G30S/PKI, Sejarah Kelam dan Cermin Kondisi Bangsa Kini

Setiap akhir September, bangsa Indonesia selalu diingatkan pada peristiwa kelam Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Tragedi yang menelan korban para jenderal dan mengguncang stabilitas negara itu meninggalkan luka mendalam, sekaligus menjadi pelajaran tentang betapa bahayanya ketika ideologi dipelintir demi kekuasaan.

Namun, setelah 60 tahun lebih, apakah G30S hanya sekadar catatan sejarah yang diputar ulang dalam film dokumenter? Atau justru masih relevan sebagai kaca benggala bagi kondisi kita saat ini?

Sejarah Bukan Sekadar Nostalgia

Bicara soal G30S, kita dihadapkan pada satu fakta: sejarah bangsa ini rapuh bila generasi mudanya tidak lagi peduli. Saat sebagian besar anak muda lebih fasih menghafal nama idol K-Pop daripada tokoh-tokoh sejarah, muncul kekhawatiran: siapa yang akan menjaga memori kolektif bangsa?

G30S mengajarkan kita bahwa perebutan kekuasaan yang brutal bisa terjadi kapan saja ketika rakyat lengah. Politik penuh intrik, fitnah, dan propaganda bukan hal baru. Sayangnya, hal-hal seperti ini juga masih kerap kita lihat dalam praktik demokrasi hari ini.

Relevansi dengan Kondisi Kini

Jika dulu bangsa terpecah karena perbedaan ideologi, hari ini kita sering terbelah oleh politik identitas, ujaran kebencian, hingga hoaks di media sosial. Bedanya, senjata saat ini bukan lagi senapan dan bayonet, melainkan narasi dan algoritma digital.

Kita bisa melihat bagaimana polarisasi di media sosial membentuk kubu-kubu yang saling membenci, padahal sama-sama anak bangsa. Retaknya persatuan karena ego politik seakan mengulang pola lama: rakyat diadu domba, sementara elit tertawa di atasnya.

Apakah ini bukan bentuk “G30S versi baru”? Bukan dengan kudeta bersenjata, melainkan kudeta wacana yang menggerogoti akal sehat dan persaudaraan kita.

Belajar dari Masa Lalu

Sejarah G30S seharusnya menjadi peringatan bahwa bangsa besar bisa hancur dari dalam. Perpecahan, fanatisme buta, dan perebutan kekuasaan tanpa batas akan selalu menjadi ancaman.
Pertanyaannya: apakah kita sudah cukup waspada? Ataukah kita justru mengulangi kesalahan yang sama dalam wajah berbeda?

Penutup

Menghadapi era disrupsi, bangsa ini butuh generasi muda yang melek sejarah dan kritis terhadap narasi. Jangan sampai sejarah hanya dijadikan tontonan wajib setiap September, tapi hilang relevansinya dalam kehidupan nyata.

Karena pada akhirnya, G30S bukan hanya soal masa lalu, tapi juga peringatan keras agar kita tidak jatuh pada jebakan yang sama: membiarkan bangsa terpecah oleh ambisi segelintir orang.


Oleh : Nanang Wiwit Sinudarsono, S.Pd. Gr.

Posting Komentar

Jabungonline.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaklah dalam menyampaikan komentar. Komentar atau pendapat sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Lebih baru Lebih lama