Tunjangan Sertifikasi Guru – Antara Kesejahteraan dan Tanggung Jawab Profesional

Setiap kali dana tunjangan sertifikasi guru cair, media sosial ramai. Ada yang bersyukur, ada pula yang nyinyir. Namun di balik angka dan slip transfer, tunjangan sertifikasi sejatinya bukan hanya soal kesejahteraan—tapi juga amanah profesionalisme.

Tunjangan sertifikasi diberikan bukan sebagai “bonus tahunan”, melainkan bentuk pengakuan negara atas kompetensi guru yang telah lolos uji sertifikasi. Di atas kertas, tunjangan ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan mutu pembelajaran. Tapi di lapangan, realitasnya sering kali tidak seindah teorinya.


Dari Dana ke Dampak: Sudahkah Terasa di Kelas?

Pertanyaan besar yang sering muncul: apakah tunjangan sertifikasi benar-benar berdampak pada peningkatan kualitas belajar siswa?

Beberapa penelitian menunjukkan hasil beragam. Sebagian guru memanfaatkan dana sertifikasi untuk membeli perangkat belajar, mengikuti pelatihan, atau memperkaya literasi profesional mereka. Namun tak sedikit pula yang melihatnya semata sebagai tambahan penghasilan—tanpa diikuti peningkatan kompetensi atau inovasi mengajar.

Padahal, semangat di balik kebijakan ini jelas: guru yang sejahtera diharapkan lebih fokus, kreatif, dan berdedikasi dalam mengajar. Sayangnya, ketika orientasi penggunaan dana lebih banyak bersifat konsumtif, maka tujuan awalnya menjadi kabur.


Harus Ada Refleksi Kolektif

Guru memang manusia biasa, punya kebutuhan hidup seperti siapa pun. Tapi profesi guru memiliki tanggung jawab moral yang tak bisa disejajarkan dengan profesi lain.

Dana sertifikasi seharusnya bisa dioptimalkan sebagai investasi jangka panjang bagi pengembangan diri—misalnya membeli buku referensi, mengikuti seminar, membangun komunitas belajar, atau meng-upgrade perangkat teknologi pembelajaran.

Bila itu dilakukan, maka efek domino positifnya akan terasa: siswa belajar lebih menyenangkan, hasil belajar meningkat, dan reputasi guru sebagai pendidik profesional makin kuat.


Pengawasan dan Kesadaran Diri

Pemerintah memang punya kewajiban melakukan pengawasan terhadap penggunaan tunjangan, tapi pada akhirnya kunci utama ada di kesadaran pribadi para guru. Sertifikasi adalah simbol profesionalitas—dan profesionalisme sejati lahir dari komitmen, bukan hanya sertifikat.

Sebagaimana guru mengajarkan nilai tanggung jawab kepada muridnya, demikian pula negara berharap para guru menunjukkan tanggung jawab terhadap dana yang mereka terima.


Penutup: Dari Nominal ke Nilai

Sudah saatnya kita melihat dana sertifikasi bukan sekadar “tunjangan”, tapi sebagai titik tolak perubahan budaya kerja guru. Ketika tunjangan itu benar-benar digunakan untuk menunjang kompetensi dan dedikasi, maka pendidikan Indonesia akan lebih bermartabat.

Tunjangan boleh cair setiap triwulan, tapi tanggung jawab profesional seharusnya mengalir setiap hari.


🖋️ Penulis: Nanang Wiwit Sinudarsono | Pemerhati Pendidikan

Posting Komentar

Jabungonline.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaklah dalam menyampaikan komentar. Komentar atau pendapat sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Lebih baru Lebih lama