Menyoal Deposito APBD Pemda Lampung Selatan Tahun Anggaran 2018 Hingga 2019


Jabung Online - 'Perjalanan panjang', menjadi jawaban sementara dari dampak kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) Lampung Selatan (Lamsel) mendepositokan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bank Lampung, karena disinyalir deposito dilakukan secara diam-diam, tidak transparan, jujur dan tidak terbuka.

Deposito APBD Pemda Lamsel mulai menjadi perdebatan oleh publik, pada saat hearing antara kepala Badan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah (BPKAD) Intji Indriati bersama komisi II DPRD Lampung Selatan, dijelaskan oleh Intji saat hearing, Deposito APBD dilakukan karena ada potensi penyerapan anggaran tidak terserap, dan dalam rangka meningkatkan PAD Lamsel, dengan deposito Pemda memperoleh bunga sebesar 7-8% atau 16,3 Miliyar.

Mencuatnya deposito APBD Pemda Lamsel, langsung mendapat tanggapan dari salah satu anggota komisi III DPRD Kabupaten Lamsel, Benny Raharjo, Benny berpendapat sebaiknya sebelum ada penempatan APBD ke pos deposito diajukan pertimbangan terlebih dahulu ke DPRD, apakah dimungkinkan untuk APBD di depositokan pada Bank Lampung, kemudian agar pengelolaan deposito APBD dilakukan secara terbuka, transparan dan jujur sehingga Masyarakat mengetahui kondisi keuangan Pemda Lamsel yang sebenarnya, selama ini tidak ada pembahasan bersama DPRD terkait deposito APBD dari tahun 2018 hingga 2019, Jum'at (22/11/2019).

Dijelaskan oleh Benny bahwa kondisi pelaksanaan pembangunan infrastruktur Tahun 2019 di Lamsel kurang terlaksana dengan baik, sebab 40% proyek pembangunan mengalami gagal tender diakibatkan adanya persaingan tidak sehat yang bersumber dari hacker, hal ini diketahui usai hearing antara komisi III DPRD Lamsel bersama unit layanan pengadaan (ULP) dan kelompok Kerja penyedia (Pokja), munculnya hacker tersebut oleh Pokja dan ULP atau atas nama Pemerintah Daerah, belum ada upaya untuk melakukan pelaporan ke aparat penegak hukum terkait munculnya hacker tersebut, tentunya untuk mengusut siapakah oknum hacker tersebut, menjadi kewajaran jika terbesit adanya sebuah pertanyaan, apakah benar hacker tersebut sengaja dimunculkan, dengan tujuan untuk mengagalkan tender proyek, karena dari tidak terlaksananya proses tender proyek bisa menjadi alasan dana yang tidak terpakai untuk didepositokan.

Selain DPRD Lamsel yang memberikan catatan merah, deposito APBD Lamsel juga mendapat reaksi keras dari publik dan masyarakat. praktisi dan juga akademisi Fakultas hukum dari perguruan tinggi swasta ternama di Lampung Gindha Ansori Wayka, SH, MH memberikan kritikan, deposito APBD pada dasarnya diperkenankan, akan tetapi harus sesuai mekanisme sebagaimana amanah UU pasal 131 Ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia (RI) nomor 12 Tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan Daerah, disebutkan bahwa dalam rangka manajemen kas, Pemerintah Daerah dapat mendepositokan dan/atau melakukan investasi jangka pendek atas uang milik Daerah yang sementara belum digunakan sepanjang tidak mengganggu likuiditas keuangan Daerah, Tugas Daerah dan kualitas pelayanan.

"Dengan adanya ketentuan hukum terkait deposito APBD, ada beberapa prasyarat yang harus dikaji dan terpenuhi indikatornya yang mampu menjadikan pertimbangan Pemda apakah memungkinkan APBD di Tahun 2018 dan 2019 untuk di depositokan?, Apakah dengan adanya upaya deposito tidak mengganggu likuiditas keuangan Daerah?, Dan apakah dengan didepositokannya APBD tidak menganggu dan menghambat kinerja Pemda, dan tidak mempengaruhi kualitas pelayanan publik? Pertanyaan dan indikator tersebut akan mampu terjawab jika keputusan Didepositokannya APBD dilakukan secara terbuka, transparan dan jujur kepada publik dan membahas dan mengkajinya bersama DPRD Lamsel", kata Ansori.

