Demokrasi Dalam Rezim Jokowi !


Sumber gambar CNN Indonesia

FAKTA HUKUM DEMOKRASI BERSTANDAR GANDA 

Oleh : Novia Norma Yunita
Kepala Divisi Humas LDK KMM STKS Bandung

Jabungonline.com - Saat ini ada dua kasus yang tengah menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Pertama, kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan dengan isu SARA oleh Buni Yani sesuai dengan UU Pasal 28 ayat 2 tentang ITE . Kedua, pelaporan Gubernur Jakarta Anies Baswedan atas dugaan tindakan pidana diskrimintif ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam pasal 4b UU No. 40 Tahun 2008

Kasus Buni Yani sendiri muncul saat ia mengupload sebuah video yang berisi penistaan terhadap surat Al-Maidah ayat 51 oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. 

Menurut Jaksa Penuntut Umum  HM Prasetyo, penanganan kasus tidak akan diberhentikan meskipun Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Utara menilai perbuatan Buni Yani tidak berkaitan dengan tindakan penistaan agama. 

Menurut Prasetyo, kasus Buni Yani mengacu pada adequate theory yakni teori sebab akibat, bahwa kasus yang satu tidak akan terjadi jika tidak ada kasus yang lainnya. Kasus dugaan pidana yang dilakukan oleh Buni Yani telah menyebabkan pidana lain, yakni kasus penistaan yang dilakukan Ahok. 

Dengan kata lain, Buni Yani dianggap harus mendapat hukuman yang sama dengan apa yang dijatuhkan pada Ahok. Tetapi, Yusril Ihza Mahendra menilai tidak ada unsur pidana dalam pasal 31 ayat 1 UU No.11 Tahun 2008 tenntang ITE yang mendakwa Buni Yani. Selain itu, asumsi jaksa penuntut umum terkait pemotongan video oleh Buni Yani belum dapat dibuktikan hingga saat ini. 

Di sisi lain, Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan dilaporkan oleh Koordinator Gerakan Pancasila, Jack Boyn Lapian atas penggunaan kata “pribumi” dalam pidatonya. Anies dilaporkan atas dugaan tindakan pidana diskriminatif ras dan etnis. 

Seakan dibesar-besarkan, hal ini akhirnya menjadi buah bibir diberbagai kalangan. Kata “pribumi” menjadi eksis kembali. Tanpa mengetahui jelas apa motif dibalik pelaporan Anies atas penggunaan kata “pribumi” ternyata, Bu Susi, Bu Megawati bahkan Pak Jokowi pun pernah menggunakan kata “pribumi” ini namun tak ada yang bermasalah dengan hal itu.

Baik Buni Yani maupun Anies sama-sama dilaporkan atas dugaan tindakan pidana. Namun, Terlihat seakan ada unsur kepentingan pribadi dan balas dendam terkait laporan terhadap Anies dan Buni Yani. Mengapa dari sekian pejabat yang menggunakan kata pribumi, seakan salah jika masuk dalam isi pidato Anies?, dan mengapa tuntutan penjara atas Buni Yani harus sama dengan Ahok? 

Jika dilihat memang kedua kasus tersebut terlihat berbeda, namun dalam pelaksanaan hukumnya sama yakni dengan menggunakan hukum demokrasi.

Hukum demokrasi yang bersifat karet dan dapat ditarik kesana kemari sesuka hati sangatlah rawan disalahgunakan. Belum lagi pasal-pasal yang multitafsir dan tak memiliki batasan yang jelas sehingga, dapat menjadi pedang sekaligus bumerang bagi masyarakat dalam menghadapi hukum di negeri ini. 

Maka, wajar jika slogan “demokrasi bisa dibeli” tak lagi tabu di telinga masyarakat saat ini. Parahnya lagi, hukum yang memperlihatkan keberpihakannya pada kaum kapital yang tajam kebawah namun tumpul ke atas. Tinggal menunggu waktu saja hukum demokrasi akhirnya akan menyengsarakan rakyatnya sendiri. hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Franz Magnis Suseno (1995) bahwa jangan heran kalau diskursus demokrasi itu penuh dengan berbagai kerancuan, inkonsistensi dan fallacie. 

Hal ini karena demokrasi merupakan sesuatu yang sangat abstrak untuk didefinisikan. Hal-hal yang sangat abstrak untuk didefinisikan akan sangat mudah membentuk persepsi yang berbeda-beda. Hal ini pula yang terjadi pada negeri kita saat ini. Dimana hukum dapat digunakan sesuka hati, sesuka kebutuhan yang penting ada uang. 

Contoh lainnya, saat hukum suara mayoritas dan HAM yang berusaha didudukan pada hal yang sama. Di Perancis, Adzan tak diperbolehkan terdengar dari luar gedung karena dianggap mengganggu bagi mayoritas orang disana. Minoritas Muslim yang ada di perancis harus terima akan hal ini karena itu adalah kesepakatan mayoritas. 

Namun berbeda dengan kasus yang terjadi di Indonesia saat sebuah rumah yang dijadikan gereja tak diijinkan oleh warga setempat, pendeta geraja segera melaporkan hal tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Padahal mayoritas warga setempat sepakat tidak mengijinkan hal tersebut. Dapat dilihat, Hak Asasi Manusia yang begitu meninggikan kebebasan manusia ini pun sarat akan penyalahgunaan.  

Selain kasus-kasus di atas, kasus pembubaran ormas HTI oleh pemerintah pun dinilai sebagai sebuah kecacatan demokrasi. Hal ini disampaikan oleh Ketua Program Doktoral Ilmu Politik Pascasarjana Universitas Nasional (UNAS), Dr TB Massa Djafar, M.Si. menurutnya, di dalam negara yang menganut sistem demokrasi keputusan politik yang menyangkut hak-hak dasar warga negara mesti diputuskan melalui pengadilan. 

Karena, kalau tanpa melalui prosedur hukum, nanti diskriminatif. Ia menilai, tanpa komitmen hukum, sulit untuk membangun demokrasi di Indonesia. Bagaimana bisa ingin membangun negara demokrasi tapi melukai demokrasi itu sendiri? [MO/bp]

No comments

Powered by Blogger.