Merdeka Belajar, Belajar Merdeka

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Seiring diangkatnya Nadiem Anwar Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dikenalkanlah program Merdeka Belajar sebagai upaya mengembangkan kebebasan berpikir dan berekspresi. Program itu kemudian diaplikasikan pada lembaga di negeri ini dengan diluncurkannya  kurikulum pendidikan yang baru, yaitu Kurikulum Merdeka pada Februari 2022 lalu. Kurikulum baru itu  sebagai upaya mewujudkan kemerdekaan dalam belajar.  Dikatakan merdeka dalam belajar artinya siswa memiliki kebebasan untuk berpikir dan berekspresi. Jadi, bukan berarti siswa tidak perlu belajar lagi.

Adapun tujuan Merdeka Belajar adalah: Pertma, membangun suasana belajar yang lebih menyenangkan bagi guru dan siswa. Kedua, memberikan keleluasaan pada sekolah dalam mengadakan penilaian dan penerapan kurikulum sesuai dengan kondisi sekitar. Ketiga, memenuhi kebutuhan peningkatan sumber daya manusia dalam menghadapi era revolusi industri 4.0.

Keempat, menciptakan peserta didik yang berjiwa merdeka, serta tidak merasa dikekang oleh ketentuan dan peraturan dalam pembelajaran sehingga mereka dapat menemukan potensi dan kemampuan diri masing-masing. Kelima, mempercepat pencapaian tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Serangkaian tujuan di atas sebenarnya dasar berpikirnya terinspirasi dari konsep Merdeka Belajar Ki Hajar Dewantara. Menurut Bapak Pendidikan Indonesia ini, pendidikan adalah serangkaian proses untuk memanusiakan manusia. Konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara juga didasarkan pada dasar kemerdekaan yang dikenal dengan istilah Sistem Among, yaitu melarang adanya hukuman dan paksaan pada peserta didik karena hal tersebut dapat mematikan jiwa merdeka dan kreativitas mereka.

Dengan adanya konsep Merdeka Belajar ini, baik guru/dosen maupun siswa/mahasiswa diharapkan memiliki jiwa yang bebas dalam hal mengembangkan dan mengeksplorasi potensi, bakat, dan kemampuan diri sendiri tanpa terkekang oleh aturan dan ketentuan yang berlaku dalam pembelajaran. Kalimat terakhir inilah yang menjadi multitafsir dalam pelaksanaan di lapangan, karena disebabkan oleh pemahaman yang beragam, belum esensial terhadap konsep Merdeka Belajar.

Ada tujuh komponen Merdeka Belajar yang berpengaruh terhadap keberhasilan pencapaian tujuan dari program tersebut. Yaitu: konstruktivisme, inquiry, bertanya, learning community, modelling, refleksi, dan  authentic assessment. Ketujuh komponen ini harus dipahami oleh guru/dosen dalam penerapannya, baik saat di muka kelas, maupun saat luar kelas. Dengan kata lain guru/dosen dituntut lebih aktif mengembangkan model pembelajarannya agar peserta didik menjadi tertarik untuk mengembangkan diri.
Kalimat terakhir di atas-lah sebenarnya yang menjadi batu sandungan pelaksanaannya di lapangan. Orientasi pembelajaran masih sepenuhnya ditujukan kepada peserta didik, sementara penyelenggara pembelajaran masih belum tersentuh dengan baik; akibatnya yang merdeka adalah peserta didik; sementara pendidiknya masih belajar merdeka.

Indikasi yang dapat dikemukakan pada halaman yang sangat terbatas ini adalah: pertama, Guru/dosen sebagai pendidik dan pengajar belum sepenuhnya berperan sebagai pendidik. Kegiatan pembelajaran yang dibentang masih sangat berorientasi pada pengajaran, belum pendidikan, sehingga penguasaan materi menjadi nomor satu. Sementara itu aspek transformasi nilai-nilai utama, seperti kejujuran, kedisiplinan, kesopanan, dan nilai-nilai kemanusiaan universal lainnya masih belum maksimal diberikan. Ini terjadi bukan sepenuhnya kesalahan para pendidik, tetapi lebih dikontribusi oleh lembaga yang mengurus para pendidik.

