Kontroversi Pernyataan LISA UGM dan Respons Pihak Kampus Mencuatkan Polemik Baru

Sebuah pernyataan dari sistem kecerdasan buatan milik Universitas Gadjah Mada (UGM), LISA, memicu perdebatan publik setelah tangkapan layar berisi jawaban mesin itu beredar luas di media sosial. Dalam tangkapan tersebut, LISA disebut memberikan jawaban yang berbeda dengan informasi resmi kampus terkait status akademik Presiden Joko Widodo.

Pernyataan tersebut langsung bertentangan dengan keterangan resmi UGM, termasuk penegasan Rektor UGM, Ova Emilia, yang sebelumnya telah menyatakan bahwa data akademik Presiden Jokowi valid dan terdokumentasi di arsip universitas.

Ahli Digital Forensik Beri Penjelasan terkait LISA

Untuk memahami situasi tersebut, pakar digital forensik Rismon Sianipar memberikan penjelasan teknis mengenai cara kerja LISA. Menurutnya, LISA dibangun menggunakan model bahasa besar (large language model) yang dilatih dengan basis data internal UGM, berbeda dengan model seperti ChatGPT atau Google Gemini yang mengakses data dari internet terbuka.

Karena itu, setiap jawaban yang diberikan LISA disebut merupakan cerminan dari data yang terdapat dalam sistem internal yang menjadi sumber pelatihannya.

Akses LISA Disebut Mendadak Ditutup

Setelah polemik mencuat, beberapa pengguna menyebut akses terhadap LISA tiba-tiba dihentikan. Langkah ini menimbulkan spekulasi dan kecurigaan di ruang publik. Penghentian layanan tersebut dinilai sebagian pihak sebagai respons yang tidak lazim jika masalahnya hanya bersifat teknis atau sekadar kesalahan sistem.

Menurut sejumlah pengamat teknologi, apabila terjadi ketidaksesuaian data, idealnya pihak pengelola memperbaiki atau memperbarui sistem, bukan mematikannya.

Benturan antara Algoritma dan Otoritas Manusia

Perbedaan antara pernyataan Rektor UGM dan hasil keluaran LISA menciptakan paradoks baru. Publik dihadapkan pada dua sumber informasi:

  1. Pernyataan resmi pejabat institusi, dan
  2. Jawaban sistem AI yang diklaim bekerja berdasarkan arsip internal.

Situasi ini kemudian memunculkan diskusi lebih luas mengenai keandalan teknologi kecerdasan buatan dibandingkan integritas manusia dalam konteks pengelolaan data.

Teknologi vs. Bias Manusia

Berbagai pengamat menilai kasus ini membuka ruang refleksi mengenai sifat dasar teknologi dan manusia. Sebuah sistem AI hanya bisa mengeluarkan jawaban berdasarkan data yang diterimanya. Prinsip “garbage in, garbage out” kembali mengemuka—jika data input tidak akurat, keluaran akan mengikuti.

Sementara itu, manusia memiliki potensi bias, kepentingan, serta tekanan sosial dan politik yang dapat memengaruhi pernyataan maupun keputusan. Perbedaan sifat inilah yang menjadi landasan banyaknya respons publik yang menaruh perhatian khusus pada polemik tersebut.

Polemik Masih Berlanjut

Belum ada penjelasan rinci dari UGM terkait alasan penghentian akses LISA maupun klarifikasi teknis mengenai sumber perbedaan jawaban yang muncul. Publik menanti keterangan lebih lanjut dari pihak universitas untuk memastikan apakah terdapat gangguan sistem, kekeliruan data, atau faktor teknis lain yang menyebabkan keluaran yang kontroversial tersebut.

Kasus ini sekaligus menjadi contoh bagaimana teknologi kecerdasan buatan dapat menimbulkan dinamika baru dalam dunia informasi, terutama ketika berhadapan dengan isu publik yang sensitif.

Posting Komentar

Jabungonline.com sangat menghargai pendapat Anda. Bijaklah dalam menyampaikan komentar. Komentar atau pendapat sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda sesuai UU ITE.

Lebih baru Lebih lama