Islamofobia Munculkan Isu Dikotomi Islam Vs Indonesia

Islamofobia (ilustrasi)

Islamofobia disinyalir menjadi penyebab utama isu dikotomi Islam dan keiindonesiaan.

Oleh: Amri Amrullah, Fergi Nadira

Islamofobia disinyalir menjadi penyebab utama isu dikotomi Islam dan keindonesiaan. Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid pun menegaskan umat Islam di Indonesia tidak pernah mendikotomikan Islam dan keindonesiaan. 

"Pandangan seperti itu bukan berasal dari umat Islam," ujar Hidayat saat menyampaikan Sosialisasi Empat Pilar MPR, sekaligus menghadiri rapat koordinasi nasional (Rakornas) Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) di Medan, Sumatra Utara, Jumat (19/1). 

Di hadapan 300 para guru yang tergabung dalam JSIT ini, Hidayat juga mengungkapkan upaya untuk mendikotomikan Islam dan keindonesiaan masih terus terjadi. Dia tidak setuju dengan adanya pemisahan antara Islam dan Indonesia. "Dikotomi itu mungkin karena fobia terhadap Islam dan umat Islam. Seolah-olah Islam anti-Pancasila, anti-NKRI," katanya.

Sebaliknya, dengan adanya dikotomi itu, ada kalangan Islam merasa umat Islam terpisah dari Indonesia. Dari situ kemudian muncul istilah thogut, kafir, seolah-olah Indonesia terpisah dari Islam lantas mereka berpikir tentang (ideologi) negara yang lain.

Mantan presiden PKS ini menegaskan keindonesiaan adalah juga keislaman. Ini bisa dilihat dari bukti keterlibatan umat Islam dalam perjalanan sejarah Indonesia. "Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran, para tokoh, dan pemimpin Islam," kata Hidayat.

Hidayat lantas memaparkan peran tokoh Islam seperti KH Wahid Hasyim, KH Kahar Muzakar, Moh Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dan lainnya. "Mereka menyepakati tentang sila-sila pada Pancasila serta keindonesiaan kita. Inilah yang perlu disampaikan kepada generasi zaman now. Karena generasi zaman nowseringkali tidak paham," jelasnya.

Karenanya, ia berharap ke depan tidak ada lagi pemikiran yang mendikotomikan keindonesiaan dan keislaman. Dia meminta tak ada upaya untuk mengadu-domba antara umat Islam dan negara. 

"Jangan mau diprovokasi untuk memusuhi umat Islam dan sebaliknya umat Islam jangan memusuhi negara," ujar Hidayat. 

Hidayat mengungkapkan, adu domba seperti itu hanya menguntungkan mereka yang antinegara. Siapa saja yang termasuk di dalamnya? "Yaitu kelompok LGBT, liberalis, separatis, dan komunis," kata Hidayat.

Hidayat mengatakan, keislaman sesungguhnya menyatu dengan keindonesiaan. Ini bisa dilihat dari bukti keterlibatan umat Islam dalam perjalanan sejarah Indonesia. "Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran, para tokoh, dan pemimpin Islam," kata Hidayat.

Menurut Hidayat, sosialisasi Empat Pilar MPR ini menarget semua elemen masyarakat, termasuk penyelenggara negara, TNI, Polri, dan mahasiswa. "Jadi jangan hanya rakyatnya saja yang diminta melaksanakan Pancasila, pemerintahnya juga harus melaksanakan Pancasila," ucapnya.

Tokoh Kebangsaan Romo Franz Magnis Suseno menilai tidak ada dikotomi Islam dan keindonesiaan di Nusantara ini. Mungkin, menurutnya yang dimaksud adalah ketidaksukaan dengan bentuk-bentuk keagamaan beberapa wakil agama.

"Semisal ada orang Katolik tidak suka apa yang dikatakan Pastor," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (20/1).

Di zaman ini, zaman yang kata kebanyakan orang adalah zaman now, Romo tidak melihat bahwa mereka anti beragama. Kalau pun ada, ia menilai seperti ada intensifikasi kehidupan beragama di Indonesia ini. Apalagi menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018.

Romo Magnis mengingatkan masyarakat mengizinkan emosi masyarakat dalam mengambil alih pemilihan kepala daerah. "Kalau kita memilih kepala daerah, mbok yopilih kepala daerah yang bisa diharapkan akan memajukan daerah itu seperti mengurangi kemiskinan dan sebagainya," ujar Romo Magnis.

Bukan memilih orang yang dekat dengan aliran 'saya'. "Semisal sama aliran, tapi enggak sesuai ya sama saja gawat," ujarnya.

No comments

Powered by Blogger.