Bolehkah memilih pemimpin wanita didalam Islam ?



Pemilihan kepala negara sama artinya dengan memilih Khalifah pada masa awal kematian Nabi dahulu, semuanya harus tetap mengacu pada aturan main yang ditetapkan oleh Islam.


Didalam Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik atau agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan. Karena hidup kita ini diatur oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang terbesar. Hidup adalah tingkah laku, dan tingkah laku dibatasi oleh norma agama termasuk tingkah laku dalam berpolitik.


Seputar Ketentuan Pemimpin wanita :


1. Tidak ada Nabi dan Rasul wanita
(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia lainnya)


Rujukannya lihat :
“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari golongan malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki.” (Qs.al-An’aam 6:9)


“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk suatu negeri.” (Qs. Yusuf 12:109)


“Kami tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu, melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. “ (Qs. Al-Anbiyaa’ 21:7)


2. Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita (berdasarkan Imam Hanafi, Syafi’I, Hambali dan Ja’fari/ Imammiah)


3. Laki-laki sudah ditetapkan sebagai pemimpin wanita


Rujukannya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (Qs. An-Nisaa’ 4:34)


Ayat ini memang konteksnya berbicara seputar rumah tangga, akan tetapi secara logikanya, seorang kepala rumah tangga saja haruslah laki-laki, apalagi seorang kepala negara yang notabene sebagai kepala atau pemimpin dari banyak kepala keluarga lain, maka tidak bisa lain, dia haruslah laki-laki.


“Dan anak laki-laki tidaklah sama dgn anak wanita” (Qs. Ali Imron 3:36)


4. Hadist :


Musnad Ahmad 19603: Abu Bakrah berkata; Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda: “Siapakah yang memimpin urusan penduduk Persi? Mereka menjawab; “Seorang wanita.” Beliau bersabda: “Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusannya kepada mereka.”


Hadist diatas memang diucapkan oleh Rasul ketika menanggapi kabar dipilihnya seorang wanita, puteri Anusyirwan dari Persi, menjadi pemimpin. Akan tetapi coba perhatikan konteks sabda tsb tidak menyebut bahwa ucapan tsb hy berlaku bagi kerajaan Persi, namun suatu gambaran umum tentang tidak layaknya wanita dijadikan pemimpin dalam suatu bangsa.


Pertanyaan yg timbul …
1. Bagaimana dgn pemerintahan Ratu Saba’ yang dikenal bernama Balqis ?


Jawab : Ratu Balqis menjadi kepala negara, jauh sebelum dia mengenal Islam dan dipercaya kawin dengan Nabi Sulaiman. Setelah dia ditundukkan oleh Sulaiman dan menjadi istrinya, otomatis yang menjadi kepala negara adalah Sulaiman, bukan lagi Balqis.


2. Apakah Islam melakukan diskriminasi terhadap perempuan ?


Jawab : Islam tidak melakukan diskriminasi,


Untuk memimpin suatu negara, orang harus benar-benar total, baik dalam waktu, pikiran maupun resiko dan tanggung jawabnya bahkan terkadang harus rela disibukkan oleh aktifitasnya, menghadiri rapat diberbagai kesempatan, melakukan perjalanan dinas dan seterusnya yang tentu saja sulit dilakukan oleh seorang wanita, karena ia juga harus melayani suami dan anak-anak sebagai tugas utamanya.


“Bagi para wanita, mereka punya hak yg seimbang dgn kewajibannya menurut cara yg benar. Tapi para suami memiliki satu tingkat kelebihan dari istrinya.” (Qs. Al-Baqarah 2:228)


“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinanmu. Laki-laki adalah pemimpin dlm keluarganya, dan dia harus mempertanggung jawabkan kepemimpinannya itu. Perempuan adalah pemimpin dlm rumah suaminya dan diapun bertanggung jawab thd kepemimpinannya.” (Hadist Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)


Dalam sejarah, Nabi Saw mengikut sertakan wanita dalam medan perang, namun mereka bukan dijadikan umpan peluru, tetapi sebagai prajurit yang bertugas memberikan pertolongan bagi mereka yg terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah az-Zahrah puteri Beliau sendiri, kemudian wanita juga mempersiapkan konsumsi seperti dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau.


Bahkan Khadijah istri Nabi yang pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).