"Prasyarat tersebut haruslah terpenuhi terlebih dahulu sebelum APBD di deposito, namun jika alasan deposito dilakukan karena hanya gagalnya tender proyek APBD 2019 yang disebabkan munculnya 'hacker' sehingga 40% proyek infrastruktur tahun anggaran 2019 tidak berjalan, alasan tersebut belum mampu dijadikan dasar dan landasan untuk membenarkan APBD untuk di depositokan. Sebab deposito APBD di tahun anggaran berjalan akan mengganggu dan menghambat kerja Pemda serta mempengaruhi kualitas pelayanan publik pastinya banyak program pembangunan tidak berjalan", jelasnya. (24/11/2019).

Lebih lanjut, Ginda Ansori menyampaikan bahwa deposito APBD Lamsel tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 131 Ayat (1) PP RI Nomor 12 Tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah karena diduga tidak memenuhi kriteria sebagai dana milik Daerah yang sementara belum digunakan, diduga mengganggu likuiditas keuangan Daerah, diduga mengganggu keuangan daerah, diduga mengganggu tugas daerah serta menyebabkan kualitas pelayanan publik menjadi rendah karena program yang sudah dianggarkan tidak terlaksana.

Terpisah Pemda Lamsel mengklaim deposito APBD sudah sesuai ketentuan. Pernyataan itu disampaikan kepala Badan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah (BPKAD) Lamsel Intji Indriati, menanggapi pemberitaan banyak media terkait kejanggalan deposito APBD Pemda Lamsel di Bank Lampung dengan bunga yang sangat tinggi.

Intji mengatakan sesuai arahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dana APBD hanya di depositokan pada Bank Lampung.

"Penyimpanan dana APBD dalam bentuk deposito di Bank Lampung sesuai aturan dan arahan KPK, ini juga bagian dari manajemen kas daerah yang setiap tahun diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)", kata Intji saat jumpa pers, Senin (25/11/2019).

Selain diaudit BPK, penempatan deposito dana APBD itu juga secara rutin di monitor dan dievaluasi oleh KPK.

Intji membeberkan jumlah APBD yang di deposito di Bank Lampung, hingga 21 November 2019 total dana APBD Pemkab Lamsel yang disimpan di Bank Lampung mencapai Rp. 453.417.549.091, rinciannya dalam bentuk giro Rp. 203.417.549.091 dan deposito Rp. 250.000.000.000. total dana deposito itu terbagi beberapa kategori, deposito dengan bunga 8 %, masing-masing Rp. 70.000.000.000, Rp. 80.000.000.000 dan Rp. 100.000.000.

“Penempatan deposito Pemerintah Daerah yang dilaksanakan pada awal tahun adalah carry over deposito dari tahun 2018 sebesar Rp70 miliar dan Rp80 miliar, karena tidak terserapnya anggaran pada tahun 2018 dan belum adanya aturan yang mengharuskan deposito pemerintah daerah dipindah bukukan ke Rekening Kas Umum Daerah,” jelasnya.

Sebelumnya, lanjut dia, carry over deposito dari tahun 2018 telah mendapatkan beberapa penawaran dari sejumlah BUMN: PT BRI Persero, Tbk dan PT Bank Mandiri Persero. Dalam penawaran itu, bunga deposito yang akan diberikan ke pemerintah daerah di bawah 7,5 persen per tahun.

Sementara, penawaran deposito dari Bank Lampung diberikan special rate bunga di atas 7,5 persen per tahun. Sejak awal tahun 2019 sampai saat ini, bunga yang diberikan PT Bank Lampung 8 persen per tahun.

“Pada tahun 2019 bunga deposito yang telah diperoleh pemerintah daerah sampai tanggal 21 November 2019 sebesar Rp16.302.876.712,37. Jelas intji Indriati.

Dalam kesempatan yang berbeda, KPK memberikan pernyataan tegas dan jelas tentang klaim dan pernyataan Intji Indriati tersebut, KPK menyatakan bahwa keputusan deposito merupakan keputusan sepihak Pemda Lamsel, melalui ketua Tim koordinator Supervisi Bidang Pencegahan (Korsupgah) KPK RI Wilayah III Dian Patria memberikan tanggapan, Rabu (15/1/2020). KPK tidak pernah menerbitkan aturan hukum, arahan dan saran kepada Pemda Lamsel terkait deposito APBD Tahun Anggaran 2018 dan 2019.

"Saya dan tim tidak pernah mengarahkan dan menyarankan, gak tau kalau ada tim lain?" Kata Dian Patria.

Disisi lain, pernyataan KPK tersebut mendapat dukungan dari salah satu pengamat Hukum, politik dan Keamanan Dr. Dewinta Pringgodani, SH, MH.

