Oleh: Redaksi Jabungonline.com
Entah sejak kapan, ruang tunggu pasien berubah menjadi tempat ujian kesabaran. Datang pagi, nomor antrean sudah panjang, tapi ruang periksa masih kosong—karena dokternya belum datang.
Ironisnya, alasan klasik yang sering terdengar bukan karena dokter sedang menangani pasien lain, tapi karena “belum hadir”, “masih di perjalanan”, atau bahkan “sedang istirahat.”
Padahal di sisi lain, pasien yang menunggu bukan robot. Ada yang menahan nyeri, ada anak yang demam, ada lansia yang sulit duduk lama—semuanya menunggu seseorang yang seharusnya memegang sumpah profesi untuk menolong sesegera mungkin.
Kita paham, dokter juga manusia. Mereka butuh istirahat dan waktu pribadi. Tapi kalau sudah menyangkut pelayanan publik, tanggung jawab profesional seharusnya lebih diutamakan daripada kenyamanan pribadi. Karena setiap menit keterlambatan bisa berarti satu nyawa yang terancam.
Masalah ini bukan sekadar soal disiplin individu, tapi juga lemahnya sistem pengawasan.
Banyak fasilitas kesehatan yang tutup mata terhadap ketidakhadiran dokter tepat waktu.
Jam kerja fleksibel seolah jadi budaya, dan pasien dianggap bisa menyesuaikan diri. Padahal, kalau pasien yang telat datang, antrean hangus tanpa ampun. Tapi kalau dokter yang telat, semua dianggap wajar. Di mana keadilannya?
Pelayanan medis yang lamban menciptakan jarak antara masyarakat dan tenaga kesehatan. Kepercayaan publik pun perlahan terkikis. Orang jadi skeptis: “Untuk sakit ringan aja harus siap menunggu lama, apalagi kalau parah?”
Sudah saatnya instansi kesehatan bersikap tegas. Dokter yang bekerja di fasilitas publik harus patuh pada jadwal dan etika pelayanan.
Kalau mau santai, jangan di jam praktek. Karena pasien bukan penonton kesabaran, mereka adalah manusia yang datang dengan harapan.
Kita tidak menuntut dokter jadi superman. Kita hanya minta mereka menepati waktu dan janji profesionalnya.
Karena dalam dunia medis, keterlambatan bukan cuma soal waktu—tapi juga soal kemanusiaan.
🗞️ Jabungonline.com — Media Tajam, Aktual, dan Terpercaya.