Oleh BangJO Zend
Ketika pemerintah berencana mengajarkan enam bahasa asing di Sekolah Rakyat — mulai dari Inggris, Arab, Jepang, Korea, Mandarin hingga Jerman — banyak pihak mungkin melihatnya sebagai langkah maju. Indonesia dianggap siap bersaing di era global. Namun di balik semangat “kekinian” itu, saya justru melihat tanda tanya besar: apakah pendidikan kita masih memanusiakan manusia, atau mulai bergeser menjadi pabrik pencetak tenaga kerja global?
---
Antara Bahasa dan Tujuan Pendidikan
Bahasa memang jendela dunia. Ia membuka akses pada pengetahuan, memperluas pergaulan, dan memungkinkan anak-anak mengenal budaya lain. Dalam konteks itu, mengajarkan bahasa asing tentu tidak salah. Tetapi persoalannya bukan pada apa yang diajarkan, melainkan untuk apa dan dalam kerangka apa bahasa itu diajarkan.
Bila bahasa asing dijadikan sarana untuk memperluas wawasan, menumbuhkan empati antarbangsa, atau membuka ruang berpikir global tanpa meninggalkan akar lokal, maka kebijakan ini bisa dianggap progresif. Namun bila pengajarannya diarahkan semata-mata untuk “memenuhi kebutuhan tenaga kerja luar negeri” atau “menyesuaikan permintaan negara mitra industri”, maka orientasinya menjadi sempit — bahkan menyimpang dari hakikat pendidikan.
---
Pendidikan yang Memanusiakan, Bukan Mengerjakan
Ki Hadjar Dewantara pernah menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah usaha memerdekakan manusia — memerdekakan pikiran, rasa, dan kehendak agar manusia menjadi dirinya sendiri. Pendidikan yang memanusiakan tidak boleh menempatkan peserta didik sebagai alat produksi, apalagi komoditas yang disiapkan untuk pasar tenaga kerja global.
Rencana pelatihan bahasa asing di Sekolah Rakyat, bila semangatnya terlalu dikuasai oleh kebutuhan industri dan pasar, justru memperkuat paradigma “pendidikan sebagai mesin ekonomi”. Anak-anak bukan lagi dipandang sebagai manusia yang perlu ditumbuhkan cita-rasa, budi, dan pikirannya, melainkan sebagai calon pekerja siap pakai. Ini jelas keluar dari ruh pendidikan nasional yang berpijak pada kemanusiaan dan kebudayaan.
---
Risiko Kehilangan Akar dan Makna
Bahaya lain yang mengintai adalah lunturnya penghargaan terhadap bahasa dan budaya sendiri. Ketika bahasa asing ditonjolkan berlebihan, bahasa Indonesia dan bahasa daerah bisa terpinggirkan. Anak-anak bisa lebih bangga berbicara dengan aksen asing daripada memahami puisi atau peribahasa leluhurnya. Padahal, identitas bangsa tumbuh dari bahasa dan budaya yang hidup di tengah masyarakat.
Jika tujuan pendidikan kita hanya untuk “membuat siswa kompeten bekerja di luar negeri”, maka bangsa ini perlahan kehilangan arah. Kita bisa menghasilkan jutaan tenaga kerja, tetapi gagal melahirkan manusia merdeka yang berbudaya, berpikir kritis, dan mencintai tanah airnya.
---
Menemukan Kembali Arah
Belajar bahasa asing tetap penting, tetapi harus diposisikan sebagai alat untuk memperkaya kemanusiaan, bukan sebagai tujuan untuk menyiapkan buruh global. Pemerintah perlu menegaskan bahwa Sekolah Rakyat bukan sekadar lembaga pelatihan kerja, melainkan ruang pembentukan karakter, budi pekerti, dan kesadaran kebangsaan.
Pendidikan bahasa asing harus diimbangi dengan penanaman nilai kemanusiaan dan kebudayaan lokal. Anak-anak perlu tahu mengapa mereka belajar bahasa asing: bukan semata agar bisa bekerja di luar negeri, melainkan agar dapat memahami dunia dengan tetap berpijak pada tanah airnya sendiri.
---
Penutup
Pendidikan yang sejati bukanlah soal berapa banyak bahasa yang dikuasai, tetapi sejauh mana manusia yang belajar itu mampu berpikir, merasa, dan bertindak sebagai manusia. Jika Sekolah Rakyat dijadikan ladang eksperimen industri tenaga kerja, maka kita sedang kehilangan arah. Tetapi jika kebijakan ini diarahkan untuk menumbuhkan manusia Indonesia yang terbuka, berkarakter, dan berbudaya, maka pendidikan kita masih punya harapan untuk benar-benar memanusiakan manusia.
BangJO Zend — Penulis Buku dan Wartawan Daring