Jabungonlinr.com - Hari Buruh Internasional bukan sekadar hari libur. Ia adalah simbol perlawanan, suara keras dari jutaan buruh di seluruh dunia yang menolak ketidakadilan dan eksploitasi. Sejak perjuangan di Haymarket, Chicago, tahun 1886 yang menuntut jam kerja manusiawi, 1 Mei menjelma menjadi tonggak sejarah perlawanan kelas pekerja dunia.
Di Indonesia, sejarah itu mengakar kuat. Dari zaman kolonial hingga Orde Baru, buruh menjadi tulang punggung pembangunan yang kerap disisihkan. Namun dari tekanan dan pengorbanan lahirlah capaian penting: hak berserikat, jaminan sosial, Tunjangan Hari Raya, hingga cuti melahirkan. Semua itu diraih bukan dengan negosiasi damai, melainkan dengan aksi massa, pemogokan, dan solidaritas yang tak pernah padam.
Namun semangat itu diuji kembali di tahun 2025. Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia (FPSBI) bersama Konfederasi Serikat Nasional (KSN) memberikan catatan kritis terhadap situasi ketenagakerjaan yang memburuk. Dalam pernyataannya, mereka menyebut bahwa negara justru semakin menjadi alat kekuasaan segelintir elite yang berselingkuh dengan pengusaha demi melanggengkan politik upah murah.
PP No. 51/2023 yang menjadi dasar penetapan UMP 2024 dianggap menjadi bukti konkret bahwa negara tidak lagi menjadikan Kebutuhan Hidup Layak sebagai indikator utama penetapan upah. Dengan kenaikan upah hanya 6,5% di awal 2025, dan dibarengi beban tambahan seperti iuran Tapera 2,5%, kenaikan PPN 12%, serta potongan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, maka buruh tak benar-benar merasakan peningkatan kesejahteraan.
“Negara seharusnya menetapkan standar nasional soal upah buruh. Kalau pegawai negeri, tentara, dan polisi bisa, mengapa buruh tidak?” kritik keras Ketua Umum FPSBI-KSN, Yohanes Joko Purwanto, S.H., pada peringatan May Day 2025.
Lebih dari sekadar soal upah, praktik kerja kontrak dan outsourcing dinilai sebagai bentuk eksploitasi baru. Banyak buruh yang bekerja dalam waktu lama di posisi inti perusahaan namun tetap berstatus kontrak, tanpa jaminan hak-hak dasar sebagai tenaga kerja tetap.
Tak berhenti di situ, tindakan pemberangusan serikat atau union busting juga menjadi ancaman serius. Pengurus serikat kerap mengalami PHK, mutasi sepihak, bahkan rekayasa serikat tandingan yang dibuat pengusaha. Ini menandakan lemahnya pengawasan pemerintah dan nihilnya penegakan hukum terhadap pelanggaran ketenagakerjaan.
Kondisi ini semakin nyata di Provinsi Lampung. Upah buruh masih jauh dari layak, sementara harga kebutuhan pokok terus meroket. Buruh di sektor industri dan konstruksi menghadapi risiko kerja tanpa perlindungan memadai. Penegakan hukum terhadap pelanggaran pun lemah, membuat buruh makin terjepit.
Di sisi lain, angka pengangguran yang tinggi memperburuk kondisi. Minimnya peluang kerja dan rendahnya variasi lapangan kerja terutama bagi generasi muda menambah tekanan sosial ekonomi di daerah.
Tahun 2025 juga menjadi tahun penuh ancaman. Krisis kapitalisme global, ketimpangan ekonomi yang melebar, dan lonjakan harga memicu instabilitas. Negara justru merespons dengan militerisasi dan pembungkaman, alih-alih melindungi rakyat. UU Cipta Kerja, pengesahan UU TNI, dan revisi UU Polri menjadi bukti konkret bahwa demokrasi Indonesia tengah mundur.
“Kita tidak hanya ditindas di tempat kerja, tetapi juga dibungkam di ruang publik dan dicabut masa depannya secara sistemik. Ini bentuk penjajahan gaya baru,” tegas Yohanes Joko Purwanto.
May Day bukan milik negara, bukan milik pengusaha, dan bukan milik birokrasi. Ia milik mereka yang bekerja keras, yang ditindas, dan yang bermimpi akan kehidupan yang lebih adil. Tahun ini, buruh tak hanya memperingati, tetapi meneruskan perjuangan.
“Kami tidak akan diam. Kami tidak akan tunduk. Kami akan melawan.”
Itulah pesan utama dari May Day 2025 — bukan sebagai seremoni tahunan, melainkan momentum kebangkitan kelas pekerja yang menolak tunduk pada ketidakadilan yang dilembagakan. (DM/Rls)