Sesudah Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya, mengangkat Ummu As-syifa’ al-Ansyoriah sebagai pengawas dan pengontrol pasar Madinah (kalau sekarang ini mungkin bisa disetarakan dengan kedudukan menteri ekonomi).


Patut dicatat bahwa tugas seorang menteri tidak seberat dan sebesar tanggung jawab tugas kepala negara. Disisi lain, menteri tetap harus bertanggung jawab kepada pemimpinnya, yaitu presiden (dlm istilah agamanya, isteri memiliki tanggung jawab atas kepemimpinannya dalam rumah tangga suaminya).




Ilustrasi


Itulah contoh dan bentuk emansipasi wanita didalam Islam.


Lalu Bagaimana bila kepala negaranya wanita dan wakilnya pria ?


– Ini terbalik, alQur’an dan Hadist tidak membenarkan wanita memimpin pria, istri memimpin suami, Imam wanita Makmum laki-laki.


Lalu Bagaimana bila suatu saat sang wakil melengserkan sipemimpin yang sebelumnya adalah wanita ?


– Tetap saja pada waktu pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang wakil adalah laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.


Kapan kita boleh memilih wanita sebagai pemimpin ?


– Bila sudah tidak ada lagi laki-laki Islam yg mampu jadi pemimpin !


– Bolehkah kita Golput ?


Golput artinya tidak memilih, inipun tidak dibenarkan oleh Islam.


Ali bin Abu Thalib sempat tidak setuju dgn kepemimpinan Abu Bakar pasca kematian Nabi Muhammad. Tetapi itu diawali dgn ketidakpuasan Fatimah az-Zahrah Istri Ali yang juga puteri kesayangan Rasul dengan keputusan politik Abu Bakar terhadap tanah Fadak yang diklaim sebagai warisan Nabi Saw untuk puterinya itu. Namun setelah Fatimah wafat dan dengan pemikiran yang panjang kedepan, enam bulan sesudahnya Ali bin Abu Thalib akhirnya memilih mengikuti kepemimpinan Abu Bakar selaku Khalifah/ kepala negara.


Dalam hal kepemimpinan, Islam secara tegas memberi arahan pada umatnya tentang kriteria dan juga kewajiban untuk melaksanakan pemilihannya. Hal ini telah dinyatakan dalam nash-nash syar’i. Nabi Muhammad Saw bersabda:


Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya. (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah)


Bila untuk sebuah rombongan kafilah saja diwajibkan pengangkatan kepemimpinan sebagai ketua rombongan yang bertanggung jawab terhadap jemaahnya, maka apakah lagi dalam suatu ruang lingkung kenegaraan.


Penjelasan Lain : 


Di Indonesia gerakan ini mencapai puncaknya beberapa waktu lalu ketika seorang wanita diangkat sebagai presiden negara kita ini. Dan ironinya mereka yang ikut beraklamasi menaikkan wanita tersebut ke kursi kepersidenan sebagian besar adalah beragama Islam. Diantara alasan mereka adalah tidak ada ayat yang secara tegas melarang wanita menjadi pemimpin. Dalam Al-Qur-an tidak terdapat ayat yang menggungkan kalimat larangan yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin pemerintah atau negara. Oleh karena itu, adanya pendapat yang melarang perempuan memerintah atau menjadi pemimpin tidak berdasarkan nash Al-Qur-an.


Maka kita katakan:
Pola kalimat yang dipergunakan Al-Qur-an adalah pola kalimat bahasa Arab. Oleh karena itu, untuk mengetahui ada tidaknya larangan yang dimaksud haruslah kembali kepada pola-pola kalimat bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Qur-an itu sendiri.


Pola kalimat Al-Qur-an dalam menetapkan suatu larangan ada kalanya dalam bentuk fi�il nahi, (kata kerja larangan) atau bentuk laa nafiyah (pembatalan umum) atau berupa kalimat berita tetapi maksudnya mengandung larangan. Salah satu dari tiga bentuk kalimat di atas dalam bahasa Arab merupakan bentuk kalimat larangan. Begitu juga dalam hal perintah sama polanya dengan yang berlaku dalam larangan.


Contoh larangan dalam bentuk fi�il nahi, antara lain:
�dan janganlah kamu mendekati zina�� (QS. Al Israa� (17) : 32)
�dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik hingga ia sampai usia dewasa�� (QS. Al An�aam (6) : 152)
�hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendekati shalat ketika sedang mabuk�� (QS. An-Nisaa� (4) : 43)


Contoh larangan dalam bentuk laa nafiyah, antara lain:
� Allah, tidak ada Ilah kecuali Dia�� (QS. Al-Baqarah (2) : 255)
Ayat ini menafikan semua sesembahan dan hanya Allah yang berhak disembah.


