Jabungonline.com – Di atas kertas, kurikulum selalu tampak megah. Penuh istilah, penuh visi, penuh harapan. Tapi di lapangan, banyak guru hanya bisa mengelus dada. Kurikulum berubah, tapi nasib pendidikan tetap saja berjalan di tempat — seolah seluruh semangat reformasi pendidikan hanya berputar di ruang kelas, bukan di kehidupan nyata siswa.
Antara Teori Ideal dan Kenyataan Kacau
Setiap pergantian menteri, kurikulum ikut ganti baju.
Tujuannya mulia: menyesuaikan zaman, mencetak generasi kreatif, kritis, dan berkarakter.
Namun, di balik jargon modern itu, praktiknya masih sama — siswa dijejali teori yang tak pernah mereka pakai, guru dipaksa menuntaskan target, bukan menumbuhkan makna.
Kurikulum akhirnya menjadi ritual administratif.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) disusun rapi, tapi anak-anak tetap bingung mencari arah.
Mereka hafal konsep problem solving, tapi tak tahu cara menyelesaikan masalah hidup.
Sekolah Jadi Ruang Hampa Realita
Kenyataan pahitnya: pendidikan kita seringkali terkurung dalam kelas.
Kreativitas hanya berhenti di papan tulis.
Nilai karakter berhenti di poster motivasi yang menempel di dinding sekolah.
Padahal, dunia di luar sana lebih keras dari sekadar ujian pilihan ganda.
Siswa tak hanya butuh hafalan dan teori, tapi kemampuan menghadapi kenyataan: kemiskinan, pergaulan, teknologi, bahkan kegagalan.
Tapi sayangnya, kurikulum jarang bicara tentang hidup.
Ia bicara tentang “kompetensi dasar” dan “tujuan pembelajaran”, tapi tidak tentang bagaimana anak bertahan di tengah kerasnya dunia nyata.
Guru Dibiarkan Berjuang Sendiri
Ironisnya, semua tekanan jatuh ke guru.
Mereka dipaksa “inovatif”, “kreatif”, “digital”, sementara fasilitas dan dukungan minim.
Belum lagi tumpukan administrasi yang seolah lebih penting dari interaksi manusiawi dengan murid.
Padahal, yang paling tahu bagaimana anak belajar bukanlah dokumen kurikulum, melainkan guru di lapangan.
Tapi suara mereka jarang didengar.
Kurikulum Seharusnya Hidup di Masyarakat
Pendidikan sejatinya bukan hanya urusan sekolah.
Kurikulum harus berakar pada realita sosial — agar anak-anak tak hanya pintar di kertas, tapi juga tangguh di kehidupan.
Kurikulum harus keluar dari ruang kelas, menjejak di sawah, pasar, bengkel, rumah warga, dan jalanan — tempat di mana kehidupan sebenarnya terjadi.
Penutup: Saatnya Kurikulum Menyapa Dunia Nyata
Jika kurikulum terus didefinisikan hanya sebagai “dokumen pembelajaran di sekolah”, maka pendidikan hanya akan melahirkan generasi hafal rumus, tapi bingung menghadapi hidup.
Kurikulum seharusnya bukan hanya teaching material, tapi living material.
Dan itu hanya bisa terjadi kalau pendidikan benar-benar kembali ke akar: mendidik manusia, bukan sekadar memenuhi format.
🖋️ Opini oleh Redaksi Jabungonline.com