Lampung Timur — Kehadiran Sekolah Rakyat di berbagai daerah, termasuk Lampung Timur, disambut sebagai terobosan dalam membuka akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera. Namun di balik semangat mulia itu, sejumlah kritik mulai muncul dari masyarakat, akademisi, hingga pemerhati pendidikan. Kritik ini bukan sekadar menolak, melainkan mengingatkan bahwa konsep “sekolah khusus untuk warga miskin” tidak boleh menjadi langkah mundur dalam pemerataan layanan pendidikan.
Program Sekolah Rakyat di Lampung Timur — yang dibuka di Desa Taman Asri, Purbolinggo — memang menawarkan banyak harapan. Anak-anak dari keluarga miskin ekstrem diberi kesempatan mengikuti jenjang SD dan SMP dengan fasilitas asrama, makan, hingga pembinaan karakter. Tujuannya jelas: memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan yang terjangkau.
Namun justru di titik inilah kritik mulai menguat.
Sekolah Khusus Miskin: Solusi atau Segregasi?
Beberapa pengamat pendidikan menilai konsep Sekolah Rakyat berpotensi menciptakan segregasi sosial baru. Dengan menempatkan anak-anak miskin di sekolah khusus, negara dikhawatirkan secara tidak sengaja menanamkan stigma bahwa pendidikan rakyat kecil berbeda dengan pendidikan anak-anak lainnya. Kritik ini menggarisbawahi bahwa pendidikan seharusnya inklusif — semua anak, tanpa memandang ekonomi, berhak belajar dalam lingkungan yang sama dan setara.
Kekhawatiran semacam ini bukan tanpa alasan. Pemisahan lembaga pendidikan berdasarkan kemampuan ekonomi dapat memperlebar jurang ketimpangan. Alih-alih meningkatkan kualitas semua sekolah negeri secara menyeluruh, muncul risiko bahwa Sekolah Rakyat menjadi “jalan pintas murah” untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan tanpa menyentuh akar masalah.
Keluar–Masuk Siswa dan Guru: Tanda Tanya yang Mengemuka
Di sejumlah daerah, ditemukan fenomena siswa dan guru yang memilih mengundurkan diri dari Sekolah Rakyat. Penyebabnya beragam: adaptasi yang sulit dengan sistem asrama, tekanan mental, kurangnya dukungan psikososial, hingga kekhawatiran orang tua yang merasa jauh dari anak mereka. Bagi guru, isu kesejahteraan dan kejelasan status kepegawaian juga menjadi sorotan.
Jika tren ini tidak ditangani, maka sekolah yang diniatkan sebagai “angin segar” justru bisa berubah menjadi beban baru bagi keluarga prasejahtera.
Risiko Menjadi Program Tambal Sulam
Sebagian akademisi menilai Sekolah Rakyat rawan menjadi “solusi darurat” dari sistem pendidikan nasional yang belum merata. Kekurangan guru, fasilitas minim, serta rendahnya kualitas sekolah di daerah seharusnya diperbaiki terlebih dahulu. Ada kekhawatiran bahwa dengan hadirnya Sekolah Rakyat, tekanan untuk meningkatkan kualitas sekolah reguler justru melemah.
Kritik juga datang dari kelompok masyarakat yang melihat bahwa sekolah ini bisa menjadi simbol ketidakadilan: sekolah untuk mereka yang mampu dan sekolah untuk mereka yang tidak mampu.
Kebutuhan Evaluasi dan Pengawasan yang Ketat
Meskipun menuai kritik, Sekolah Rakyat tetap menyimpan potensi besar. Namun agar program ini tidak terjebak dalam stigma, pemerintah daerah dan pusat perlu memperketat evaluasi. Mutu pengajar, fasilitas, pembinaan psikologis, hingga transparansi seleksi harus dipastikan berjalan adil dan profesional. Selain itu, keterlibatan masyarakat menjadi kunci agar program ini tidak hanya “dikepalai dari atas,” tetapi dibangun bersama warga setempat.
Akhirnya, Soal Keberpihakan
Pada titik ini, kritik yang muncul bukanlah bentuk penolakan terhadap program, melainkan keprihatinan bahwa pendidikan jangan sampai kembali menjadi label sosial: sekolah bagi si kaya dan sekolah bagi si miskin. Lampung Timur memiliki kesempatan besar membuktikan bahwa Sekolah Rakyat bukan sekadar tempat berkumpulnya anak prasejahtera, tetapi wadah pembebasan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas hidup generasi masa depan.
Agar hal itu tercapai, program ini membutuhkan lebih dari sekadar bangunan dan kurikulum. Ia membutuhkan keadilan, sensitivitas sosial, dan keberpihakan yang nyata bagi seluruh anak bangsa.
Oleh : Nanang WS Alias BangJO Zend (Penulis Buku serta Pemerhati Pendidikan Lampung)