Pendidik selalu diposisikan oleh lembaga yang mengurus mereka pada posisi atas bawah, bukan setara atau mitra. Akibatnya instruksi sebagai alat ampuh untuk meredam kreativitas sering dilakukan. Iklim kepemimpinan cenderung lebih kepada instruksional dari pada partisipatif.

Kedua, guru/dosen sebagai mediator dan fasilitator dalam pembelajaran belum sepenuhnya terlaksana dengan baik; hal ini disebabkan karena sarana prasarana pendukung yang disediakan lembaga belum begitu memadai; akibatnya inisiatif guru bisa berjalan jika memiliki pimpinan yang mampu menginisiasi kebutuhan pendidikan, walau dalam ukuran minimal.

Ketiga, guru/dosen sebagai pengelola pembelajaran belum semua memahami maksud dan tujuan merdeka belajar seperti yang dikehendaki kementerian. Hal ini harus diakui secara jujur oleh penyelenggara pendidikan, tidak perlu mencari alasan pembenaran, lebih-lebih penyalahan. Kementerian masih belum maksimal dalam memberikan panduan lapangan tentang merdeka belajar. Justru terkesan mereka juga masih belajar merdeka dalam memahami merdeka belajar.

Keempat, guru/dosen sebagai demonstrator merdeka belajar belum sepenuhnya mampu mempertontonkan kepada peserta didik bagaimana sebenarnya merdeka belajar itu; yang ada baru belajar merdeka dalam pengertian suka-suka. Akibatnya jika ada peserta didik yang tidak suka dengan bahan ajar, maka bukan dicarikan solusi untuk mencari jalan keluar bersama; justru yang ada peserta didik harus mendapatkan hukuman, atau dipaksa ikut aturan yang ada. Akibatnya peserta didik dan pendidiknya sama-sama belajar merdeka.

Kelima, guru/dosen sebagai pembimbing dan motivator pembelajaran dalam pelaksanaannya masih bersifat konvensional. Pendekatan humanistic yang menjadi dasar merdeka belajar belum dipahami secara benar, akibatnya yang ada adalah instruksi bukan motivasi.

Keenam, guru/dosen sebagai evaluator belum sepenuhnya memahami esensi dari mengevaluasi Merdeka Belajar; sehingga sistem penilaian masih menggunakan cara lama yang sudah tidak relevan dengan penerapan merdeka belajar. Konsep remediasi yang menjadi tulang punggung sistem penilaian Merdeka Belajar dimaknai berbeda dengan seharusnya. Sehingga guru masih memandang setiap kenaikan kelas harus ada yang tinggal kelas. Dosen masih memiliki anggapan setiap ujian harus ada mahasiswa yang tidak lulus, karena kalau lulus semua seolah-olah menjadi aneh. Padahal prinsip merdeka belajar adalah menghargai setiap capaian yang diperoleh peserta ajar.Tampaknya orientasi merdeka belajar yang sekarang sedang menggarap Perguruan Tinggi dengan keluarnya Permendikbudristek Nomor 53 tahun 2023; menunjukkan bahwa kementerian sedang berkejaran dengan waktu yang tersisa untuk mewujudkan kualitas dengan tanpa mengorbankan kuantitas; walau demikian hal ini masih perlu dicermati lebih lanjut.

Keenam hal di atas paling tidak memberikan sumbangan kepada masih belum dipahaminya konsep Merdeka Belajar secara benar. Oleh sebab itu menimbulkan pertanyaan tersisa apakah sisa waktu yang ada bagi Mas Menteri, dapat digunakan melakukan perbaikan agar programnya tepat sasaran. Pertanyaan lanjut, apakah ada jaminan setelah pemerintahan baru yang akan datang terbentuk, program merdeka belajar akan diteruskan. Belajar dari pengalaman masa lampau kesinambungan program kementerian di negeri ini, termasuk Kementerian Pendidikan, slogan ganti menteri ganti program itu benar adanya.

Sumber

No comments

Powered by Blogger.