Dr. Dewinta menyampaikan penilaiannya terhadap pernyataan Kepala BPKAD Lamsel dan Kebijakan deposito APBD tersebut, Jum’at (24/1)

“Ya Saya menilai tidak Mungkin KPK Mengarahkan agar APBD disimpan dalam bentuk deposito, apalagi dengan bunga bank yang tinggi” ulasnya. Pengamat dan juga sebagai Ketua Dewan Pengawas TV kabel Indonesia ini, menegaskan, ia sependapat dengan KPK.

“Saya sependapat dengan Ketua Tim Kordinator Supervisi Bidang Pencegahan (Korsupgah) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Wilayah III Dian Patria itu” tegasnya.

“Karena Pencegahan itu bukan dengan memberikan arahan untuk penempatan dana tetapi bagaimana mencegah korupsi dengan menggunakan dana APBD dengan proyek yang tepat” lanjutnya.

Terkait polemik dana 250 Miliyar APBD Lampung Selatan yang didepositokan oleh Pemerintah Daerah, Dr Dewinta berharap agar tidak ada penyimpanan APBD dalam bentuk deposito apapun sebab APBD merupakan uang masyarakat yang harus dipergunakan untuk pembangunan sehingga bisa dirasakan oleh Masyarakat.

“Harus segera, dana APBD dikembalikan dalam bentuk rekening kembali, karena namanya dana APBD-kan memang harus digunakan untuk pekerjaan proyek, gaji pegawai bukan malah menjadi deposito

Perdebatan publik terkait deposito APBD berujung kepada dilaporkannya masalah deposito tersebut oleh DPW LSM KAMPUD Lampung ke Kejaksaan Tinggi, dan saat ini berdasarkan laporan tersebut kepala Kejaksaan Tinggi Lampung telah menerbitkan surat perintah koordinasi kepada Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) dengan surat nomor : R.663/L.8.3/Kph.I/12/2019, untuk mendalami dan menelaah masalah deposito tersebut. Perkembangan proses hukum di Kejati Lampung langsung mendapat tanggapan dari akademisi dan juga praktisi Gindha Ansori Wayka, SH, MH.

Ia berpendapat untuk mendukung Kejati Lampung, dalam melakukan proses penyelidikan terhadap penempatan dana APBD Pemda Lamsel berbentuk deposito, sehingga jangan sampai ada kesepakatan terkait persentase nilai-nilai dan Menjadi fee oknum-oknum tertentu atas deposito tersebut, dijelaskan juga kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi terhadap upaya pembelaan Pemda Lamsel atas kebijakan deposito tersebut, "jangan sampai jadi Bancakan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, sehingga rakyat dirugikan berkali-kali". (13/2/2020)

Sementara itu, dalam pandangan Ekonomi, melalui salah satu catatan yang berjudul 'menyoal deposito APBD', disampaikan oleh Asrian Hendy Cahya, SE., MS.; dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung, soal Pemda menyimpan dana dalam bentuk deposito tidak masalah jika bukan menjadi target untuk meraih pendapatan asli daerah (PAD).

Berikut penuturan Asrian Hendy Cahya. Sejak era reformasi, sistem keuangan pemerintah diubah. Dulu sistem anggaran menggunakan anggaran berimbang atau sistem T. Artinya ada pendapatan dan ada pengeluaran.

Sistem keuangan ada tiga item, yaitu pengeluaran, pendapatan, dan pembiayaan.

Dalam APBD, sisa lebih anggaran (silpa) itu menjadi pembiayaan. Itulah kenapa sering dalam APBD disebut terjadi defisit, yaitu karena Silpa jadi biaya. Defisit tidak masalah jika nilainya lebih rendah dari Silpa. Jika defisit lebih besar dari Silpa, ini akan menjadi masalah. Untuk mengatasinya harus dibahas bersama DPRD, tentang dari mana biaya untuk menutupi defisit tersebut.

Terkait dana APBD yang disimpan dalam deposito bank, tidak menjadi masalah sepanjang itu didasarkan pada asumsi dan bukan menjadi target untuk memperoleh pendapatan. Jadi jasa bank atau bunga bank itu hanya merupakan konsekuensi. Jadi menyimpan dana di bank harus dimaksudkan untuk memperlancar kegiatan pemerintah. Kalau mengejar pendapatan dari jasa bank, akan menjadi masalah karena pasti akan memperbesar jumlah dana yang disimpan atau memperpanjang masa penyimpanan.

Sebenarnya menyimpan uang di bank, dan mendapat jasa bank, maka jasa bank itu juga masuk dalam kas daerah, yang terjadi adalah komitmen-komitmen antara penyimpan dana dan perbankan. Apalagi perbankan juga menghadapi persaingan yang ketat. Mereka berlomba-lomba mendapat dana pihak ketiga sebesar-besarnya.

