Di masa penjajahan, bangsa ini pernah dihancurkan secara politik, ekonomi, dan budaya. Namun satu hal yang sering tidak disadari: kerusakan alam tidak sedahsyat hari ini. Tanah dijarah, ya. Rempah diperas, benar. Tetapi alam masih punya ruang bernapas. Hutan masih utuh, sungai masih hidup, dan gunung masih berdiri tanpa luka-luka besar yang menganga seperti kini.
Ironisnya, setelah merdeka dari penjajahan bangsa asing, kini alam seperti dijajah ulang—bukan oleh bangsa lain, tetapi oleh tangan negeri sendiri. Kita yang seharusnya menjadi penjaga tanah air, justru menjadi pihak yang paling rakus merusak apa yang kita warisi.
Hutan Gundul Bukan Karena Penjajah, Tapi Karena Kita Sendiri
Dulu, kolonial memang mengambil hasil bumi, namun mereka tidak memiliki teknologi untuk menghabisi ratusan ribu hektar hutan dalam hitungan bulan. Hari ini, dengan alat berat, izin longgar, dan transaksi politik yang mengalir dalam gelap, hutan habis bahkan sebelum peta diperbarui.
Yang meratakan hutan-hutan itu bukan bangsa asing.
Yang menutup mata, juga bukan penjajah.
Yang menandatangani izin eksploitasi, juga anak bangsa sendiri.
Di sinilah tragedi ekologis kita bermula.
Sungai yang Dulu Sumber Hidup, Kini Menjadi Tempat Mati
Pada zaman dahulu, sungai adalah nadi kehidupan. Masyarakat menimba air untuk minum, mandi, dan bercocok tanam. Tidak ada limbah industri, tidak ada buangan tambang, tidak ada sampah plastik yang menggunung.
Sekarang, banyak sungai telah berubah menjadi aliran racun. Ikan mati bergantung di permukaan air, bau busuk menyergap dari hilir hingga hulu. Sungai-sungai itu tidak binasa oleh musuh asing, tetapi oleh kebijakan keliru, pengawasan longgar, dan keserakahan industri milik anak bangsa sendiri.
Ironis: musuh alam bukan penjajah yang dulu datang membawa kapal dan senapan, tetapi pengusaha yang datang dengan proposal dan tanda tangan pejabat lokal.
Gunung yang Luka Akibat Tambang
Gunung tidak pernah memihak politik. Ia hanya berdiri menjadi saksi zaman. Namun hari ini, gunung-gunung itu dikeruk, ditelanjangi, dihancurkan diam-diam. Bukit habis dalam sekejap, menyisakan lubang menganga dan longsor yang mengancam warga sekitar.
Di masa kolonial, penambangan dilakukan terbatas. Setelah merdeka, justru skala pengerukan membesar tanpa kendali. Dalam frasa yang getir: merdeka bukan berarti alam ikut merdeka—ia justru menjadi korban paling baru dari kemerdekaan itu sendiri.
Penjajahan Baru: Ketika Negeri Sendiri Menyakiti Rumahnya Sendiri
Ada bentuk penjajahan yang tidak lagi memakai bendera musuh, tetapi memakai baju rapi, menggunakan kebijakan resmi, dan berbicara atas nama pembangunan.
Penjajahan yang dulu jelas terlihat; kini penjajahan lebih halus, lebih “legal", dan lebih sulit diberi label musuh.
Dulu, penjajahan datang dari luar.
Sekarang, penjajahan datang dari dalam—
dari kelonggaran moral, dari kerakusan yang dibungkus istilah investasi, dari kebijakan yang lebih berpihak pada keuntungan jangka pendek daripada keselamatan bumi jangka panjang.
Alam Sedang Berteriak, Tapi Kita Tidak Mau Mendengar
Banjir datang bukan tiba-tiba.
Longsor turun bukan tanpa sebab.
Kekeringan dan cuaca ekstrem bukanlah musibah semata, tetapi hasil akumulasi dari keputusan-keputusan yang merusak keseimbangan alam.
Bencana hari ini bukan “takdir”,
melainkan hasil.
Hasil dari pembiaran,
hasil dari ego,
hasil dari pilihan manusia yang lupa bahwa alam bukan milik kita semata, melainkan titipan generasi mendatang.
Saatnya Berani Berkaca dan Berbenah
Kita tidak boleh lagi memaklumi kerusakan alam sebagai konsekuensi pembangunan. Negara yang kuat bukan diukur dari tinggi gedung, tetapi dari seberapa baik ia menjaga unsur paling dasar dari hidup: lingkungan.
Masyarakat harus berani bersuara, pemerintah harus berani mengevaluasi, dan pengusaha harus berani bertanggung jawab.
Jika tidak, kita akan mewariskan masa depan yang rusak kepada generasi berikutnya—dan itu jauh lebih kejam daripada penjajahan apa pun di masa lalu.