Awas, Kemungkinan Calon Tunggal Dalam Pilpres 2019

Oleh: Tarli Nugroho

Jika Anda mengikuti pembahasan RUU Pemilu terkini, Anda pasti akan memahami narasi politik yang sedang bekerja di balik berbagai deklarasi dini pencalonan kembali Jokowi sebagai presiden pada Pemilu 2019.

Ketidakhadiran berkali-kali pemerintah dalam proses pengambilan keputusan akhir di Pansus RUU Pemilu, yang seharusnya menjadi tahapan akhir sebelum rancangan tersebut dibawa ke Paripurna DPR, ditambah ancaman penerbitan Perppu terkait Pemilu 2019 oleh Menteri Tjahjo, menunjukkan dengan jelas jika pemerintah sepertinya memang sengaja hendak menciptakan deadlock dalam pembahasan RUU Pemilu. Jangan lupa, adalah pemerintah pula yang sebelumnya terlambat menyerahkan draf RUU Pemilu ke DPR, yaitu baru akhir 2016 lalu, yang membuat pembahasan di DPR pun akhirnya terhambat.

Motif penciptaan deadlock tersebut sepertinya berhulu pada keinginan pemerintah untuk mengamankan dan mempertahankan Presidential Threshold (PT) di angka 20-25 persen, sikap yang sejauh ini didukung oleh Fraksi Partai Golkar, PDI-P dan Nasdem. Jika deadlock tersebut berhasil dikondisikan, maka Pemilu 2019 akan diselenggarakan mengacu pada undang-undang lama, di mana syarat pengajuan calon presiden dalam UU No. 42/2008 menggunakan ambang batas 20-25 persen.

Maksud ambang batas 20-25 persen tersebut adalah calon presiden hanya bisa diajukan oleh partai politik, atau gabungan partai politik yang menguasai suara sekurang-kurangnya 20 persen kursi di DPR RI, atau 25 persen perolehan suara secara nasional.

Berkaca dari pengalaman dua pemilu sebelumnya, meski di atas kertas seolah dimungkinkan bisa muncul lebih dari dua pasangan calon presiden, dalam praktiknya ambang batas tersebut hanya bisa menghasilkan dua pasangan calon presiden, bahkan mungkin hanya calon tunggal.

Kita ingat, Pilpres 2009, misalnya, bisa melahirkan tiga pasangan calon karena tiga partai dengan perolehan suara terbesar masing-masing mengusung calon presidennya sendiri. PDI-P, misalnya, mengusung Megawati-Prabowo melalui koalisi dengan Gerindra. Demokrat mengusung SBY-Boediono melalui koalisi dengan PKS, PKB, PAN, dan PPP. Sementara Golkar mengusung Jusuf Kalla-Wiranto melalui koalisi dengan Hanura.

Tapi, sebagaimana bisa kita lihat pada Pilpres 2014, begitu salah satu dari partai tiga besar tidak mengajukan pasangan calonnya sendiri, yang terjadi akhirnya polarisasi dua calon saja. Kita ingat, pada Pilpres 2014 Golkar gagal membangun koalisi, sehingga akhirnya bergabung dengan koalisi yang telah dibentuk oleh Gerindra. Pilpres 2014 akhirnya berlangsung hanya dengan dua pasangan calon, yaitu Prabowo-Hatta, yang didukung oleh Gerindra, PKS, PAN, PPP, PBB, dan kemudian Golkar, lalu Jokowi-Kalla yang didukung oleh PDI-P, PKB, Nasdem dan PKPI.

Dari dua pengalaman tadi, memperhatikan grouping kekuatan politik yang berlangsung hari ini, jika syarat ambang batas itu tetap dipertahankan, maka kita kemungkinan akan kembali mengulang drama Pilpres 2014, atau bahkan lebih buruk lagi: hanya akan muncul calon tunggal!

Dua partai dengan perolehan suara terbesar Pemilu 2014 silam, PDI-P (18,95%) dan Golkar (14,75%), keduanya akan kembali mengusung Jokowi sebagai calon presiden, meskipun secara resmi PDI-P belum mengemukakannya. Nasdem (6,72%) juga hampir pasti akan kembali mengusung Jokowi. Tiga partai ini saja sudah menguasai 40,42% kursi parlemen.

Meski empat partai pendukung pemerintah lainnya, yaitu PKB (9,04%), PAN (7,59%), Hanura (5,26%) dan PPP (6,53%) sejauh ini berbeda pendapat dengan PDI-P, Golkar dan Nasdem terkait Presidential Threshold, namun pandangan terkait keberadaan dan angka PT ini bisa jadi tak ada kaitannya dengan preferensi koalisi yang akan terbentuk.

Memperhatikan kecenderungan politiknya, jika PKB, Hanura dan PPP konsisten dukungannya terhadap Jokowi, gabungan partai-partai ini saja telah mengambil porsi 61,2% kursi DPR.

Sisa partai lainnya, yaitu Gerindra (11,81%), Demokrat (10,9%), PKS (6,79%), dan PAN (7,59%), secara kumulatif tak mungkin mengajukan dua pasangan calon. Sehingga, di atas kertas kengototan pemerintah dengan PT 20-25 persen hanya bisa dibaca melalui satu sudut pandang: mengulang kembali drama Pilpres 2014.

Tapi benarkah hanya itu kemungkinannya?!

Sejauh ini, jika kita lihat, hanya PKS yang konsisten seiring dan sejalan dengan Gerindra. Dan ini sudah berlangsung setidaknya dalam lima tahun terakhir. Terakhir, kekompakan dua partai ini bisa dilihat pada Pilkada DKI 2017 lalu.

Masalahnya, jika angka PT dalam Pilpres 2019 mendatang berpatokan pada hasil Pileg 2014, gabungan Gerindra dan PKS hanya bisa mengumpulkan 18,6% kursi parlemen. Dua partai lainnya, Demokrat dan PAN, juga hanya bisa mengakumulasikan 18,49% suara.

Jelas, melihat komposisi demikian, dengan kuasanya pemerintah bisa saja merekayasa hanya akan ada calon tunggal pada Pilpres 2019. Kita tentu ingat, menjelang kontestasi politik akbar, berbagai kasus hukum biasanya banyak dibuka, bukan untuk dilakukan penegakkan hukum, tapi sekadar untuk menyandera lawan politik. Masih ingat heboh pengakuan Antasari menjelang Pilkada DKI putaran pertama lalu?! Atau, masih ingat “netralitas” Demokrat dalam Pilpres 2014 silam?! Itu netralitas yang sangat penuh arti. Sebagai partai yang selalu berada dalam lingkaran kekuasaan, PAN juga rentan disandera oleh modus semacam ini.

Celakanya, Pansus RUU Pemilu sendiri telah menyepakati dimungkinkannya calon tunggal! Sehingga, pernyataan dan manuver Menteri Tjahjo dalam Pansus RUU Pemilu, tidak bisa tidak harus kita dicurigai hanya merupakan bentuk pretext bagi terjadinya kemungkinan ganjil tersebut.

Lahirnya calon tunggal, memang tidak otomatis buruk bagi demokrasi. Tapi calon tunggal yang lahir melalui rekayasa hukum dan politik sudah pastilah buruknya. Baliho-baliho dan deklarasi dini merupakan bumbu penyedapnya.

Sesudah berbuih-buih ngomong demokrasi, Pancasila, pluralisme dan kebhinekaan, itukah yang kita inginkan: calon tunggal dalam Pilpres 2019?!

No comments

Powered by Blogger.