�Orang yang berkecukupan dan berkelapangan di antara kamu tidak memutus pemberian bantuan nafkah kepada kerabat dekat�� (QS. An-Nuur (24) : 22)


Ayat ini melarang orang-orang yang mampu memutus bantuan kepada keluarga dekatnya karena hatinya disakati atau karena ia membencinya.


Contoh larangan dalam bentuk kalimat berita, antara lain:
�perempuan-perempuan yang telah diceraikan, mereka menunggu tiga masa quru� bagi diri mereka�� (QS. Al-Baqarah (2): 228)
Kalimat tersebut mengandung larangan kepada perempuan yang dicerai untuk menikah selama masa iddah (3 kali bersih dari haidh).


�dia bermasam muka dan berpaling ketika seorang buta datang kepadanya.�(QS. �Abasa (80) : 1 � 2)
Kalimat di atas mengandung larangan bermuka masam dan memalingkan muka dari orang lain.


Pelanggaran terhadap larangan dalam bentuk fi�il nahi ada toleransinya, yaitu kelonggaran darurat, misalnya:


��Dan janganlah kamu membunuh suatu jiwa kecuali dengan jalan yang hak�� (QS. Al-An�aam (6) : 151)


Pelanggaran terhadap larangan bentuk laa nafiyah pun ada toleransinya, yaitu kelonggaran darurat, misalnya:
�Barangsiapa kafir kepada Allah setelah menyatakan beriman, kecuali karena dipaksa sedangkah hatinya mantap dengan keimanannya (maka tidak berdosa). Akan tetapi, barangsiapa menyatakan kekafiran dengan sukarela maka mereka mendapatkan murka dari Allah dan mereka mendapatkan siksa yang berat.� (QS. An-Nahl (16) : 106)


Kalimat larangan yang paling berat justru dalam bentuk kalimat berita yang menerangkan sunnah thabii�iyyah (hukum tetap penciptaan atau ketentuan paten yang berlaku universal). Pelanggaran terhadap sunnah thabii�iyyah akan menghancurkan pelanggarnya sendiri. Pelanggaran terhadap sunnah thabii�iyyah sama sekali tidak ada toleransinya sebagaimana disebutkan dalam QS. Fathir (35) : 43.


��Engkau tidak akan pernah menemukan sunnah Allah itu berubah dan engkau tidak akan pernah menemukan sunnah Allah itu bertukar dengan yang lain.�


Contoh-contoh dari sunnah thabii�iyyah manusia, antara lain:
– Orang tua menuntut penghargaan dari anak.
– Anak menuntut perlindungan dari orang tua.
– Suami menuntut penghormatan dari istri.
– Istri menuntut jaminan pengayoman dari suami.
– Hubungan kerabat menuntut kerukunan dan sikap tolong menolong.
– Pemimpin menuntut kepatuhan dari yang dipimpin.


Hal-hal yang bersifat sunnah thabii�iyyah seperti ini bila penyajiannya menggunakan kalimat berita, menunjukkan kepada maksud larangan atau perintah.


Masalah kepemimpinan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara adalah masalah yang bersifat sunnah thabii�iyyah.


Larangan A-Qur-an tentang wanita menjadi pemimpin pemerintah atau negara disebutkan dalam kalimat berita sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah (2) : 228:


��dan bagi laki-laki mempunyai hak satu derajat lebih terhadap mereka (perempuan)��


Kalimat pada ayat ini menurut para ahli balaghah (ahli bahasa) disebut kalimat qashr, karena khabar-nya ditempatkan di depan mubtada��-nya (atau M di depan D pada pola kalimat MD). Bila disusun dengan mubtada� di depan dan khabar dibelakang, kalimat itu berbunyi : �satu derajat bagi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan�. Kalimat tersebut hanya berbentuk pemberitahuan yang tidak memiliki penetapan khusus yang normatif. Akan tetapi, dengan kalimat yang tersusun pada ayat yang mendahulukan khabar� daripada mubtada�nya, diperolah penetapan yang normatif dan khusus serta bersifat universal sebagai sunnah thabii�iyyah. Dengan demikian penyimpangan dari penetapan ini suatu pelanggaran terhadap ketetapan Allah yang bersifat sunnah thabii�iyyah.