Jika persoalannya adalah gratifikasi, maka itu yang harus dikejar oleh aparat penegak hukum. Misalnya dapat dijerat dengan pasal penyalahgunaan wewenang.

Penempatan dana APBD berbentuk deposito dalam rangka optimalisasi pendapatan daerah tidak menjadi masalah, asalkan tidak menjadi tujuan dan ditarget. Patut diduga ada motif tertentu, karena dana yang disimpan dalam deposito adalah dana yang memang diperkirakan tidak digunakan dalam waktu tertentu. Harusnya dilakukan pembuktian jika dana yang didepositokan itu misalnya dana proyek yang tidak jalan. Ini menyangkut komitmen dan dedikasi aparatur pemerintah.

Pastinya akan selalu ada alibi atau dalih, kenapa suatu proyek tidak dapat dilaksanakan, atau tidak selesai sepenuhnya. Misalnya, berdalih proses tender yang rumit, atau ada kendala-kendala lain, sehingga suatu proyek yang sudah ada pos anggarannya, tidak dapat dilaksanakan. Itulah peluang-peluang yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu. Dana yang didepositokan di bank biasanya dana yang dianggap “nganggur” pada tahun berjalan. Jadi bukan dana sejak awal tahun, karena itu tidak mungkin. Kenapa? Karena semua dana APBD itu sudah ada pos dan “namanya”.

Pengawasan oleh DPRD juga kurang, karena sekarang juga ada masalah, di mana kepala daerah menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) kepada DPRD. Jadi yang disampaikan kepada DPRD bukan Laporan Pertanggungjawaban (LPj).

Dalam perspektif ekonomi, penempatan dana pemerintah dalam deposito untuk optimalisasi itu bagus. Dalam konteks ekonomi, uang itu tetap berputar. Memang ada semacam persoalan, karena jika disimpan dalam bentuk hanya deposito, bagi bank itu berarti “dana mahal”. Berbeda jika disimpan dalam tabungan atau giro, di mana ini bagi bank adalah “dana murah”. Jika bank memperoleh “dana mahal”, maka serapan sektor usaha juga agak sedikit terhambat. Jika bank memiliki “dana murah”, maka dunia usaha akan mudah mengakses dana bank. Jadi di sinilah kira-kira letak kerugian yang ditanggung masyarakat jika dana pemerintah disimpan dalam bentuk deposito.

Persoalan ini bermuara pada good corporate governance atau bagaimana tata kelola perusahaan yang baik dan good government atau bagaimana tata kelola pemerintahan yang baik. Jadi dua pihak itu yang harus menciptakan dan menjaga agar tidak ada peraturan yang dilanggar.

Terpisah Akademisi Fakultas hukum yang concernt terhadap bidang keilmuan hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (HTN-HAN) disalah satu perguruan Tinggi swasta ternama di Lampung Rifandy Ritonga, SH, MH juga menyampaikan pendapatnya terkait deposito APBD Lamsel. Senin, (17/2/2020).

Kepada Jurnalis Akademisi ini menilai, bahwa "masalah investasi berjangka dari dana pemerintah ada peraturan hukumnya, namun dasar asumsinya harus jelas yang dijadikan indikator kenapa dana Pemda harus Didepositokan, sebab indikator tersebut perlu dikaji mendalam, dan dana yang didepositokan merupakan dana yang belum atau tidak terpakai, dan berbicara mengenai waktu, perlu mendapat jawaban atas pertanyaan yang muncul, diantara pertanyaan tersebut yaitu, apakah APBD yang di 'diposit' kan ini merupakan jenis deposito jangka pendek? Atau jangka panjang? Ini perlu ada penjelasan, karena jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Per 31 Desember dana harus kembali ke kas Daerah. Nah hal ini Pakah sudah benar dilakukan sesuai aturan".

Perlu diketahui dari penjelasan Intji Indriati Kepala BPKAD Lamsel, bahwa deposito APBD Pemkab Lamsel dilakukan dari Tahun 2018 dan diperpanjang secara otomatis sampai dengan Bulan November 2019.

Disinggung terkait masalah deposito yang saat ini sedang didalami oleh pihak Kejati Lampung, dirinya berpendapat "sudah seharusnya kejaksaan mengurai masalah penempatan dana APBD Lampung Selatan ke pos deposito, agar jelas niat awal didepositokannya APBD tersebut untuk apa? Dan Kenapa didepositokan?", Pintanya.

Selain itu, Akademisi muda ini berharap agar Kejaksaan Tinggi cepat menuntaskan tindak lanjut proses hukumnya" tutup Rifandy. (SA)

No comments

Powered by Blogger.