Belajar (Terus) Dari Umar bin Abdul Aziz

Ilustrasi.

Masih teringat kelahiran Perpres No 39 Tahun 2015 yang isinya merivisi aturan sebelumnya yaitu Perpres No 68 Tahun 2010 tentang kenaikan tunjangan uang muka mobil pejabat dari yang awalnya sebesarnya Rp.116.650.000 menjadi Rp. 210.890.000 ? Jika sudah lupa,maka hal itu bisa dimaklumi. Terlalu banyak info dan berita yang selalu baru dan kontroversial di negeri ini, sehingga rakyat seolah dibuat lupa dengan masalah-masalah yang pernah ada. Sekalipun sudah meaafkan peristiwa itu, tak ada salahnya jika kita kembali membuka dan mengingatnya lagi untuk kemudian mengambil pelajaran darinya.

Negara ini terkadang mirip panggung dagelan, yang setiap hari pelawaknya (baca: pejabatnya) gemar menceritakan lelucon-lelucon baru yang menggelitik. Cerita yang tak pernah usang tetapi selalu ada saja variasinya adalah soal tunjangan. Ketika gaji pokok beserta tunjangannya , mulai dari tunjangan keluarga, kesehatan, listrik, dan entah berapa jenis tunjangan lainnya belum dirasa cukup, maka uang muka mobil juga perlu untuk direalisasikan. Risalah lahirnya perpres ini adalah penyesuaian kendaraan dinas bagi para pejabat di tengah harga kendaraan yang terus meningkat. Beberapa pihak bahkan mengapresiasi hal ini karena toh negara hanya membayar uang muka, bukan membayar lunas kendaraan. Pertanyaan mendasarnya adalah, sebegitu urgenkah uang muka mobil dinas bagi pejabat, di tengah harga BBM, tarif angkutan , dan sembako yang juga terus merangsak naik?

Para pejabat kita sesungguhnya harus kembali benar-benar belajar dari sosok yang nyata pernah ada, seorang pemangku jabatan yang telah dengan indah menggoreskan riwayat kepemimpinannya pada lembar kehidupan untuk dijadikan pelajaran bagi manusia setelahnya. Siapa lagi kalau bukan Umar bin Abdul Aziz, khalifah Bani Umayyah, pemimpin yang dengan segala tanggung jawabnya begitu takut menyentuh barang atau hal yang berlabel “milik negara” . Bahkan mungkin sebagian dari kita akan mengernyitkan dahi dan bergumam “ harus sampai seperti itu?”

Simaklah sepenggal kisah berikut, di mana Umar begitu menegaskan kepada bawahannya pejabat sejatinya haruslah hemat dalam mengelola segala yang menjadi milik rakyat. Suatu hari, seorang gubernur meminta pasokan tambahan lampu untuk menerangi kantor dan menerangi jalan ketika ia akan berangkat shalat isya dan subuh di masjid. Sebagai pemimpin yang begitu takut akan amanahnya, bukan tanda tangan yang diberikan Umar untuk pembelian lampu kepada gubernur tersebut, melainkan sebuah nasihat yang mengingatkan bahwa gubernur tersebut dahulu diangkat dengan sumpah, yakni tidak akan menggunakan lampu untuk berangkat ke masjid sekalipun cuaca dingin dan malam gelap. Ia harus menggunakan apa yang ada, selagi apa yang ada di rumahnya itu masih cukup.

Tak hanya lampu, bahkan untuk kertas dan tinta yang di zaman sekarang ini kita begitu maklum dengan keadaan bahwa keperluan administrasi selalu membutuhkan banyak kertas. Umar menasihati para pejabatnya agar selalu berhemat dalam menggunakan segalanya. Tulislah apa yang penting dan jangan banyak bicara dengan tinta-tinta itu. Ini menunjukkan bahwa Umar menghendaki birokrasi yang ringkas, sederhana, dan tidak banyak bertele-tele. Sesuatu yang sangat sering diremehkan oleh kita semua hingga kita akhirnya terbiasa dengan kemubadziran. Ketika kita telah terbisa, maka akan menjadi suatu hal yang wajar jika mungkin di esok hari kita akan meniru polah tingkah para pejabat negeri ini yang suka dengan segala sesuatu yang lebih. Nasihat Umar di atas bukan hanya untuk cerminan mereka yang tengah berkuasa, tapi juga untuk kita semua karena kita tidak akan pernah bisa menjamin seperti apa diri kita kelak. Maka, selalu belajar dari lingkungan dan orang bijak semoga bisa membimbing jalan kita untuk menjadi fotokopi Umar bin Abdul Aziz, salah satu khaifah terbaik yang pernah ada di muka bumi. Wallahu a’lam bishawab.

Sumber: dakwatuna.com

No comments

Powered by Blogger.