama disasar adalah guru:
Tolong lengkapi data ini,
tolong unggah ini,
tolong isi itu.

Tidak jarang gurunya sudah lebih pusing oleh aplikasi dibanding oleh murid.
Tapi ketika guru mengeluh?
Jawabannya ringan: “Ini demi kemajuan pendidikan, Bu/Pak.”

Sementara komputer sekolah masih loading sejak zaman dinosaurus, dan jaringan internet di beberapa daerah lebih sering hilang dibanding hadir.

Pengajar yang Diharapkan Kreatif Tanpa Didukung Layak

Kita suka berkata:
“Guru harus kreatif!”
“Guru harus up to date!”
“Guru harus berinovasi!”

Betul, inovasi memang penting.
Tetapi anehnya, kita menuntut inovasi seperti negara maju, sementara fasilitas sekolah masih seperti era kolonial.

Di satu daerah guru mengajar memakai proyektor, di daerah lain guru masih menghapus papan tulis dengan kain bekas.
Di kota-kota besar murid membawa laptop, di pedalaman guru membawa kapur yang dipatah-patah agar cukup untuk seminggu.

Tetap saja, pejabat berkata dengan yakin:
“Perbaikan pendidikan kita sudah luar biasa.”
Luar biasa di mana?
Mungkin luar biasa di laporan.

Di Atas Semua Itu, Guru Tetap Dicinta—Secara Seremonial

Setiap tahun, Hari Guru Nasional dirayakan dengan indah.
Sekolah mengadakan upacara, siswa memberi ucapan, pejabat memberi pidato manis, lagu-lagu tentang guru dinyanyikan setulus hati.

Namun setelah semua berakhir, kehidupan kembali normal:
guru kembali berjibaku dengan beban kerja,
gaji beberapa guru honorer masih lebih kecil dari UMR,
dan kebijakan tetap lebih cepat berganti daripada tinta pena kepala sekolah.

Ucapan terima kasih selalu ada.
Perubahan nyata? Itu biasanya menunggu wacana berikutnya.

Inilah satire terbesar bangsa kita:
guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, dan tampaknya beberapa pihak berharap gelar itu tidak pernah berubah—karena kalau dapat jasa, nanti anggarannya membengkak.

Pada Akhirnya, Guru Tetap Menjadi Pondasi yang Tidak Pernah Rebah

Meski kerap dinegasikan sistem, guru tetap menjalankan tugasnya.
Mengajar anak-anak yang kadang susah diatur, memberi motivasi ketika murid mulai patah semangat, berusaha adil ketika tekanan datang dari mana-mana, dan tetap tersenyum ketika fasilitas tak sebanding dengan tuntutan.

Guru tidak sempurna.
Tidak semua piawai.
Namun tanpa mereka, tidak ada masa depan bangsa ini.
Tidak ada dokter, tidak ada pejabat, tidak ada penulis, tidak ada inovator—semuanya bermula dari kelas kecil dengan bangku kayu yang dipimpin seorang guru yang mungkin saat itu tidak tahu, bahwa ia sedang membentuk masa depan seseorang.

Maka Hari Guru Nasional bukan hanya perayaan, tetapi evaluasi moral:
Apakah kita hanya akan memberi bunga?
Ataukah memberi dukungan nyata?

Sebab pujian bisa dipajang, tetapi kesejahteraanlah yang membuat guru berdiri lebih tegak.

Selamat Hari Guru Nasional.
Untuk semua guru di negeri ini—yang tak henti menjadi cahaya meski cahayanya sering dibelokkan angin kebijakan.

Posting Komentar

Jabungonline.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaklah dalam menyampaikan komentar. Komentar atau pendapat sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Lebih baru Lebih lama