Wakaf Melalui Crowdfunding

Tradisi wakaf (ilustrasi).

Oleh: Meri Indri Hapsari,Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Jabungonline.com - Usia Undang-Undang Wakaf telah menginjak hampir 1,5 dekade. Lahirnya undang-undang pada tahun 2004 itu, menjadi momentum pengembangan perwakafan sekaligus refleksi kepedulian pemerintah dalam memajukan wakaf.

Tujuannya, wakaf memiliki nilai tambah ekonomi selain nilai sosialnya. Bagi umat Islam, manfaat wakaf adalah pemenuhan aspek ibadah. Di balik aspek religiositasnya, secara sosial ekonomi, wakaf memiliki peran sangat besar dalam pelayanan umat.

Wakaf merupakan salah satu instrumen pemerataan distribusi kekayaan dalam ekonomi Islam. Sebagian besar wakaf diaplikasikan dalam bentuk aset berwujud, di antaranya tanah. Hingga Maret 2016, potensi tanah wakaf tercatat 4,3 miliar meter persegi.

Potensi ekonominya sebesar Rp 370 triliun, terdiri atas 435.768 lokasi dengan perincian 287.160 lokasi bersertifikat dan 148.447 lokasi belum bersertifikat (data Badan Wakaf Indonesia). Potensi tersebut hanya dilihat dari jenis wakaf tanah.

Jika dikelola secara profesional, potensi wakaf dapat digunakan untuk beragam proyek pemberdayaan ekonomi nasional. Namun sayang, hal itu masih belum tergarap optimal. Berdasarkan data Kementerian Agama RI, 74 persen tanah wakaf untuk masjid dan mushala.

Sedangkan 10 persen untuk sekolahan, delapan persen makam, lima persen pesantren, dan tiga persen untuk aktivitas sosial lainnya. Dari situ dapat disimpulkan, pemanfaatan tanah wakaf belum mencapai pada tingkat pengelolaan yang produktif.

Bahkan, Ketua Pusat Strategi Baznas mengungkapkan, 90 persen aset wakaf di Indonesia masih menganggur. Tidak bisa dimungkiri pengelolaan wakaf menghadapi banyak problematika, di antara yang terbesar berkaitan dengan financing atau dana pemberdayaan.

Financing merupakan amunisi pengembangan aset wakaf. Di Indonesia, pemerintah belum memberikan perhatian khusus terhadap anggaran dana pengembangan aset wakaf yang produktif. Pada 2015, anggaran pemerintah untuk BWI hanya Rp 6 miliar.

Sebanyak 43 persen untuk belanja program dan 57 persen untuk biaya operasional organisasi. Pada 2016, BWI mencoba mengajukan revisi anggaran dana sebesar Rp 20 miliar untuk biaya operasional 18 persen dan biaya program 82 persen.
Jika dibandingkan Malaysia, pengembangan wakaf di Indonesia masih jauh tertinggal karena tidak mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah, walaupun potensi wakaf di Malaysia sebenarnya lebih kecil daripada Indonesia.

Sejauh ini, pemerintah menjadi sumber pendanaan utama untuk mengembangakan tanah wakaf melalui berbagai proyek pmbangunannya. Dalam Rencana Malaysia ke-9 (RMK-9), Pemerintah Malaysia mengalokasikan RM 256,89 juta (sekitar Rp 853 miliar). Sebesar RM 244 juta untuk mengembangkan 19 proyek fisik dan RM 12,5 juta dialokasikan pada proyek nonfisik (dataBernama). Dalam pengelolaan potensi wakaf tanah yang besar, butuh pengoptimalisasian langkah dalam menopang pemberdayaan wakaf bagi masyarakat.

Langkah tersebut dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan kemajuan financial technology(fintech) melalui crowdfunding-waqf. Ketika BWI membuat rencana pemberdayaan lahan wakaf dengan mengembangkan berbagai proyek, seperti perumahan, hotel, mal, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya tentu membutuhkan dana untuk melaksanakan proyek tersebut.

Di sinilah crowdfunding berperan menyediakan dana pembiayaan proyek BWI. Crowdfunding telah menjadi platform yang berkembang di seluruh dunia, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat. Di Indonesia, crowdfunding berbasis sosial belum diatur pemerintah.

No comments

Powered by Blogger.