Kasus yang menimpa Pak Guru Mansur membuka kembali luka lama di dunia pendidikan Indonesia: guru semakin sering menjadi korban kegaduhan, prasangka, dan ketakutan, sementara ruang dialog rasional justru mengecil. Di tengah tuduhan dan tekanan sosial, yang hilang bukan hanya martabat seorang guru—melainkan kewarasan kolektif kita dalam memahami peran pendidikan.
Guru: Profesi yang Kian Rapuh di Tengah Serbuan Kecurigaan
Perdebatan mengenai benar atau tidaknya tuduhan yang dialamatkan kepada Mansur tentu menjadi ranah pengadilan. Namun ada hal yang jauh lebih besar: mudahnya sebuah tindakan guru ditafsirkan sebagai kesalahan fatal, bahkan sebelum bukti objektif mengemuka.
Di sekolah dasar—tempat anak-anak masih membutuhkan kedekatan emosional—guru sering dituntut menjadi sosok pengayom, penyayang, dan pendamping. Ironisnya, kedekatan inilah yang justru mulai dilihat dengan kecurigaan.
Dalam atmosfer seperti ini, guru bisa sewaktu-waktu diseret pada opini publik yang emosional, terlepas dari rekam jejak atau kebaikan yang telah ia tanamkan bertahun-tahun.
Jika profesi guru terus diposisikan sebagai tersangka potensial, siapa yang berani mengajar dengan hati?
Ketergesaan Orang Tua: Ketika Kekhawatiran Mengalahkan Kebijaksanaan
Tidak ada yang menyangkal bahwa orang tua berhak melindungi anaknya. Namun dalam banyak kasus, termasuk yang menyeret Mansur, muncul pola yang mencemaskan:
orang tua terlalu cepat memvonis sebelum memahami konteks, mencermati fakta, atau memberi ruang dialog.
Fenomena ini melahirkan beberapa persoalan serius:
1. Narasi Tunggal dari Anak Tidak Selalu Final
Anak adalah makhluk jujur, tetapi juga sangat mudah salah tafsir.
Gestur yang dimaksudkan sebagai perhatian bisa ditangkap sebagai sesuatu yang berbeda.
Pada titik ini, orang tualah yang seharusnya menjadi penyaring, bukan pengeras suara.
2. Emosi Orang Tua Sering Mengunci Ruang Musyawarah
Ketika amarah lebih dulu menguasai, ruang klarifikasi tertutup. Sekolah tak diberi kesempatan memberi keterangan. Guru tak diberi hak bicara. Masyarakat sudah lebih dulu membentuk opini.
3. Pendidikan Tak Lagi Dipandang sebagai Kemitraan
Pendidikan adalah kerja bersama. Tetapi kini, sebagian orang tua memosisikan diri bukan sebagai mitra, melainkan pengawas yang siap mempidanakan setiap interaksi yang tak sesuai ekspektasi.
Dunia pendidikan tidak mungkin tumbuh jika sekolah dianggap sebagai pihak yang selalu salah, dan rumah selalu benar.
Ketakutan Baru di Sekolah: Guru yang Takut Menyentuh, Menegur, atau Menghibur
Kasus-kasus seperti ini menciptakan budaya baru: guru memilih menjauh daripada terlibat.
Mengapa?
- Takut dipelintir.
- Takut disalahpahami.
- Takut dilaporkan.
- Takut dihukum oleh opini publik sebelum proses hukum berjalan.
Pada akhirnya, muridlah yang paling dirugikan—karena tumbuh di lingkungan yang dingin tanpa kedekatan emosional dari gurunya.
Opini Ini Bukan Pembelaan Buta, tetapi Seruan Kewarasan
Tidak ada yang membenarkan kekerasan atau pelecehan di sekolah, itu jelas. Namun tidak semua tuduhan adalah kebenaran, dan tidak setiap kedekatan guru adalah pelanggaran.
Kasus Mansur adalah alarm keras bahwa:
- kita butuh standar penyelidikan yang lebih objektif,
- kita butuh literasi publik yang lebih baik tentang hubungan guru–murid,
- dan yang paling penting, orang tua harus belajar menahan diri, mendengar, dan memberi ruang keadilan bekerja.
Karena jika setiap guru bisa dihancurkan oleh prasangka yang belum teruji, maka dunia pendidikan Indonesia benar-benar sedang menuju arah yang kelam.
Penutup: Lindungi Anak, Ya — Tapi Lindungi Guru yang Baik Juga
Pendidikan tidak akan pernah bisa maju jika guru terus-menerus menjadi korban dari ketergesaan orang tua dan kegaduhan publik.
Menjaga anak adalah tanggung jawab moral.
Tetapi menjaga guru dari kriminalisasi berbasis sentimen adalah tanggung jawab peradaban.
Semoga kasus ini menjadi cermin bagi semua:
agar kehati-hatian tidak berubah menjadi ketidakadilan, dan agar kepedulian tidak berubah menjadi perburuan.
Oleh : Nanang WS Alias BangJO Zend (Penulis Buku dan Pemerhati Pendidikan)