Orang yang merasa tidak puas dan terus menuntut adanya nash Al-Qur-an yang secara tegas melarang perempuan menjadi pemimpin pemerintah, harus berlaku jujur dengan cara berpikirnya dalam menghadapi persoalan-persoalan lain yang dalam Al-Qur-an tidak ada larangannya seara tegas tetapi hukumnya diterima sebagai satu ketetapan yang tidak boleh dilanggar.


Contoh : perempuan yang tengah menjalani iddah dilarang menikah dengan lelaki lain, padahal tidak ada larangan secara tegas dan khusus mengenai masalah ini. Yang ada adalah suatu ketetapan umum sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah (2) : 228 yang sama sekali tidak menyebut larangan menikah dengan lelaki lain dalam masa iddah ini. �Dan perempuan-perempuan yang di thalaq mereka itu menahan dirinya tiga kali masa bersih (quru�) dan mereka tidak dihalalkan merahasiakan apa yang telah Allah ciptakan dalam rahim mereka jika mereka benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Akan tetapi bekas suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam masa iddah itu kalau mereka menginginkan perdamaian. Bagi perempuan itu mendapatkan hak sepadan dengan kewajiban mereka secara ma�ruf dan bagi laki-laki mempunyai hak satu derajat lebih terhadap mereka dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.�


Secara jelas pada ayat di atas tidak terdapat larangan bagi perempuan dalam masa iddah untuk menikah dengan laki-laki lain. Apakah karena alasan tidak adanya larangan tegas secara khusus itu kita boleh atau halal menikahkan seorang perempuan dalam masa iddah dengan lelaki lain? Dalam kasus ini tidak seorangpun ahli tafsir atau ahli fiqh yang berani menyatakan pendapatnya seperti itu. Bahkan orang-orang yang tidak memahami seluk-beluk mengenai hukum Islam pun tidak berani berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, kita meminta kepada orang-orang yang menuntut adanya ayat yang tegas melarang perempuan menjadi pemimpin pemerintah atau negara berlaku adil dalam menuntut dalil dan berpikir adil dalam mendudukkan permasalahannya.


Jadi tidak benar bahwa tidak ada larangan perempuan menjadi pemimpin pemerintah atau negara seperti yang diisukan oleh orang-orang yang tidak mengerti pola-pola Al-Qur-an dalam merumuskan kalimat-kalimatnya.


Dr. Rabi� bin Hadii Al-Madkhali menjelaskan, orang laki-laki tetap memiliki beberapa kelebihan yang tidak bisa disamai wanita. Islam melebihkan laki-laki atas wanita sejak lahirnya. Islam mensyari�atkan aqiqah bagi anak laki-laki dengan menyembelih dua ekor domba, sedangkan untuk wanita cukup satu domba.


Selagi keduanya masih bayi, maka kencing bayi wanita harus dicuci, sedangkan kencing bayi laki-laki cukup diperciki air saja. Dalam pembagian warisan, untuk laki-laki sama dengan bagian dua wanita. Dalam lapangan hukum, politik, pemerintah dan jihad, maka Islam melimpahkan semua tanggung jawab ke pundak laki-laki yang dapat dipercaya. Rasulullah SAW tidak pernah mengangkat seorang wanita sebagai komandan pasukan perang dan juga sebagai pemimpin pengiriman pasukan. Beliau juga tidak mengangkat wanita sebagai pemimpin manusia, apalagi mengangkat sebagai pemimpin suatu wilayah. Beliau juga tidak mengangkat wanita sebagai imam shalat dan penyeru adzan. Dalam masalah kesaksian dan ibadah maka Rasulullah Shalallahu ”Alaihi Wasallam bersabda tentang kondisi wanita: �Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang kurang akal dan agamanya.� Dalam maslalah nikah maka wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri, juga tidak bisa menikahkan orang lain.


Dr. Rabi� melanjutkan, Tentunya engkau sudah tahu salah satu dari dua sebab kepemimpinan, yaitu kelebihan laki-laki daripada wanita.


Lalu bagaimana sikap kita terhadap keadaan kita sekarang? Ikuti pembahasan mengenai Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Pemerintah Yang Tidak Syah Secara Syari”at.

No comments

Powered by Blogger.