Mempertanyakan Kemana Arah Gerakan Melawan Radikalisme?

Kemana Arah Gerakan Melawan Radikalisme? 

Oleh: Nauroh Alifah

Jabungonline.com Gerakan tolak radikalisme akhir-akhir ini terdengar sangat massif digulirkan pemerintah yang didukung oleh beberapa kelompok yang sedang ‘sejalan’ dengan pemerintah. Berbagai kegiatan tolak radikalisme yang melibatkan berbagai kalangan pun digelar. 

Mengiringi berbagai peringatan hari santri tanggal 22 oktober tahun ini, isu ini menjadi isu utama yang diangkat. Di Jember sendiri, sebagai kota santri, berbagai event tolak radikalisme pun dilaksanakan. 

Salah satunya adalah kegiatan Konferensi Tokoh Warga dengan tema "Melawan Radikalisme dan Terorisme" di Kabupaten Jember yang dilaksanakan hari  Minggu 15/10/2017. Kegiatan konferensi tokoh tersebut menghasilkan tujuh rekomendasi di antaranya pemerintah harus melarang segala bentuk pembelajaran yang mengarah pada ajaran-ajaran radikalisme di sekolah terutama yang terdapat dalam buku ajar maupun dalam lembar kerja siswa. 



Isu Tolak radikalisme semakin gencar digulirkan pemerintah, seiring dengan disahkannya Perppu Ormas menjadi UU melalui mekanisme voting di DPR. Semakin ramai lagi, karena pemerintah melalui Menristekdikti punya gawe besar di tanggal 28 Oktober 2107 berepatan dengan hari sumpah pemuda, yaitu Kuliah Akbar dengan tema Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme yang direncanakan akan diikuti oleh 4.500.000 mahasiswa dari seluruh penjuru Indonesia. 

Bisa dibayangkan, berapa dana, tenaga dan pikiran yang dikerahkan untuk melakukan gerakan tolak radikalisme ini..Benarkah gerakan radikal adalah bahaya yang sangat besar bagi Indonesia??

Neoliberalisme-Neokolonialisme; Bahaya Nyata Sebenarnya

Siapapun tahu, Indonesia tengah dibelit berbagai persoalan serius. Harga pangan melambung, di tengah-tengah potensi sumber daya alam pertanian yang berlimpah.  Sementara itu kehidupan para petani dan nelayan  semakin susah.  

Tempat tinggal dan pemukiman layak huni, kian jauh dari jangkauan kantong rakyat umumnya.  Padahal teknologi konstruksi dan bangunan serta potensi sumber daya alam perumahan tersedia berlimpah.  Akses terhadap air bersih, listrik, gas, BBM juga tidak mudah.  

Hal serupa pada kesehatan, jutaan jiwa kesulitan memperoleh jasa dokter, peralatan medis dan obat-obatan, di saat riset kesehatan dan farmasi maju pesat. Demikian pula riset dan teknologi   transportasi yang canggih tidak banyak manfaatnya bagi kemudahan setiap orang memenuhi hajat transportasi publik yang murah, aman dan nyaman.  

Sementara itu sistem pendidikan yang berkiblat ke Barat sangat membebani masyarakat, dan  menyingkirkan hak kaum papa dan miskin. Out put-nyapun hanyalah pekerja terdidik sesuai kepentingan industrialisasi dan kebutuhan hegemoni terselubung. 

Cukup mudah membuktikan pupusnya kedaulatan bangsa.  Hampir  semua kebutuhan masyarakat dipenuhi melalui impor.  Pembangunan sangat tergantung pada modal dan kemauan asing. Bahaya neoliberalisme-neokolonialisme, begitu nyata di depan mata.  

Maka sungguh salah alamat ketika pemerintah justru menyatakan bahwa musuh kita adalah paham radikalisme, karena pada kenyataannya yang menghancurkan kita adalah neoliberalisme-neokolonialisme. 

Tolak Radikalisme; Gerakan Untuk Menghadang Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik. Jika merujuk pada definisi ini, maka sebenarnya, banyak paham/ideologi yang terkategori paham radikal, termasuk paham kapitalisme dan turunannya serta sosialisme-komunisme dan turunannya. 

Namun, jika menyimak kejadian-kejadian di tanah air, maka sangat terasa sekali bahwa sasaran tembak yang dimaksud adalah syariat Islam khususnya tentang khilafah. Seperti dinyatakan oleh Amien Rais, ketika berorasi pada aksi 2410, bahwa perppu ormas adalah untuk lenyapkan kekuatan Islam. 


