Post-Truth dan Budaya Pembenaran di Era Jokowi

Oleh: BangJO – Jabungonline.com

Dalam dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengalami berbagai kemajuan infrastruktur dan transformasi digital. Namun di balik pembangunan fisik yang masif, ada satu fenomena budaya yang tumbuh diam-diam namun berdampak besar: era post-truth dan menguatnya budaya pembenaran di ruang kekuasaan.

Kebenaran vs Kenyamanan Politik

Di era Jokowi, kita menyaksikan bagaimana narasi-narasi politik sering kali dibangun bukan berdasarkan fakta objektif, melainkan atas dasar opini yang dikemas sedemikian rupa agar terasa benar. Ini bukan sekadar strategi komunikasi, tapi bagian dari era post-truth, di mana kebenaran menjadi relatif, dan kenyamanan menjadi absolut.

Contoh mencolok bisa kita lihat saat janji kampanye Jokowi yang anti politik dinasti berubah 180 derajat dengan majunya Gibran Rakabuming sebagai cawapres 2024. Logika hukum dan konstitusi ditekuk, dan publik dijejali justifikasi demi justifikasi.
Hasilnya? Bukan kritik yang menguat, tapi justru gelombang pembenaran massif dari elit hingga buzzer.

Ketika Disinformasi Dijadikan Alat Kekuasaan

Salah satu ciri post-truth adalah ketika disinformasi tidak hanya menyebar, tapi dipelihara. Di Indonesia, kita melihat bagaimana mesin propaganda bekerja mulus: narasi tandingan, perang opini, dan framing media menjadi bagian dari upaya mempertahankan legitimasi.

Misalnya, kritik terhadap proyek IKN (Ibu Kota Nusantara) atau utang luar negeri sering dibalas bukan dengan data yang jujur, tapi dengan labelisasi: anti-nasionalis, pesimis, atau antek asing. Di sinilah budaya pembenaran memainkan peran: kekuasaan tidak wajib benar, cukup merasa benar — dan membuat rakyat ikut merasa begitu.

Buzzer, Influencer, dan Hancurnya Diskursus Publik

Tidak bisa dipungkiri, di masa Jokowi, peran buzzer politik dan influencer bayaran semakin signifikan. Mereka bukan hanya menyebar informasi, tapi membentuk realitas baru yang kadang bertolak belakang dengan fakta.

Ketika kritik dilabeli sebagai kebencian, saat itulah demokrasi melemah. Di sinilah budaya pembenaran menemukan panggung megah: media sosial. Ruang publik dipenuhi sorakan yang lebih sibuk membela, bukan menganalisis.

Institusi Tak Netral dan Matinya Akal Sehat

Ketika Mahkamah Konstitusi terjebak dalam konflik kepentingan, ketika aparat cenderung berpihak pada kekuasaan, dan ketika media arus utama enggan menyuarakan kritik tajam — maka post-truth menjelma menjadi sistem.
Negara yang seharusnya berjalan berdasarkan hukum dan akal sehat, berubah menjadi teater opini dan loyalitas.

Dalam sistem seperti ini, kebenaran bukan lagi soal data atau hukum, tapi soal siapa yang punya akses ke mikrofon.

Apa yang Bisa Dilakukan?

  1. Literasi kritis harus jadi agenda utama, bukan hanya kurikulum basa-basi.
  2. Media independen harus diperkuat, bukan dibungkam.
  3. Masyarakat harus dibiasakan untuk bertanya, bukan hanya ikut arus.
  4. Dan yang paling penting: keberanian berkata "salah" adalah aset moral yang harus dijaga.

Penutup

Era post-truth di bawah pemerintahan Jokowi bukan soal siapa presidennya, tapi soal bagaimana kekuasaan memperlakukan kebenaran. Ketika kebenaran menjadi tidak penting, maka kebenaran akan menjadi langka — dan yang langka, akan menjadi mahal.

Jika hari ini pembenaran menjadi budaya, maka jangan heran jika esok hari kesalahan dianggap sebagai kewajaran.

“Negara boleh besar karena pembangunan, tapi akan runtuh bila kehilangan integritas.”


Jabungonline.com — Menolak Dibodohi, Menyuarakan Kebenaran.

Posting Komentar

Jabungonline.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaklah dalam menyampaikan komentar. Komentar atau pendapat sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Lebih baru Lebih lama