Tidak Adil Menyamakan Kasus Pembakaran Gereja Aceh dengan Pembakaran Masjid Tolikara


TIDAK ADIL MENYAMAKAN KASUS PEMBAKARAN GEREJA DI ACEH SINGKIL DENGAN PEMBAKARAN MASJID DI TOLIKARA

Oleh Chandra HafizunAlim
Saya tidak suka kekerasan. Saya mencintai keadilan. Sudah seharusnyalah yang berperan dalam menutup gereja-gereja liar di Aceh Singkil adalah aparat pemerintah. Kalaupun rakyat marah lalu membakar gereja-gereja tersebut, pasti ada sebabnya. Dan yang saya tahu penyebabnya adalah ketidakadilan. Bayangkan di bumi serambi Makkah Aceh Singkil yang mayoritas muslim, mendekati angka 99%, terdapat 20 gereja liar (menurut data lain ada 25 gereja liar). Buat apa gereja sebanyak itu?

Salah satu taktik kristenisasi adalah membangun gereja liar di perkampungan muslim. Setelah gereja itu terbangun, orang-orang Kristen diluar pemukiman itu mendatangi gereja tersebut. Sehingga kemudian tidak lagi ada anggapan bahwa perkampungan tersebut adalah perkampungan muslim. Bila tidak ada tindak pencegahan dari penduduk kampung tersebut, mereka tidak segan-segan membeli tanah atau rumah untuk tinggal di kampung tersebut. Jadi, pendirian gereja-gereja itu bukan semata sebagai tempat beribadah. Tapi juga untuk menancapkan pengaruhnya yang besar kepada penduduk setempat bahkan kepada dunia. Bahwa Aceh bukan lagi serambi Makkah karena sudah banyak orang Kristen di dalamnya.

Bandingkan dengan satu masjid di Tolikara; umatnya jelas dan proporsional sesuai dengan jumlah penduduk yang ada bahkan mungkin masjidnya kurang. Tapi anehnya ada orang yang menyamakan perusakan terhadap gereja di Aceh Singkil dengan masjid di Tolikara. Ini keterlaluan dan tidak adil!

Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2010, jumlah penduduk muslim di Aceh sebanyak 4.413.244, Kristen 50.309, Katolik 3.315. Artinya jumlah penduduk muslim mencapai 98% lebih. Bandingkan dengan di Papua: Muslim 450.096, Kristen 1.855.245, Katolik 500.545. Artinya jumlah penduduk muslim mencapai 16% (http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321)

Namun anehnya, orang Kristen di Aceh yang hanya 1,5% mempunyai 154 gereja, belum termasuk gereja-gereja liar yang jumlahnya sangat banyak.(https://id.wikipedia.org/wiki/Kekristenan_di_Aceh)

Kalau menurut saya, jumlah penduduk muslim di Papua masih bisa diperdebatkan karena sebagian wilayah masih sulit terjangkau. Hal ini berbeda dengan wilayah di Aceh yang lebih terjangkau. Ada kemungkinan penduduk muslim bertambah karena banyak kepala suku di pedalaman Papua yang masuk Islam. Tapi saya memakai angka yang pasti saja dulu mengenai penduduk muslim disana. Dan hingga saat ini juga saya belum mendapatkan angka yang pasti dengan jumlah masjid disana. Berbeda dengan jumlah gereja dapat terdeteksi dengan mudah karena banyaknya. Di Tolikara sendiri sebelum kerusuhan terjadi ada sekitar 700 an muslim disana (http://blog.act.id/mengungkap-sejarah-islam-bertumbuh-kembang-di-tolikara-papua/) dan hanya berdiri satu masjid. Bagaimana mungkin satu masjid saja tidak boleh didirikan disana dengan jumlah muslim sebanyak itu?!

Merujuk data Kementerian Agama tahun 2008, jumlah umat Islam di Indonesia mencapai 88,8%. Namun, jumlah tempat ibadahnya 64,8% saja. Sementara jumlah pemeluk Kristen Protestan nasional mencapai 5,7% dengan jumlah tempat peribadatan 15, 38%, dan pemeluk Katholik nasional mencapai 3% dengan jumlah tempat peribadatan 3,72%. Artinya tempat peribadatan umat Kristen dan Katolik jauh melebihi tempat peribadatan umat Islam dari segi skala perbandingan.

Pemerintah seharusnya tidak boleh diam melihat fenomena ini. Pendirian tempat ibadah sudah diatur dengan undang-undang. Mereka yang melanggarnya harus dihukum sesuai dengan undang-undang tersebut. Jangan dibiarkan. Kalau dibiarkan jangan salahkan juga bila penduduk yang muslim menghancurkan atau menutup gereja-gereja tersebut.*

No comments

Powered by Blogger.