Semakin jelas lagi ketika Tjahjo Kumolo dalam pidatonya menyebutkan,” Banyak ormas yang dalam aktivitasnya ternyata mengembangkan paham atau ideologi dan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, dalam hal ini tidak termasuk dalam paham atheisme, komunisme, leninisme, marxisme yang berkembang cepat di Indonesia.” 

Sangat jelas inilah buah pahit  kehadiran pemerintah dengan konsep-konsep dan mind set neoliberalisme beserta keseluruhan sistem kehidupan sekuler yang menyingkirkan peran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama kekuatan politik Islam, yaitu khilafah.

Khilafah Ajaran Islam Wajib Dilaksanakan

Tidak dapat dipungkiri, gagasan khilafah dari sisi kewajiban menegakkan dan urgensitasnya kian berkembang dari hari ke hari. Penerimaan dari masyarakatpun demikian mengalir tak peduli dengan sebagian pihak yang meragukan dan menghalanginya. 

Hal itu dapat dipahami karena memang faktanya masyarakat dihadapkan dengan dua hal sekaligus; 

Pertama, dakwah yang demikian gencar sehingga alasan normatif terkait kewajiban penerapan syariah dengan metode penegakkan khilafah lebih mudah diakses dan didiskusikan secara terbuka dan fair; 

Kedua, problem kehidupan yang datang silih berganti –meski sudah dicoba dengan berbagai solusi- lambat laun menyadarkan umat bahwa gagasan khilafah layak jadi salah satu alternatif solusi, bahkan sebagian lagi meyakini sebagai satu-satunya solusi dalam menyelesaikan problem masyarakat dan bangsa. 

Sesungguhnya  Allah Swt telah memerintahkan sejumlah perkara fardhu/wajib kepada kita. 



Termasuk perkara yang juga wajib yang terkategori fardhu kifayah yaitu menegakkan kembali Khilafah dengan mengangkat seorang khalifah yang bertugas untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah di tengah-tengah umat sekaligus mengembah risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. 

Khilafah disebut juga dengan istilah Imâmah al-Kubra (Kepemimpinan Agung) atau Imârah al-Mu’minîn (Pemerintahan kaum Mukmin). Ketiga istilah tersebut adalah sinonim (Dr. Dhiya’ adh-Dhin ar-Ra’is, An-Nazhriyyah as-Siyasiyyah al-Islamiyah, hlm. 92-103). 

Khilafah yang juga disebut dengan Imamah, menurut Imam al-Mawardi ditetapkan sebagai pengganti kenabian dalam urusan memelihara agama dan mengurus urusan dunia (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 3).

Dalil dari al-Qur’an, bahwa Allah Swt telah berfirman menyeru Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 48)

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).

Seruan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah juga merupakan seruan bagi umat Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.  

Yaitu penegakan seluruh ketentuan hukum syara dalam berbagai bidang politik, ekonomi, sanksi dsb adalah sesuatu yang wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa. 



Dan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib, yakni bahwa mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat hukumnya adalah wajib. Penguasa itu adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah.

Adapun dalil dari al-Sunah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata: “Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku : “aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda:

Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti kematian jahiliyah (HR. Muslim)

Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap muslim, yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim. 

Berdasarkan banyak dalil dari al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat, para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah telah berijmak (bersepakat) bahwa menegakkan Khilafah di tengah-tengah umat adalah kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariah. 

Berdasarkan hal ini, jelaslah hukum menegakkan Khilafah adalah fardhu/wajib. Apalagi pada Khilafahlah bergantung banyak pelaksanaan hukum Islam. Artinya, tanpa Khilafah, banyak hukum Islam sebagaimana saat ini tidak dapat dilaksanakan. Bahkan eksistensi Islam di tengah kehidupan pun bergantung pada adanya Khilafah. 

Keberadaan khilafah di tengah-tengat umat adalah solusi bagi seluruh alam bukan hanya untuk kaum muslimin. 

Lalu megapa justru ide ini yang dikriminalisasi dengan diberi stempel radikal?? 

Sedang ide yang nyata-nyata merusak dan melahirkan kerusakan seperti kapitalisme dan sosialisme-komunisme justru diberi ruang?? 

Maka sungguh kita perlu bertanya kemana arah gerakan ini sebenarnya??!! [MO/bp]

No comments

Powered by Blogger.